Di sebuah perempatan di Kota Serang, tiga buah baliho ukuran besar terpampang. Sebelah kanan tampak lelaki setengah baya berjas kuning, di ujung kiri lelaki belia berpeci, dan di tengahnya foto seekor simpanse. Mereka semua minta dipilih. Sang Ayah di ujung kanan minta dipilih menjadi anggota DPR, sang anak yang ada di pojok kiri minta didukung jadi anggota DPD, dan simpanse minta kartu yang dia promosikan dipilih oleh pelanggan seluler.
Di luar simpanse tadi, kedua orang tersebut adalah calon wakil rakyat. Ternyata tak hanya bapak dan anaknya itu saja, keluarga tersebut menempatkan banyak sekali anggota keluarganya sebagai calon. Ada menantu, adik, ipar, dan juga ibu tiri. Spanduk kampanye mereka tersebar sampai ke lereng gunung Pulosari. Sudah bisa dipastikan miliaran rupiah habis untuk spanduk dan baliho saja, uang dari mana ya?
Fenomena inilah yang disebut sebagai fenomena caleg “AMPIBI”: anak, mantu, ponakan, ibu, besan dan bibi. Fenomena ini hadir secara mencolok di tahun 2009 baik di pusat maupun di daerah. Di Banten, hal ini melibatkan penguasa politik baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan sebelum pemilu 2009 upaya menjadikan Banten menjadi milik keluarga tertentu sudah bisa tercium dari beberapa pilkada, walaupun hanya berhasil di Kota Serang.

Pembajakan Demokrasi
Inilah akibat dari dipilihnya demokrasi sebagai sistem politik. Semua orang merasa berhak memilih dan dipilih menjadi pemimpin. Siapa menjadi anggota DPR/D, kepala daerah, dan bahkan presiden, tergantung dari suara rakyat. Yang menjadi pemenang dari kompetisi tersebut bukanlah yang paling pintar, yang paling berpengalaman, atau yang paling baik hati, tapi siapa yang paling populer.
Di negara berkembang (baca: miskin) cara menggalang popularitas yang paling populer dilakukan adalah dengan menjadi sinterklas atau melakukan politik uang selain tentu saja menggunakan simbol-simbol agama. Maka, setahun atau setidaknya enam bulan menjelang pemilu dan pilkada, kita akan mendapati para caleg mendadak tampil alim, rajin datang ke kyai, mengikuti majelis taklim atau melakukan ibadah qurban.
Namun di negara miskin semacam Indonesia, politik uang tentu saja dinantikan oleh rakyat miskin karena inilah saat terbaik memperalat para politisi yang jika sudah menjabat niscaya lupa lagi pada mereka. Kondisi ini menjadi lahan yang subur bagi lahirnya politisi yang tidak berkualitas dan hanya mengandalkan kekayaan, popularitas, dan kekuasaan keluarga. Maka, lahirlah berbagai modus politik uang, mulai yang model tradisional a la serangan fajar, sampai ke model baru, membuat kupon berhadiah umroh, motor, kulkas dan sebagainya asal hanya menempelkan stiker kandidat dan tidak menempelkan foto kandidat lain.
Politisi macam inilah yang ditengarai kemudian mengendalikan partai politik. Demokrasi baru dipahami sebatas berlangsungnya pemilihan dan dipilihnya calon-calon legislatif yang ditetapkan partai politik. Tapi apakah penetapan caleg yang bertarung dalam pemilu diputuskan melalui mekanisme yang demokratis di internal partai politik?
Fenomena caleg AMPIBI ini kemudian membuktikan bahwa partai politik mengalami persoalan serius dengan demokrasi di dalam tubuhnya sendiri. Belakangan ini di tubuh salah satu partai politik terbesar di Banten misalnya muncul keresahan dari kader senior yang serius berjuang cukup lama karena tiba-tiba saja pencalegan didominasi keluarga tertentu. Mereka, para kader berkeringat merasa tidak dihargai dan disingkirkan dalam kesempatannya menjadi wakil rakyat.
Bagi kader yang selama ini berpeluh ria membesarkan partai, dilompati caleg tidak berkeringat jelas merupakan sesuatu yang menyakitkan. Tak ada penghargaan terhadap kerja keras yang dilakukan. Hal ini jelas akan menimbulkan demotivasi yang kuat. Bagi partai politik, secara jangka panjang hal ini jelas akan merugikan karena akan ditinggalkan kader-kadernya sendiri. Padahal merekalah yang memahami dan berpengalaman di dunia politik praktis serta memiliki loyalitas yang teruji, hal yang belum tentu dimiliki oleh kader-kader dadakan tersebut.
Dalam kondisi seperti inilah kemudian partai politik tak lebih dari organisasi arisan, tanpa ideologi dan tanpa tujuan, kecuali mengantarkan para kerabat menduduki jabatan-jabatan politik. Begitu juga parlemen yang terbentuk, ia akan menjadi corong dari kepentingan keluarga, corong dari kepentingan “proyek” sanak saudara dan bukan menjadi wadah memperjuangkan kepentingan rakyat.

Tiga Persoalan
Fenomena caleg AMPIBI, apalagi yang berasal dari incumbent (biasanya memang begitu) juga setidaknya menimbulkan tiga macam persoalan. Pertama, politisasi birokrasi. Birokrasi yang seharusnya menjadi elemen netral bisa jadi mesin politik bagi caleg AMPIBI. Para birokrat biasanya terjebak dalam dilema, tak mendukung keluarga bos dianggap pengkhianat dan bisa jadi kehilangan jabatan; mendukung keluarga bos berarti mengkhianati aturan yang mengharuskan netralitas PNS. Yang sudah-sudah biasanya mendukung keluarga bos menjadi pilihan, berbagai dinas dan kantor pelayanan publik sampai ke pelosok menjadi ujung tombak pemenangan caleg AMPIBI.
Untuk melihat fenomena ini berjalan atau tidak, salah satu indikatornya biasanya terlihat pada mutasi menjelang atau sesudah pemilu/pilkada. Caleg AMPIBI terpilih biasanya menyingkirkan orang-orang yang dianggap tidak loyal secara politis.
Kedua, penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Di negara kita, jabatan masih sering dianggap milik personal. Maka bantuan dari APBN/APBD yang notabene bantuan negara (dan sejatinya dari uang rakyat juga) dianggap sebagai bantuan personil pejabat yang didampingi keluarga yang mencalonkan. Di Pandeglang, misalnya, sarung bantuan lebaran tahun lalu untuk PNS dituliskan nama bupati dan istrinya, padahal sumber dananya kemungkinan dari APBD. Atau AH, calon DPD menggunakan kegiatan bantuan fresh money yang notabene bantuan negara sebagai ajang kampanye di Pandeglang (Pos Kota, 26/12/2008 ).
Ketiga, korupsi anggaran. Persoalan ini berpotensi muncul dan merupakan turunan dari persoalan pertama. Modusnya, birokrat, dipaksa oleh keluarga penguasa untuk mengalokasikan sejumlah dana dari anggaran dinas/kantor untuk pemenangan caleg AMPIBI. Akhirnya dibuatlah berbagai anggaran dan SPJ fiktif untuk kepentingan kampanye, seperti pembuatan spanduk, biaya pembuatan kaos dan sebagainya. Sulit membuktikan bahwa terjadi korupsi anggaran untuk membiayai caleg AMPIBI ini.
Seperti kentut, baunya tercium kuat namun sulit mencari tahu sumber baunya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mestinya hadir di Banten untuk menyelidiki apakah terjadi korupsi anggaran atau tidak untuk kepentingan politik caleg AMPIBI. Praktik semacam ini disinyalir terjadi dan sudah pasti merugikan negara dan menghancurkan harapan rakyat untuk hidup sejahtera.

Penutup
Tentu saja, tidak semua caleg AMPIBI merepresentasikan figur buruk seperti dalam tulisan ini. Politisi sukses tak jarang juga lahir dari keluarga politisi. Terlalu banyak nama, dalam dan luar negeri yang bisa dijadikan contoh, mulai dari Gandhi, Bush, Clinton sampai keluarga Soekarno dan Hatta. Dari semua contoh sepertinya tak ada yang ujug-ujug, semua mengikuti kaderisasi dan sistem yang dibangun di partai politik.
Namun jika tidak pernah berorganisasi, takut berdiskusi di Lumbung Banten, hanya bisa mengandalkan uang dan jaringan orang tua, apalagi jika menjadi caleg partai, namun baru jadi anggota partai menjelang pemilu karena jadi caleg, maka tolong deh, jangan menyamakan diri dengan tokoh-tokoh di atas. Mengundurkan diri saja, baca buku di Rumah Dunia, mulai dulu sebagai anggota partai, hormati senior dan turun langsung ke masyarakat memahami persoalan riil rakyat. Lima tahun lagi silakan berkompetisi, niscaya itu akan lebih pantas.
Sebagai penutup, ada dua buah pertanyaan yang harus diramalkan jawabannya. Pertama, apakah caleg AMPIBI akan terpilih? Dengan berat hati penulis menjawab “kemungkinan besar YA”. Sulit meramalkan dengan sumber daya yang jauh di atas caleg lain mereka tidak terpilih, terlebih politik uang masih amat dikehendaki masyarakat. Ditambah pula dengan track record penegakan hukum di Banten untuk kasus semacam ini amat buruk.
Kedua, bagaimana masa depan demokrasi yang menjadi judul tulisan ini? Jawabannya adalah jawaban Olle Tornquist, selamat datang di era demokrasi kaum penjahat; demokrasi akan terjadi secara formal, tetapi tidak diiringi oleh partisipasi rakyat yang sungguh-sungguh dalam pemilu dan dalam pembentukan kebijakan pemerintah. (William Liddle dalam Ikrar Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi, 2001:17)
Demokrasi dibajak elite politik. Rakyat menonton elite menjadi semakin sejahtera, sementara mereka (baca: rakyat) hanya ditengok lima tahun sekali atau menjelang pemilu/pilkada. Wallahua’lam bissawab.

Tinggalkan Balasan