Sungguh, tulisan-tulisan di buku “Membaca Banten, Membaca Indonesia” bukanlah sesuatu yang istimewa. Jika anda baca satu persatu tulisannya, tak banyak kejutan berarti yang membuat kening anda berkerut atau data njlimet […]
Sungguh, tulisan-tulisan di buku “Membaca Banten, Membaca Indonesia” bukanlah sesuatu yang istimewa. Jika anda baca satu persatu tulisannya, tak banyak kejutan berarti yang membuat kening anda berkerut atau data njlimet yang menjelaskan sebuah persoalan di banten dan atau di indonesia secara gamblang.
Ya, tulisan-tulisan yang lebih kontemplatif dari Abdul Malik justru bisa ditemukan di buku-nya yang pertama “Menjadi Orang Banten” dan bukan di buku ini. Kajian-kajian yang mendalam soal ekonomi dari Zaenal Muttaqien juga tampaknya sulit didapatkan di buku setipis ini. Tulisan “galak” dan “bersemangat” dari Abdul Hamid juga malah bisa didapatkan di buku “Kelompok kekerasan dan bos lokal di era reformasi”, jurnal Indonesia Cornell “Jawara in power” atau yang akan terbit “The Kiai in Banten: Shifting Roles in Changing Times dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia”. Atau tulisan mendalam soal kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat-nya Rahmatullah justru bisa ditemukan di blog pekerja sosial yang diupdate-nya secara reguler.
Lantas, apa yang dtawarkan buku ini?
Membaca Banten, Membaca Indonesia tidak sekadar menawarkan tulisan-tulisan. Ia menawarkan kerendahhatian dan semangat para penulisnya.
Kerendahhatian justru karena disinilah para penulis dikalahkan ego-nya untuk saling menonjolkan diri. Terus terang, pembuatan buku sederhana ini banyak menguji kesabaran dan kerukunan. Para penulis harus saling kalah untuk menawarkan sesuatu yang lebih konstruktif daripada provokatif. Ya, ketimbang menulis empat buku oleh masing-masing (yang sebenarnya amat bisa), para penulis memilih berkolaborasi. Lantas apa alasan berkolaborasi dalam sebuah buku? Apa yang istimewa? Bukankah biasa dan bahkan sedang trend satu buku berisi kumpulan tulisan banyak orang, bahkan belasan atau puluhan orang?
Istimewanya adalah tawaran kedua, berupa semangat. Keempat penulis buku ini bersaudara kandung, hasil didikan orangtua-nya, H.E. Sukasri dan Hj. Mursinah. Ayah keempat saudara kandung ini begitu keras mendidik anak-anaknya. Tak ada mainan, televisi berwarna (nonton tivi di rumah tetangga, sembunyi-sembunyi), sepeda (Ini alasan hamid tidak bisa mengendarai sepeda), rekreasi, olahraga, makan di luar, atau sekadar waktu luang untuk bersantai ala anak-anak (Malik dan Zaenal pernah diusir dari rumah karena dianggap lalai dalam tugasnya dan malah keasyikan main bola).
Masa kecil dilalui dengan keharusan untuk belajar, mengaji dan bekerja.
Belajar tak melulu menghapal, tapi juga melahap buku-buku dan majalah berat semacam majalah Panjimas, buku kaya Sayid Qutb dan Hasan Al Banna, HAMKA atau Bey Arifin. Maka pendidikan sampai sarjana adalah warisan satu-satunya setelah H. E. Sukasri meninggal (Ini obsesi yang gagal diraih Pak Sukasri setelah drop out dari IAIN Ciputat karena tidak ada biaya). Warisan lain adalah celana sontog, sarung dan baju koko yang disedekahkan ke beberapa da’i agar menjadi amal jariyah, selain motor bebek yang diwariskan ke si bungsu.
Mengaji ya mengaji dalam arti membaca Al Qur’an dan juga belajar agama. Maka, keempat bersaudara kandung ini sempat mencicipi dunia pesantren. Malik di Dar-e Istiqomah, Dar-el Qolam dan di ISID Gontor. Zaenal di Kananga, Dar-el Istiqomah dan kemudian Gontor Ponorogo. Hamid di AtThohiriyah dan AtThobroniyah. Rahmat cukup di AtThobroniyah.
Bekerja juga keharusan. Pekerjaan kasar semacam berladang jagung dan kacang tanah, membantu tukang bangunan, mencabuti rumput, membersihkan kandang ayam atau memetik kelapa adalah keahlian yang dimiliki sejak masih anak-anak. Alasan Pak Sukasri sederhana: biar tidak malu-maluin di kampung orang dan agar bisa survive di tengah keterbatasan materi orang tuanya.
Menariknya, kewajiban bekerja setelah dzuhur sepulang sekolah sampai ashar inilah yang membuat anak-anak Pak Sukasri ini menjadi aktif berorganisasi seperti Osis dan Pramuka. Tujuannya sederhana: melarikan diri dari kerja keras yang melelahkan. Alhamdulillah, ada efek sampingnya, keempatnya menjadi aktivis karatan: Malik sibuk di dunia jurnaitlistik sejak madrasah Aliyah, Zaenal matang di HMI, Hamid jadi Ketua Senat di FISIP UI dan Rahmat juga jadi ketua BEM FISIP UNPAD.
Kebiasaan beraktivitas di ruang publik inilah yang juga kembuat keempatnya terpacu untuk peka, berpikir idealis (bahkan naif) dan memikirkan persoalan-persoalan di luar dirinya (baca: persoalan masyarakat). Maka, menulis adalah penyaluran dan minat untuk merespon berbagai persoalan tersebut dengan pengetahuan yang dimiliki di ruang publik melalui media-media yang ada.
Buku ini bukan sekedar kumpulan tulisan, tapi juga kumpulan semangat kerukunan, perlawanan atas keterbatasan, dan juga kegelisahan. Ia adalah persembahan bagi orangtua yang telah mendidik keempat penulis ini dalam apa yang sering disebut orang sebagai “Character Building”. Walaupun begitu, sesungguhnya karakter dasar setiap penulis juga amat berbeda: Malik bijak dan cukup sensitif, Zaenal keukeuh dan keras kepala (karena itu sekolah bisa sampai Belanda), Hamid bersemangat dan cenderung keras (salah satu ilhamnya adalah cerita Pak Sukasri menghunus golok mempertahankan tanah), sedangkan Rahmat santun dan penurut.
Buku ini juga adalah bukti bahwa warisan terpenting kepada anak adalah akhlak dan ilmu dan bukan materi. Dengan kedua senjata itulah orang tua bisa meninggalkan anak-anaknya dengan tenang.
Baca Bukunya, Rasakan Semangatnya,
Fotonya semakin menegaskan ‘karakter dasar’ yang dinarasikan, Kang Hamid 🙂
Memuat...
Great family. Saya hanya kenal Malik, tapi karena pernah jadi teman sebangku di SMP, rasanya cukuplah untuk mengenalnya sebagai wakil dari keluarganya.
Tentang buku, karena ga bisa hadir di rumah dunia, saya hunting dulu bukunya deh…
Keep fighting, bro…
Memuat...
Cm mo komentarin foto (maap blon baca artikelnya, apalagi bukunya)
Kang Hamid ko yg paling ‘subur’ ya…?
Klo ‘kawan Kiri’ pasti akan lebih jauh mengkritisinya…
🙂
Fotonya semakin menegaskan ‘karakter dasar’ yang dinarasikan, Kang Hamid 🙂
Great family. Saya hanya kenal Malik, tapi karena pernah jadi teman sebangku di SMP, rasanya cukuplah untuk mengenalnya sebagai wakil dari keluarganya.
Tentang buku, karena ga bisa hadir di rumah dunia, saya hunting dulu bukunya deh…
Keep fighting, bro…
Cm mo komentarin foto (maap blon baca artikelnya, apalagi bukunya)
Kang Hamid ko yg paling ‘subur’ ya…?
Klo ‘kawan Kiri’ pasti akan lebih jauh mengkritisinya…
🙂