Saya pikir kampus-kampus Indonesia sulit untuk bersaing di tingkat internasional dan menjadi World Class University. Dari segi fasilitas lab dan perpustakaan, kualifikasi pendidikan pengajar, atau jumlah riset yang dihasilkan, kita jauh ketinggalan. Dalam soal penghasilan dosen, duh baru saya tulis kemarin, kita ada di papan bawah.
Apalagi kemarin ramai di media soal guru besar dan temannya yang menulis karya ilmiah di hotel, bukan di kampus. Mungkin karena banyak dosen gak punya meja buat kerja 😉
Tapi saya sudah gak mau menuntut-nuntut, capex. Saya mau konstruktif saja.
Saya ndak mau memaki kegelapan, mau menyalakan lilin saja 😉
Kita para dosen di Indonesia punya kelebihan setidaknya dalam dua hal, yang tidak dimiliki oleh para pendidik di mancanegara: sifat bersyukur dan bersabar.
Ya perdebatan soal profesionalitas, termasuk tanggapan terhadap tulisan-tulisan saya banyak terisi oleh mereka yang mengingatkan untuk bersyukur. Lebih baik melihat ke bawah, banyak yang penghasilannya lebih kecil, begitu kira-kira pesan uatamanya. Mereka yang membandingkan pendapatannya dengan kolega di negara lain, itu bukti tidak bersyukur. InsyaAllah kalau kita bersyukur, akan ditambah nikmatnya. Rejeki akan datang dari tempat yang tidak disangka-sangka.
Ada lektor yang membandingkan penghasilannya dengan tukang sapu di perancis, dianggap kurang bersyukur dan oleh koleganya diminta berhenti dan jadi tukang sapu saja 😉
Mesti bersyukur.
Saya dengan jujur mesti mengakui, mungkin bersyukur memang kelebihan kita.
Kedua, soal bersabar juga ndak ada yang mengalahkan rasanya. Catat saja dalam dua tahun ini, ada berapa peraturan dalam berbagai format (Perpres, PP, Permendikbud, permenPAN, banyak surat edaran) mengatur hajat dosen? Banyak kan. Apakah dosen dan organisasinya dilibatkan? Rasanya ndak kan. Apakah semua peraturan diterima? Iya lah.
Selain peraturan, instruksi juga tak kalah banyak. Mulai dari kewajiban menulis jurnal, absen, mengisi SIKPD, dan lain-lain. Disuruh meraih gelar sampai doktor, tapi banyak pendapatan dilucuti ketika tugas belajar. Mau sejahtera mesti ikut serdos, nggak seperti PNS lain (untuk dosen PNS) yang bisa dapat tunjangan kinerja tanpa sertifikasi. Tunjangan fungsional tak naik-naik selama 7 tahun, juga dihadapi dengan bersabar. Nulis jurnal banyak dibatasi oleh batas kepatutan disikapi dengan sabar. Petisi gak berhasil, juga sabar.
Ketika dosen-dosen beneran berjibaku sekolah sampai doktor, mengajar, menghasilkan karya ilmiah dan mengurus tetek bengek administratif untuk kenaikan jabatan fungsional, dengan entengnya para politisi berduyun-duyun diangkat menjadi guru besar, ya guru besar.
Semua dihadapi dengan rasa sabar. Yang menuntut atau protes dianggap kurang sabar, bahkan ada koleganya sendiri bilang “pikirannya cuma seluas lingkar perut”, ha ha.
Nah berdasarkan syukur dan sabar tadi rasanya memang pantas ada gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Serius ini, mungkin Indonesia bisa memulai membuat indeks syukur dan indeks sabar, oh ya mungkin ditambah indeks ikhlas lebih baik juga.
Kemudian mulai membuat pemeringkatan secara global untuk mendapatkan “Akhirat Class University”.
InsyaAllah kita akan ada di papan atas.
Ini bisa jadi sumbangan besar dari Indonesia bagi dunia pendidikan tinggi.
Lagi pula, dunia hanya sementara.
Salam 😉
Menyukai ini:
Suka Memuat...
suka sekali dengan sarkasme di sana sini, salam kenal.
Hahahaha…
Gara2 syukur dan sabar ini orang jadi cenderung susah membedakan kritik konstruktif dan benar2 kritik urusan lingkaran perut.
Mendukung terus kritik2 membangun Abah sebagai sesama dosen.
Ha.ha..haa… Lucu dan passs.
Kesinisan dan sarkasmenya halus sekali..