16 November, Rabu

Gawat, kereta Tilburg Uni – Rotterdam ternyata tak beroperasi.  Padahal tiket yang dibeli dari Sta. Univ. Tilburg ke Paris via Rotterdam. Kami mencoba mencari moda lain, bis atau kereta, nihil. Taka da pilihan, satu-satunya jalan pake taksi menuju Breda disambung kereta ke Rotterdam. Dapat taksi paling murah, 60 euro., itupun rasanya amat mahal dan menyakitkan. Gila 60 euro (sekitar 700 rebu rupiah) cuma buat naek mobil gak nyampe satu jam. Tapi gak ada pilihan lain, sudahlah daripada semua rencana kami berantakan.

Jam 4 kami dijemput sopir taksi dan menuju Breda. Perjalanan menuju Breda lancar karena jalanan amat lengang. Di taksi istriku bertanya, “ kalau sampai Rotterdam berapa?” sopir taksi menjawab “sekitar 100 euro”, he he sejuta lebih, gila.

Jam 5 kami sampai di Breda menunggu sebentar dan kemudian mendapatkan taksi menuju Paris.

Kami sampai di Paris jam 11 dan langsung mencari hotel. Petunjuk dari stasiun kedatangan sampai stasiun terdekat ke hotel sudah didapatkan dari Guswandi. Beberapa orang membantu kami menunjukkan arah ke hotel.

Hmm Paris sungguh berbeda dengan Belanda, agak “kumuh” dan nampaknya beragam ras berkumpul disana. Di stasiun kedatangan misalnya, cukup banyak pengemis berkeliaran dan agak memaksa. Para pemuda bermata liar juga banyak dimana-mana. Lorong-lorong Metro juga berbau tak sedap.

Hotel F1 Montpartnasse tak berada di tengah kota, namun di pinggirn, namun dekat dengan Metro Stasiun maupun Halte bis. Kami beristirahat sebentar di kamar hotel yang ternyata memiliki kamar mandi dan toilet di luar. Duh…

Jam 3 sore kami keluar dan berencana menuju basilique. Apa daya, ternyata nyasar ke louvre, jadilah kami menikmati ribuan karya seni di museum yang menjadi salah satu setting buku  Da Vinci Code tersebut. Di Louvre kami bertemu dengan Monalisa yang tetap tersenyum misterius dan juga Code Hammurabi.  Berikut foto-fotonya:

17 November, Kamis

Biarlah gambar yang bercerita:

18 November 2011, Jumat

Pagi ini aku terbangun dengan perasaan campur aduk. Gembira karena hari ini akan pulang ke tanah air. Sedih, karena aku dan istriku akan berpisah lagi dalam waktu yang cukup lama, sekitar 8 bulan.

Jam setengah delapan kami check out dari hotel F1, menuju metro, menggunakan jalur M13 disambung M1. Sampai di Gard de Lyon masih pagi, sempat minum kopi dan sarapan roti. Masih kurang dua jam dari keberangkatan kereta menuju Marseille. Sekitar jam 09.45, kereta kami baru datang, ternyata di jalur G, bukan di jalur 17 seperti kereta sebelumnya. Kami segera berjalan santai menuju jalur G. disana kami menunjukkan hasil print-out tiket semalam.

Petugas itu kaget melihat lembatran itu dan bilang “it’s not ticket Mam”, hah? Kami seperti kesamber geledek. Bukan apa-apa, perjalanan kami amat runtut. Di jadwal, kereta kami sampai di Marseille pk. 15.00 dan pesawat istriku ke Brussels pk. 16.05. Jika perjalanan ke Marseille gagal, maka ia gagal pulang ke Belanda via Belgia. Gawat, tak ada uang cash pula.

AKhirnya kami diminta ke mesin tiket dan menggunakan kartu kredit. Persoalannya, kartu kredit yang digunakan berada di laci rumah di Jakarta. Rupanya,print out dari email bukanlah tiket, tapi semacam tanda booking. Kami mesti membayar langsung dengan kartu kredit di mesin di stasiun untuk meyelesaikan tranasaksi dan mendapatkan tiket.

Akhirnya kami diarahkan ke petugas tiket. Petugas tiket ngotot tak mau memberikan izin, sampai istriku mengiba-iba. Menunjukkan bahwa dia harus terbang sore ini ke Belgia dan menjelaskan bahwa kartu kredit ketinggalan di Jakarta.

Akhirnya, karena kasihan petugas membuat catatan kecil di potongan kertas, distempel dan kami mesti menunjukkan ke kondektur. Kami langsung lari menuju kereta karena hanya kurang satu menit lagi kereta berangkat.

Alhamdulillah, sampai di kursi kami, walaupun masih tegang, bagaimana nanti ketika bertemu kondektur, bisa-bisa diturunkan di tengah jalan. Perjalanan dengan pemandangan indah sepanjang Paris_marseille, sama sekali tak menarik lagi.Istriku mencoba mencari nomor kartu kredit di HP. Astaga, cobaan satu lagi datang. Blackberry istriku, hilang entah kemana, tak ada di tas manapun. Entah ketinggalan di hotel, atau memang dicopet oleh copet di Paris yang amat terkenal reputasinya.

Tak lama, , kondektur datang dan memeriksa tiket. Begitu sampai di kursi kami, ia langsung berkata-kata dalam bahasa perancis yang kami gak ngerti. Untung nenek di depan kami menterjemahkan ke bahasa Ingris. Intinya, ditanya kartu kreditnya, kami bilang ketinggalan di Jakarta. Bawa uang, kami bilang, gak punya. Punya travel checque, kami juga bilang gak ada.

Sepertinya kondetur tersebut marah, tapi kemudian dia pergi sambil berkata-kata dalam bahasa Perancis. Kami bingung, sampai nenek di seberang kursi kami menjelaskan “persoalan kalian selesai, kondektur tadi orang baik”

Alhamdulilah, agak lega walaupun tetap saja tak bisa tidur sepanjang perjalanan. Untunglah si nenek mengajak mengobrol banyak hal, mulai dari keluarga sampai animism. Lumayan menghilangkan kepanikan dan ketegangan.

Sampai di Marseille, kami memutuskan ganti moda transportasi, beli tiket baru untuk menuju Airport. Ternyata moda tercepat adalah shuttle bis, jadilah kami menuju Airport dengan bis bertarif 17 euro berdua.

Di dalam bis barulah betul-betul merasa lega dan bisa makan siang roti yang kami bawa.

Di bandara, istriku berangkat dari Hall1 low Cost Carrier, Ryan Air. Ia menangis karena mesti berpisah lagi. Tapi hidup mesti dijalani, ia menuju pesawatnya dan aku menuju Hall 4, tempat pesawatku akan menuju Indonesia pk. 19.25.

The End

Tinggalkan Balasan