Sudah sebulan ini konsentrasi saya terpecah antara mengerjakan kewajiban menulis beberapa paper tentang politik lokal dan ketertarikan mengamati perkembangan dunia perdosenan. Ya, dunia saya sendiri setidaknya sampai nanti berumur enampuluh lima tahun.
Baru-baru ini muncul Draf Permenpan tentang Jabatan Akademik Dosen, Draf Permendikbud tentang Pengangkatan Dosen Tetap di Perguruan Tinggi, Draf Permendikbud tentang Pemberian Tunjangan Profesi dan Tunjangan Kehormatan bagi Dosen yang Menduduki Jabatan Akademik Profesor, Lampiran Juknis III-Penetapan Angka Kredit, Lampiran Juknis I berisi Jabatan Akademik, Kualifikasi, Kriteria, Tugas, Tanggung jawab, Wewengan dan Indikator Penilaian Dosen, dan Permendikbud tentang Tata Cara Penugasan dan Pemberian Insentif Dosen PNS dari PT Sumber ke PTN Sasaran.
Ada beberapa hal menarik dari draft-draft tersebut. berikut saya kompilasikan.
Pertama, Untuk menjadi dosen tetap, pendaftar mesti memiliki nilai toefl 500/IELTS 5.5 dan juga publikasi ilmiah di jurnal.
Kedua, dosen yang hendak mengajukan jabatan fungsional lektor mesti memiliki publikasi di jurnal terakreditasi dikti. Ketiga, dosen yang hendak mengajukan jabatan fungsional lektor kepala mesti sudah (tiga tahun dari) doktor dan memiliki publikasi di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama. Keempat, dosen yang hendak mengajukan jabatan fungsional profesor mesti sudah (tiga tahun dari) doktor dan memiliki publikasi di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama, serta bertugas minimal sepuluh tahun sebagai dosen. Kelima, pengajuan jabatan fungsional dari satu jenjang ke jenjang selanjutnya minimal empat tahun. Keenam, ada keistimewaan bagi dosen berprestasi tinggi dalam hal pengajuan jabatan fungsional (mis. bisa kurang dr 3 tahun setelah doktor), tapi tak dijelaskan kriterianya. Keenam, Profesor memiliki kewajiban menulis buku, publikasi di jurnal terakreditasi dan menyebarluaskan gagasannya dalam kurun tiga tahun untuk mendapatkan tunjangan kehormatan, jika tidak maka tunjangan kehormatannya dihentikan sementara.
Nah, beberapa hari lalu juga muncul surat edaran yang menyatakan bahwa portofolio sertifikasi dosen tahun 2013 ditambahkan syarat menyertakan sertifikat TOEFL dan TPA. Sila suratnya dibaca disini.
Belum lagi pekerjaan yang overload di Dikti membuat diadakannya moratorium pengajuan jabatan fungsional Lektor kepala dan Guru besar sampai maret 2013. Sila suratnya dibaca disini. Alasannya menyelesaikan tunggakan pengajuan dan penggunaan sistem online (soal sistem online sebetulnya sudah siap sejak 2011 namun entah kenapa tidak jalan-jalan, sila main ke pak.dikti.go.id). Hanya saja tidak jelas apakah setelah maret 2013 tetap memakai aturan lama atau aturan baru yang masih berupa draft diatas sudah berlaku.
oke sekarang saya beri analisis. Jika dilihat secara positif, maka seperangkat aturan ini adalah untuk meningkatkan kualitas dosen yang berdampak pada peningkatan kulitas pendidikan tinggi di Indonesia. Bayangkan, semua dosen dan calon dosen memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Artinya mereka mampu membaca text book dan jurnal berbahasa Inggris. Lompatan besar akan terjadi disini. Begitu juga kewajiban menulis di jurnal terakreditasi (bagi calon lektor) dan jurnal internasional (bagi lektor kepala dan profesor) akan mendorong lompatan dalam jumlah publiksi dari bapak/ibu dosen di Indonesia. Dirjen Dikti pasti girang jika jumlah publikasi dari Indonesia bisa mengalahkan malaysia, he he.
Nah, tapi selain pembebanan terhadap dosen, Dirjen Dikti dan kawan-kawan musti membuat juga aturan standar fasilitas dosen. Sederhana saja, ada perpustakaan berkualitas dengan akses memadai ke buku dan jurnal internasional. Serta mesti ada ruang kerja atau meja kerja yang memadai bagi semua dosen. Nah, cantumkan standar ini dalam aturan akreditasi (atau udah ya, cuma gw aja gak tau) sehingga perguruan tinggi memaksakan menyediakan fasilitas ini bagi para pengajarnya.
Nah, tapi kok beberapa aspek terasa menghambat karir dosen ya? Misalnya aturan naik jenjang minimal sudah empat tahun di jabatan fungsional sebelumnya padahal sebelumnya hanya tiga tahun. Atau mesti jadi doktor selama tiga tahun baru boleh mengajukan kenaikan ke lektor kepala/ profesor. Juga mesti sepuluh tahun bekerja baru boleh mengajukan ke Profesor. Aturan-aturan ini amat menghambat.
Juga aturan lama bahwa dosen yang tugas belajar tidak dihitung publikasinya selama kuliah dengan alasan publikasi tersebut dianggap prasayarat lulus dan dapat ijazah dan nanti yang dihitung cuma ijazah saja. Lha dosen yang izin belajar malah tetap bisa dihitung publikasinya selama kuliah, he he. makanya banyak kawan memilih izin belajar dan bukan tugas belajar, masih dapat serdos dan publikasi juga dihitung, benefit tak beda jauh jika kuliahnya di dalam negeri.
Nah, selidik-punya selidik aku menduga keras jika ini berkaitan dengan rencana remunerasi yang akan berlaku mulai tahun depan. Jika tak meleset pegawai kemendibud (termasuk dosen) akan mendapatkan remunerasi mulai tahun 2013. hanya saja karena belum WTP maka pegawai kemendikbud hanya akan mendapatkan remunerasi sebesar 40% daripada yang diterima instansi yang sudah WTP.
Memang ini masih rumor karena upaya mendapatkan dokumen otentik sulit sekali. Namun nampaknya upaya mengerem karir dosen berkaitan dengan mengerem jumlah pengeluaran dalam pembayaran remunerasi ketika diterapkan.
update penting !!!!!
Malam ini kembali mencari beberapa informasi soal remunerasi dosen. ada info yang bisa dibaca disini tentang remunerasi di kemendikbud (sila baca atau dowload di http://www.slideshare.net/haris5782/kebijakan-reformasi-birokrasi-dan-evaluasi-jabatan?ref=http://www.kopertis12.or.id/2011/12/25/kebijakan-reformasi-birokrasi-dan-evaluasi-jabatan-di-lingkungan-kemdiknas.html)
nah, tapi di powerpoint tersebut kata dosen sama sekali tidak disebut. dan eng ing eng, ketika memelototi website kemenpan RB, di http://www.menpan.go.id/faq/570-faq-job-grading, ditemukan tanya jawab berikut:
———
T : Apakah jabatan fungsional dosen juga dimasukkan dalam daftar penilaian dan pengusulan tunjangan kinerja melalui job grading?
J : Tidak, sampai saat ini jabatan fungsional dosen sudah mendapatkan tunjangan kinerja melalui sertifikasi (kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan). Dengan prinsip, bahwa tidak ada duplikasi dalam pemberian reward and punishment, maka untuk saat ini fungsional dosen tidak dimasukkan dalam pengusulan tunjangan kinerja melaluijob grading.
———
jadi buat bapak/ibu dosen saya sendiri tidak tahu mana yang valid, maaf info ini cukup mengejutkan dan membuyarkan lamunan bapak/ ibu semua ya :(.
Semoga saja dalam beberapa bulan ini ada kejelasan apakah dosen menjadi jabatan fungsional yang mendapatkan remunerasi atau tidak. Pesan saya, jangan putus asa, terus berkarya saja, capai karir akademik tertinggi sebaga Guru Besar. Di titik itulah ketenangan bekerja sebagai dosen (baca: mengajar dan meneliti) bisa didapatkan, tak perlu mengamen kesana-kemari.
lanjutkan perkembangan terbaru di Karir dan Remunerasi Dosen di Indonesia (II).
Update lagi:
Update:
Finally, Dosen di Kemdikbud bernasib lebih buruk daripada dosen di instansi lain.
Dalam Perpres 88 tahun 2013, dosen dikecualikan sebagai penerima tunjangan kinerja. Menyedihkan sekali. berarti asumsi, analisis dan prediksi saya yang dibangun berdasarkan pengalaman beberapa dosen di instansi yang sudah menikmati tunjangan kinerja semuanya gugur. Selanjutnya silahkan dibaca disini: http://abdul-hamid.com/2013/12/13/dosen-tidak-dapat-tunjangan-kinerja/.
Salam kenal, Setuju banget mas dengan tulisannya.
apakah atauran ini sama dengan guru, unt renumerasi dan kenaikan dr lektor ke lektor kepala
Guru bukan pegawai kementrian pendidikan nasional bu, tapi pegawai daerah. Maka untuk guru berlaku tunjangan daerah. Contohnya di Jakarta, dengan tunjangan daerah, gaji guru sd bisa lebih besar dari dosen biasa (baca: bukan profesor dan pejabat) di ui, he he. aturan lektor dan lektor kepala juga adalah bagian dari jabatan fungsional dosen, guru tidak diatur seperti itu.
HHHHH….hmmmmmm.mmmmmm. HHHHHmmmmmm, Toefl dan Tpa serdos?.
dunia dosen makin berat mari tingkatkan kemampuan diri ..:-)
Betul Pak Nyoman, mumpung lagi sekolah musti bertapa serius meningkatkan kesaktian nih, he he. Saatnya turun gunung sudah bisa lebih bermanfaat di dunia persilatan
ada lagi yang kurang menurut saya..dosen baru bisa diangkat kalau sudah S3 supaya seperti di jepang, jadi hanya yang memang senang belajar, dan meneliti bisa jadi dosen. Mengurangi KKN dalam pengangkatan dosen..he..he. Mantap artikelnya bos..Jempol buat Abah Hamid
Setuju pak, tp sekarang yg yang disayangkan, bg dosen non pns yg berumur lebih dari 40 tahun ke atas tidak bisa lg ikut tes cpns, sementara dosen non pns ini kalau kita liht dari semua persyaratan tes masuk cpns sudah memenuhi syarat, kecuali masa menjabat baru 13 tahun, dan menurut saya mana ada dosen non pns yg sdh s2 bisa memenuhi syarat harus sdh mengabdi sampai 16 thn, kecuali sejk tamat SMA sdh mengabdi di PT, itu barang kali bisa memenuhi target itu, kalau menurut saya aturan dari Menpan ini terlalu mengada-ada, km saja yg sdg s3 ini masa menjabat di PT. baru 13 thn, apakah dosen yg tes sekarang ini bisa memenuhi syarat itu, dan malah usia dosen yg s2 nya yg ikut tes cpns skrg rata-rata berusia dari 35 ke atas, jd kan kasian bg dosen2 yg mau ikut tes akhirnya merasa kecewa krn mengingat usia dan masa mengabdinya kurang, sementara kmps tempat mengabdi itu masih membutuhkan dosen2 yg sdh megister dan doktor, cuma karena di sebabkan usia lebih dari target yg di tentukan, km merasa kecewa kalau aturan ini di berlakukan, menurut saya aturan yg di kelurkan oleh Menpan tdk memberi ruang yag luas, dan terlalu memberi ruang sempit bagi dosen yg belum PNS, sebab tidak memberi peluang buat km yg belum PNS, jadi menurut km percuma saja buat km kalau kami harus mempertahan kan s3nya mati-matian tp pada akhirnya tdk bisa berbuat apa2 lg, seharusnya Menpan berpikir yg jernih dong, membuat aturan itu seharusnya perlu pertimbangan yg mendalam terlebih dahulu, biar tdk merasa km dosen2 yg belum PNS ini di anak tirikan dan tdk diberikan kesempatan utk ikut tes cpns thn 2013 saat ini, berarti setelah km tamat kuliah s3 untuk apa lg, krn perguruan tinggi manapun sdh pasti tdk akan menerima km lagi…..kasiah deh km selaku dosen yg sdh memenuhi syarat dan sdh mempunyai serdos kok gak diperhatikan, mau jadi apa negara ini? tidak jelas.
Banyak dosen pns ( PTN) yang masih mengajar di pts, Beliau ini kan dibayar Oleh negara. Yang memprihatinkan banyak jam di pts
terimakasih artikelnya mas hamid. apapun bahagia dan tidak bahagianya, saya tetap setia pada cita cita menjadi dosen. 🙂
sip !!!
perlu koordinasi dari banyak pihak, dan adanya kesepakatan internal yg solid, guna mewujudkan reformasi ini, kita ga bis berharap banyak ke pihak eksternal (kemenpan atau kemenkeu) karena yang tahu dengan jelas bagaimana kondisi bidang pekerjaannya kan masing masing fihak,perlunya kesepakatan internal yang solid supaya bisa mewujudkan semua aspirasi, dan ingat kemenpan pun awalnya tidak terlihat sungguh sungguh oleh reformasi ini, karena semestinya kan menajadi pihak HRD dept. tapi masih banyak hal yg belum dikerjakan, slamat bertransformasi(tapi kenapa kok yg disebut sebut itu remunerasi mulu, hampir disetiap instansi ngomongnya begitu, nanti larinya ke UUD lagi deh)..
katanya “if you pay peanuts, you get monkeys” 😉
tapi tentu saja ini remunerasi atau apapun itu namanya mesti menjadi langkah awal saja. Pada akhirnya pemerintahan musti diiisi hanya oleh orang yang kompeten dan punya integritas saja yang bekerja dengan baik dan dibayar dengan layak.
Benar-benar membuyarkan banyak lamunan sepertinya… 🙂 Salut tulisannya abah hamid. Ijin share sekalian boleh ya?
monggo pakde herry, masih pake blangkon?
TENAGA PENDIDIK (GURU&DOSEN) SELAIN GAJI DPT TUNJANGAN KEP SEK, REKTOR DAN DEKAN, TUNJ FUNGSIONAL, SERTIFIKASI (1 BULANGAJI), DPT LAGI TUNJ STRUKTURAL BILA RANGKAP JABATAN DPT LAGI REMUNERASI BAYANGKAN ANGGARAN 300 Trilyun, sebanyak 100 T utk biayai sertifikasi 2 juta guru dan dosen. apa gak bangkrut negara dan hamburkan uang rakyat
mas umar, boleh juga pendapatnya. saya sendiri setuju sekali jika pendapatan pendidik memang harus tinggi karena di pundak mereka anak bangsa dibentuk, yang mana masa depan negeri ini dipertaruhkan. hal ini penting untuk membuat orang-orang terbaik tertarik menjadi pendidik, baik guru ataupun dosen. nah, seperti komentar saya sebelumnya, kenaikan pendapatan ini menjadi awal saja, selanjutnya lakukan seleksi ulang dengan kriteria yang ketat, yang underperformance dialihfungsikan tak usah jadi pendidik. Jadi hasilnya nanti seimbang, antara pendapatan yang memadai, beban pengeluaran negara, kinerja yang baik dan input dan outcome yang dihasilkan.
Salam kenal, Pak Hamid..
Saya sepakat dg kalimat terakhir Pak Hamid itu..”tak perlu putus asa, terus berkarya saja”. Karena menurut saya, menjadi dosen juga membutuhkan “feel”. Seiring perkembangan zaman, para pendidik pun dituntut lebih kompetitif. Saya berusaha utk melihat semua draft ini dr sisi positif saja. InsyaAllah Allah melancarkan rezeki bagi orang yg benar2 berusaha..amin
ass. pak abdul hamid. saya mau tanya. apa kah guru dapat remunerasi kemendikbud?? karena guru dan dosen dibawah naungan kemendikbud, contohnya skrg sertifikasi guru tahun 2013 langsung dicairkan dari kemendikbud, dan UU guru dan dosen. berarti guru dapat remunerasi kemendikbud.
a
sepemahaman saya guru adalah pegawai daerah yang jikapun mendapatkan remunerasi sumbernya dari APBD dan bentuknya tunjangan kinerja daerah yang besarannya masih bervariasi, ada yang buesar seperti Jakarta ada yang kecil juga.
Pertanyaannya…(1) Pernyataan tentang jabatan fungsional dosen sudah mendapatkan tunjangan kinerja melalui sertifikasi (kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) perlu mendapat perhatian. Tunjangan kinerja sbg implikasi dr reformasi birokrasi berbeda dengan tunjangan profesi dosen. Tunjangan profesi tidak berdasarkan kelas jabatan, hanya pukul rata 1 kali dari gaji pokok. Kaitannya dg itu…(2) Kalau mengacu prinsip bahwa tidak ada duplikasi dalam pemberian reward and punishment, maka tunjangan2 di Depkeu apakah harus dihapuskan?? di Depkeu jenis tunjunjangan2nya banyak. (3). Pada slide remunerasi di kemendikbud disebutkan bhwa tunjangan kinerja tdk diberikan kpd salah satunya pegawai yg nyata2 tdk memiliki tugas/jabatan/pekerjaan tertentu…lha apakah para dosen itu penganggur yg tdk punya pekerjaan??
Bukan mau mengeluh apalg hanya berpikiran duit…cuma sgala peraturan baru (walau masih draft) terasa sangat berat..tidak sebanding dg rewardnya. Asisten ahli ke lektor tunjangan cuma naik 300an ribu, lektor ke LK cuma 200an ribu..sedangkan effortnya luar biasa berat. Bertahun2 S3, stlh doktor msh hrs nunggu bertahun2 lg u bisa ke LK dan dg syarat yg berat..u bisa dimuta di journal iternasional bereputasi bukanlah perkara mudah.
Akhirnya…kl tidak ada reward yg sepadan (misalnya mendapat tunjgn kinerja) utk apa itu semua??? Agar publikasi dosen kita tidak kalah dg malaysia????…sungguh alasan dg “bungkus” nasionalisme yg kosong tak bermakna.
Hakim nol tahun gaji langsung 10 jutaan…lulusan D3 stan kerja pertama sudah berjuta2..gayus 3A 12 jt lebih. Gimana dg dosen..??? berapa take home pay dosen dg jafa lektor ?? Harus berdarah2 dulu u jd profesor u bisa mendaptkan penghasilan spt gayus. Dosen jg manusia…yg jg butuh beli makan u dirinya sdri n keluarganya, jg pingin bisa beli rumah jg pingin bisa meyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi.
Saya setuju 1500 persen dengan pendapatnya mas/mbak Dosen Katrok ;). Jadi dosen sekarang memang baru mendapatkan keamanan finasial setelah jadi Profesor saja. Sebelum itu ya, berdarah-darah. makanya orang-orang terbaik memilih bekerja di perusahaan multinasional atau jikapun mengajar di luar negeri. Semoga pemerintah berpikir strategis bahwa menaikkan pendapatan dosen adalah investasi untuk pendidikan tinggi karena seperti kata Kimura Sensei di tempat saya sekolah, kampus itu tempat mendidik calon-calon pemimpin bangsa.
salam kenal mas,,terasa berat untuk meningkatkan karis sebagai dosen,,,jika aturan itu diteapkan…moga2 pemerintah lebih bijak lagi, umur udh kepala lima.
Berat amat ya…untuk bisa akses 1 judul artikel ilmiah internasional paling sedikit US$ 23. Jadi utk 10 artikel saja sudah US$ 230. Maka tak heran banyak saya baca karya ilmiah dengan daftar pustaka berasal dari jurnal internasional hampir 99,9%, akan tetapi artikel tersebut hanya judul saja dan dicomot dari daftar pustaka penelitian orang lain (sipeneliti tidak mempunyai artikel lengkap, hanya judul)
Memang secara umum gaji dosen di Indonesia menyedihkan, Bahkan kalah oleh pekerja selevel supervisor. Tapi di luar negeri-pun, gaji assistant professor masih kalah oleh manager level menengah. Nasib pekerja akademis yang belum mendapatkan tenure seperti postdoctoral fellow lebih menyedihkan lagi. Memang remunerasi di dunia akademia tidak pernah bisa menyamai dunia industri.
Tapi kabarnya di beberapa perguruan tinggi swasta Internasional di Indonesia (Jakarta tepatnya), mereka berani menggaji dosen dengan pendidikan S3 cukup kompetitif setara dengan manager menengah di perusahaan multinasional. Tapi terus terang saya belum pernah ketemu dosen dari universitas tersebut jadi tidak bisa membuktikannya.
Iya benar, saya pernah ketemu dengan beberapa dosen begitu 😀
setuju Bah, teruslah berkarya..bgm di jepang lancar2 saja kan, Kang?
sukses selalu
Yuli
FISIp-UT
Bicara soal remunerasi saya sebenarnya senang.saya sebagai PNS yang bertugas sebagai staff dengan golongan III/b (sebentar lagi lll/c) di Perguruan Tinggi Negeri di daerah dengan status Badan Layanan Umum (BLU) tentunya harus lebih meningkatkan mutu kualitas kerja dan layanan bagi masyarakat khususnya mahasiswa.Tetapi kami sebagai PNS yang bukan dosen seperti tidak pernah dianggap,tidak pernah didengar keluhan kami.Yang benar dan yang harus didengar hanya dosen saja.Apakah sebuah instansi itu tidak butuh pelayanan yang lain.misalnya layanan administrasi atau layanan akademik bagi mahasiswa.mengapa hanya dosen saja yang bisa mendapatkan beasiswa S2 atau S3? mengapa hanya dosen yang mendapatkan tunjangan sertifikasi dan tunjangan yang lain2nya? Tapi Saya bangga bisa menyelesaikan S2 Kebijakan Publik tanpa ada beasiswa dari manapun alias biaya pribadi dengan mengajukan pinjaman ke bank.Saya ingin maju dan pintar seperti dosen.Saya ingin bekerja dengan berbekal ilmu yang tinggi sehingga dapat melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik mungkin. Dan dapat memberikan layanan terutama bagi mahasiswa dengan baik pula. Saya harus apresiasi kepada para dosen yang melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi,tetapi tolong bisakah kalian para dosen seperti PADI?makin berisi makin merunduk….
Selamat dengan S2-nya Pak/ Bu Zia. Sebagai informasi saja, sejak tahun 2011 beasiswa luar negeri/ BU juga terbuka untuk tenaga kependidikan. Pendidik dan tenaga kependidikan memang dua mata koin dalam layanan pendidikan tinggi, kualitas keduanya menentukan seberapa baik kualitas sebuah kampus. Hanya keduanya memiliki peran yang berbeda. Sebagai pengajar dan peneliti, dosen diwajibkan untuk terus meningkatkan kualitas keilmuan sehingga sekolah sampai S3 menjadi kewajiban, bukan lagi sekedar kesempatan. Sementara, tenaga kependidikan menjadi backbone dalam proses pengelolaan sistem pendidikannya, sehingga keahlian dan keterampilan menjadi hal yang amat penting. Nah, karena tenaga kependidikan berada dalam jabatan struktural, lebih pasti mendapatkan remunerasi, hanya soal waktu saja. Sementara untuk dosen, masih menjadi polemik apakah dapat atau tidak. Kalau dikatakan dosen mendapatkan sertifikasi, belum semua juga mendapatkan itu. Salam.
Beritanta sudah sering didengar. Polemiknya juga. . tapi realisasinya entah kapan.
Dosen diberi gaji kecil, layanannya juga kecil. Diberi gaji cukup, layanannya juga cukup-cukupan. Idealisme tanpa rasionalisasi dan kalkulasi tidak serasi di pikiran dosen. Beli Laptop saja harus nyicil. Apalagi beli rumah, wah-wah-wah. Wibawa dosen yang naik speda motor, tergerus oleh mahasiswa yang bermobil mewah. Masih banyak dosen golongan empat yang antre dengan mahasiswa di tempat parkir sepeda motor. Hanya Tuhan yang mampu mendorong semangatnya untuk memperbaharui pemelajaran. Jangan-jangan semakin banyak Dosen menjadi penghasut kebobrokan pemerintah dengan menyingung-nyinggung nama koruptor di depan kelas. Adalah ironis jika dosen mendorong mahasiswanya menjadi pintar sementara anak-anaknya pun tidak mampu disekolahkannya ke sekolah-sekolah yang bermutu. Dosen yang menerima tunjangan struktural di Perguruan Tinggi itu sangat sedikit. Yang lain harus cari tambahan di luar. Ada yang menjulukinya sebagai “Dosen terbirit-birit”. Dengan masa jabatan yang sama, kesejahteraan keluarga dosen mudah dibandingkan dengan bapak-bapak polisi yang lulusan SMA. Kalau tidak percaya, lakukan saja survei. Kan sekarang sudah semakin banyak lembaga survei ?. Salam realitas.
setuju pak dermawan
Salam, Pak Abdul Hamid, apakah punya informasi,TPA dan TOEFL/IELTS untuk serdos adakah nilai minimalnya dan waktu berlakunya (kadaluarsa)? Untuk dosen yg lulusan luar negeri (Master&PhD) yg menggunakan bahasa pengantar B.Inggris, tetap jg harus menyertakan TOEFL/IELTS? Terimakasih
sampai sekarang belum ada juklak/juknisnya bu, ditunggu saja.
dosen itu produknya cetak SDM indonesia yg berkualitas konsekuensinya dituntut kuasai bhs inggris dan jurnal internasional tapi para dosen banyak mengeluh dg jenjang karir sementara penghasilannya selain gaji, tunj fungsional dosen, sertifikasi (1 bulan gaji) + tuni struktural bila ragkap jabatan rektor, dekan dan Kajur+ proyek penelitian milyaran yg dikorup diusulkan remunerasi. lebih baik mundur saja jika keberatan jadi dosen banyak orang ingin jadi dosen
mas paijo, boleh kok kalau mau jadi dosen, gak ada yang melarang. perspektif tulisan ini adalah bagaimana profesi dosen bisa menjadi pilihan bagi orang-orang terbaik. tapi saya sepakat, jika memang pada akhirnya orang tak berdedikasi terhadap ilmu pengetahuan dan enggan meningkatkan kemampuan memang sebaiknya mencari profesi lain 🙂
Saya hampir putus asa jadi dosen di lingkungan Kemenkes, birokrasinya sangat berat. Beruntung masih punya pelipur penelitian Risbin Iptekdok, STRANAS, dan Sinas. Sepertinya bekerja tidak dihargai, rencananya akan pindah swasta atau pensiun dini.
Wah, saya ikut bersimpati. Semoga cepat mendapatkan solusi terbaik ya Mas/Mbak.
Salam kenal Mas,
Boleh tahu aturannya klu naik jabatan ke Lektor Kepala harus S3? Soalnya di kampus sy blm byk yg tau. Tks
Dear Mbak Ina Rachma, sampai sekarang belum ada perkembangan terbaru dari apa yang saya tulis di http://abahamid.wordpress.com/2012/12/28/karir-dan-remunerasi-dosen-di-indonesia/. Aturan yang berlaku sesungguhnya masih memakai aturan yang lama, karena sampai sekarang draft permenpan rb tentang jabatan akademik dosen belum disahkan sebagai permen. Nah, kemarin memang ada moratorium sampai bulan maret. Artinya April ini pengajuan jafung LK dan GB di dikti seharusnya sudah dibuka lagi. Nah kalau nanti memang permenpan tersebut berlaku, syarat LK memang berat, harus (tiga tahun) doktor dan punya tulisan di jurnal internasioal. namun aturan yang sekarang masih berlaku hanya S2, tiga tahun dari lektor dan memenuhi kum yang dipersyaratkan. Salam.
Untuk dosen ada disebutkan di fungsional tertentu yaitu jabatan fungsional yang kenaikannya tergantung angka kredit. Bisa dilihat di i http://www.slideshare.net/haris5782/kebijakan-reformasi-birokrasi-dan-evaluasi-jabatan?ref=http://www.kopertis12.or.id/2011/12/25/kebijakan-reformasi-birokrasi-dan-evaluasi-jabatan-di-lingkungan-kemdiknas.html) dan permendikbud no 7 tahun 2013. Untuk pembayaran tunjangan kinerjanya berdasarkan pengalaman K/L yang lain tahun lalu yang mempunyai tunjangan profesi juga ialah selisih antara tunjangan kinerja dengan tunjangan profesi
semoga saja ya, sekarang memang spekulasi dalam persoalan ini bermacam-macam. tentu saja sebagai dosen saya juga senang jika bisa mendapatkan remunerasi. namun memang apa yang ditulis di FAQ-nya kemenpan RB di tulisan diatas agak membuyarkan harapan tersebut. Let see ya…
wah trims infonya, ada pencerahan yg rasional.
trims santana83 atas infonya, penjelasan anda melegakan hati. salam
wah komplit sekali pak, reviewnya.. terima kasih. Saya pribadi nggak setuju dengan remun. Pola pikirnya tetap sama seperti TUAN-BABU: ‘you bisa dapet segini lho, asal ngerjain ini ini itu, dengan cap bgini bgitu yg harus-valid-dipertanggungjawabkan!’ Padahal tri dharma membutuhkan kualifikasi dan standarisasi (standarisasi PT seperti Bapak contohkan, misalnya perpustakaan, lab, dll … untuk bisa jadi kampus modern masih dalam impian di awang2 PT saya) .. Jadi prinsip saya pola pikirnya tetap kinerja + standarisasi itu perhatiin dulu: misalnya kenapa nggak bagiin saja Dana Penelitian + Pengabdian per orang, besarnya disama kan dengan remun .. (kalo pandai menghitung, honornya yang 30 % dari biaya penelitian/pengabdian saya kira memadai disamping serdos yang tetap ada… ) daripada sibuk mikirkan pertanggungjawaban administrasi begini begitu yang harus diisi dalam memenuhi tuntutan remun.. Ditambah dengan anggaran penelitian kompetitif tentu lebih mendongkrak persentase penelitian+pengabdian+publikasi nasional… mungkin ada yang tanggapan untuk pemikiran saya yang sederhana? trima kasih
Saya sih maunya semuanya keluar, he he: fasilitas betul-betul baik, dana penelitian berkecukupan dan remunerasi juga keluar. Saya pikir untuk fasilitas dua hal yang amat penting (dari sudut pandang dosen ya), perpustakaan yang baik dan ruang bekerja yang memadai. Saya masih menemukan banyak kampus yang dosennya tak punya ruang kerja bahkan meja kerja sekalipun, kecuali yang punya jabatan. Pun perpustakaan, masih jauh dari perpus di kampus di negara-negara lain. Soal pendapatan mau dari penelitian ataupun remunerasi, bukankah keduanya sama harus dipertanggungjawabkan secara administratif?
Ya..sy setuju dengan kata2 di bagian akhir itu..
Terus berkarya..
Berikan yang terbaik…
Pasti tidak ada yang sia-sia.
Kalau mikiri peraturan yg berubah-rubah terus itu…malah pusing tidak bisa berkarya nanti..:)
Semangaaaat…
Setiap kebijakan pasti ada resikonya.. saya setuju, namun lebih tepatnya adalah diperlukan masa transisi berlakunya, sehingga banyak orang mau mepersiapkan diri, dan memberikan kesempatan senior yang kariernya mentok untuk bisa mengurus terlebih dahulu jafa lektor kepalanya, sehingga PT tidak kekurangan dosen dengan jafa memadai, (tidak proporsional) begitu pula bagi yang muda punya waktu mempersiapkan diri untuk studi lanjut… Jika tidak orang akan membuat banyak yang menyerah dan merasa kurang dihargai, dan itu berbahaya bagi pendidikan. itu sendiri
Salam damai.. Abah hamid..
salam hangat bos Mukid 🙂
Salam kenal,
Saya dosen di salah satu perguruan tinggi kedinasan yang tidak dibawahi oleh dikti. Remunerasi PNS di instansi kami sudah mulai berlaku sejak tahun 2012, baik untuk Dosen dan staf.
Namun untuk dosen, bagi yang telah tersertifikasi, maka remunerasi dipotong tunjangan sertifikasi. Untuk dosen yang belum tersertifikasi, maka dipotong dengan honor mengajar.
Oh iyya. Kami para dosen, mesti hadir di kantor Pukul 08.00 dan pulang 16.30 karena semua dosen juga bertindak sebagai staf. Sementara waktu mengajar adalah mulai 16.30-21.00
#phew.. nasib jadi dosen.. capek deeehh..
Wah salam kenal, trims infonya, menarik sekali. berarti besaran remunerasi lebih besar dari sertifikasi dong? bisa cerita lebih jauh? #penasaran
heheee… Jadi ilustrasinya seperti ini. Untuk Lektor Kepala dapat Grade !3, jumlah remun 6.023.000,-. Tunjangan srtifikasi Rp. 2.800.000,-
Jadi besaran yang diterima perbulan 3.223.000+2.800.000+gaji..
heheee.. lumayan gede laah.. Untuk sertifikasi dibebankan 12 SKS.
Unfortunately, remunnya diakumulasi dan dibayarin pas akhir tahun.. Heheee
Oh begitu ya. Mantap informasinya, terima kasih banyak ya, jadi dosen memang dapat remunerasi, tapi dikurangi tunjangan serdos. Hmm bagaimana dengan honor2 lain (menguji, koreksi, dll) apakah hilang juga Pak?
Honor menguji, membimbing dan kegiatan lain tetap dibayarkan, pak..
Cuma ya itu tadi.. Kami ngantornya dari pagi ampe malam..
Eniwei, saya perempuan, pak.. Hehee..
Terima kasih Bu Deasy, wah menarik banget, saya baru paham kenapa kenaikan jabatan fungsional (terutama ke lektor kepala dan guru besar) menjadi semakin sulit, karena berkonsekuensi pada pembiayaan remunerasi juga ya :). Ada aturan di tempat ibu yang bisa dishare nggak ya? untuk referensi teman2 di Dikbud nih, terutama soal grading-nya. terima kasih ya
mengingat makin beratnya beban dosen, kayaknya cuma superman yg bisa memenuhi harapan dikti. selamat berjuan para superman endonesa!!!
sy dosen di lingkungan kemenkes.. Alhamdulillah sdh dapat tunjangan sertifikasi dosen, namun tidak diperhitungkan dalam remunerasi kemenkes karena katanya sudah dapat tunjangan sertifikasi, sedangkan dosen yg belum mendapat sertifikasi akan dapat remunerasi.. pegawai lain yg bukan dosen akan mendapatkan remunerasi yang besarnya melebihi besarnya tunjangan sertifikasi dosen yg sy terima. jadi, apa istimewanya dosen? pendidikan dituntut setinggi2nya, tapi kesejahteraan tidak disesuaikan.. ….
Bu, yang saya pahami, dapat atau tidaknya remunerasi tergantung dari apakah besaran remunerasi lebih besar atau lebih kecil daripada tunjangan serdos. Jika lebih besar serdos, memang bisa dibilang tidak dapat, tapi jika lebih kecil, kita akan mendapat selisihnya, ini sesuai Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. Per-52/PB/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Kinerja Pegawai pada 20 K/L. Jadi memang serdos tak usah dikejar-kejar, mending kejar kenaikan fungsional karena itu yang menentukan besaran remunerasi. Mungkin bisa baca juga di http://abdul-hamid.com/2013/06/17/karir-dan-remunerasi-dosen-di-indonesia-ii/.
Ya setuju dg mbak/ibu yani, bukan menuntut untuk diistimewakan namun kebijakannya terasa timpang dan sangat tidak adil. Dengan kewajiban sbg dosen tersertifikasi yg lumayan berat tidak sebanding dengan pegawai lain yg mendapat remunerasi ….
Malam Pak Hamid, mohon infonya. pensiun dosen dg jabatan fungsional lektor katanya 58, apa betul?
trims sebelumnya.
Belum ada informasi soal itu, yang ada lektor kepala yang belum doktor tidak bisa naik golongan kecuali IIIC ke IIID. kalau ada insyaAllah disharing di blog ini
Bagus banget tulisan dan komen yang ada…ijin share ya pak….salam kenal dari ujung timur Indonesia
Pak Hamid…..klo dosen yang sudah jabfung (lektor) tapi belum diikutkan sertifikasi dosen dapat remun apa tidak??makasih…..
Semoga saja dapat ya Pak. Kabarnya kaau belum serdos ya dapetnya remunerasi, tapi kalau sudah serdos ya tergantung nominal yang paling besar yang mana.
Jadi dosen kan kemewahan dilihat dari perspektif kebebasan yg kita dapatkan. Paling tidak ruang inilah yg tdk dimiliki oleh seorang manajer sebuah perusahaan swasta. Keberadaan sebagai manusia yg relatif bebas, dg waktu yg relatif banyak, adalah sisi hidup saya sbg dosen yg praktis tiap hari saya syukuri. Jujur saya juga sering dibuat pusing kalau mikirin aturan yg diutak-atik “semaunya” oleh para birokrat bermental juragan di atas sana. Namun akhirnya saya tidak mau ambil pusing dg semua itu. Life must go on. Salah satu strategi pokok saya adalah menyesuaikan budget dg pendapatan, jadi standar hidup yg ketinggian sangat saya hindari. Alhamdulillah saya dikaruniai istri yg sangat pengertian. Juga anak2 yg dari kecil dibiasakan untuk realistis dan down to earth. Alhamdulillah, peluang seorang dosen untuk hidup dalam kebebasan yang damai dan kedamaian yg bebas benar2 bisa dinikmati. Akan makin stress kayaknya kalau kita banyak mandang ke kanan atau ke kiri…
Kebebasan berpikir iya, itu kemewahan tiada tara. Tapi soal waktu, sebetulnya tidak juga, dosen akivitasnya padat lho, bahkan banyak pekerjaan semacam ngoreksi yang dibawa ke rumah, he he. Oh ya, persepektif yang dibangun di blog ini adalah membangun kesadaran bahwa aturan dalam dunia karir dosen nggak ribet kok, malah sesuai dengan produktivitas kita. Saya percaya, semakin produktif kita berkarya dan telaten mendokumentasikannya (di aspek ini banyak dosen yang nggak telaten), karir akan semakin baik, dan pendapatan juga membaik, kesejahteraan keluarga juga akan baik. Tentu saja nggak cukup kalau buat beli lamborghini aventador-mah, tapi setidaknya cukup untuk membiayai anak sekolah dan mendapatkan gizi yang baik serta kita bisa beli buku satu atau dua setiap tahun ;).
terus bagaimana nasib guru yang belum sertifikasi. Sudah ga dapat sertifikasi karena diangkat setelah th 2005, ga dapat remunerasu pula. Apakah kami hanya sebagai patung yang melihat…..
Semoga lekas dapat sertifikasi ya Bu Isti. Kalau remunerasi, sebagai PNS Pemda, Guru sebetulnya dapat remunerasi dalam bentuk TKD, namun besarannya tergantung daerahnya masing-masing.
Malem Pak Hamid. Kita dosen pns ternyata ndk jadi dapat remunerasi ya? padahal di kementrian lain yg namanya dosen dapat serdos & selisih remun. kok peraturan utk kita seperti begini?
dasar pertimbangannya apa ya?
Betul, saya heran, kenapa kebijakan tentang dosen oleh kemdikbud selaku “induknya” selalu cenderung merugikan dan mempersulit dosen. Kenapa mesti ada double standard ya? Padahal aturan selisih tunjangan kinerja dan serdos tidak terlalu membebani negara tapi adil terhadap teman2 yang belum Serdos.
pendidikan sebetulnya pondasi maju tidaknya sebuah negara.
Selamat malam Pak Hamid…
Punya info ttg aturan libur bagi guru dan dosen?klo ada mohon di share,soalnya kami tidak lg mendapat cuti bersama dan cuti tahunan….klo mahasiswa libur,kami sbg dosen tidak boleh libur…jadi kami ga pernah libur…terima kasih…
Silahkan ke link berikut Pak Teguh: http://www.kopertis12.or.id/2013/10/10/edaran-menpan-rb-tentang-pelaksanaan-hari-libur-nasional-dan-cuti-bersama-tahun-2014.html
Iya pak….saya sudah buka PP 24/1976 pasal 8. Memang dsitu disebutkan PNS yg bekerja sbg dosen di perguruan tinggi yg mendapatkan liburan sesuai dg peraturan perundang2an yg berlaku,tidak berhak atas cuti tahunan….cuma saya belum dpt peraturan perundang2an mana yg mengatur libur dosen….