Diskusi soal petisi dosen di sebuah Grup facebook sungguh seru dan tak ada habis-habisnya. Ada yang pro dan kontra dengan berbagai argumentasi. Namun menariknya adalah, saya mencoba memahami argumentasi baik yang pro dan kontra dengan memahami latar belakang pembuat argumen. Saya percaya bahwa argumentasi muncul berdasarkan kondisi masing-masing pembuat argumen. Sebagian memandang dengan kacamata sendiri dan enggan memakai kacamata yang lain. Tidak apa-apa, empati kan memang sesuatu yang langka di negeri kita 🙂
Ada yang menyatakan menarik diri dari petisi secara terbuka, ada yang terus-menerus mengingatkan untuk bersyukur, ada yang membandingkan dengan profesi lain, ada yang menakut-nakuti nanti harus absen finger print (padahal di sebagian besar kampus sudah) dan masih banyak argumentasi lainnya.
Saya sendiri lebih banyak membaca, memahami dan untuk mereka yang betul-betul aktif selain membaca argumentasinya saya juga mencoba melihat profilenya di facebook. He he, kesimpulan saya sampai sekarang argumentasi seputar petisi dosen memang tergantung posisinya ada dimana, instansi bekerjanya di mana, jabatan fungsionalnya apa, kesibukan sehari-harinya seperti apa.
Empati memang tidak diajarkan di sekolah di Indonesia ya 🙂
Mau lebih detail jadi nggak enak ah 🙂
bener sekali pak hamid.. sepertinya etika , moral sopan santun dalam berbahasa jelas-jelas tidak pernah kita nikmati lagi, sampai ada yang tega menghina kita dosen sebagai manusia yang rakus.. karena telah menerima sertifikasi masih minta lagi remunerasi, , setelah saya telusuri ternyata yg bicara dari kalangan yg katanya terpelajar juga tapi kok bahasannya seperti itu, miris sekali kita pak..!! tidak kah mereka tahu sertifikasi itu seperti apa mendapatkannya dan remunerasi itu seperti apa..??