Suatu malam, saya, Nono, Aspinall dan beberapa kawan lain terlibat perbincangan santai sambil makan durian di lepas pantai Manado. Waktu itu masih masa kampanye legislatif. Kebetulan saya sedang turun lapangan di Manado dan sekitarnya, pun Aspinall dan kawan-kawan.
Diskusi waktu itu membincangkan fenomena para caleg di tingkat lokal memasang fotonya di spanduk bersama tokoh partai tingkat pusat. Gunanya, ya meningkatkan elektabilitas.
Caleg PDIP misalnya, memasang foto bersama Megawati atau Jokowi. Caleg Gerindra juga memasang foto bersama Prabowo.
Yang aneh adalah, hampir tak ada caleg Golkar memasang foto bersama Ical, kecuali di kantor resmi Golkar. Padahal Golkar lah yang memiliki program “one united campaign”, yaitu dalam kampanye legislatif terdapat kewajiban mengkampanyekan Ical sebagai capres. Impelementasi seharusnya ya tadi, mesti memasang foto caleg dan Ical dalam satu frame.
Lantas kenapa tak dilakukan?
Jawabannya, memasang foto Ical bukannya menaikkan, malah bisa menurunkan elektabilitas.
Saya pikir, Ical adalah persoalan Golkar sesungguhnya dalam pemilu 2014.
Sebelum Jokowi resmi maju sebagai Capres PDIP dan Prabowo memakai slogan “Gerindra menang, Prabowo Presiden”, Golkar nampaknya punya peluang memenangkan pemilu legislatif.
Ya, bagaimanapun Golkar adalah partai terkuat yang memiliki kekuatan jaringan, finansial dan penguasaan birokrasi di tingkat lokal melalui para kepala daerahnya.
Golkar juga memiliki pengalaman menang di berbagai pemilu legislatif di era orde baru dan juga pemilu 2004. Ada prakiraan sederhana bahwa Golkar akan memenangkan pemilu legislatif 2004 walaupun kalah dalam pemilu presiden.
Namun “one united campaign” membuahkan bencana bagi Golkar. Jika kampanye Prabowo dan Jokowi berbanding positif terhadap partainya, hal yang terjadi sebaliknya bagi Golkar. Semakin Ical dikampanyekan, semakin menurunkan elektabilitas Golkar. Persoalan lumpur lapindo seperti menjadi label yang menempel di dahi Ical, sulit dihapus dengan cara apapun.
Apalagi menjelang pemilu legislatif perjalanan Ical bersama beberapa artis muda cantik dan Teddy Bear ke Maldive terekspos luas.
Ical telah menyandera Golkar.
Yang juga mengherankan adalah, darimana keyakinan para pengurus Golkar terhadap peluang pencapresan Ical?
Sebagai partai senior yang berisi politisi berpengalaman, kebijakan politik Golkar di tahun 2014 ini sungguh-sungguh aneh. Harusnya Golkar paham bahwa elektabilitas seseorang bisa diukur dengan metode saintifik yang bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah ada intelektual sarjana semacam Celi atau IJP di Partai Golkar? Ngapain aja mereka?
Atau kisah Ical adalah seperti kisah Raja Singa dan penjahit gadungan?
Sang Raja dibohongi penjahit gadungan yang pura-pura menjahitkan pakaian mewah untuk raja. Sang penjahit juga memaksa pejabat istana dan rakyat untuk pura-pura mengagumi pakaian sang raja, yang sebetulnya tidak pernah ada. Jadilah sang Raja berjalan-jalan dengan anggun memakai “pakaian kebesarannya” yang sebenarnya tidak ada, alias telanjang bulat. Sementara pejabat dan rakyat menghaturkan puja dan puji dalam kepura-puraan. Di belakang mereka mentertawakan kedunguan sang Raja.
Bisa dipahami ketika Ical tetap ngotot menjadi pengantin dalam Pilpres, tak ada yang bersedia menjadi pendamping, jomblo sampai akhir.
Dan nampaknya, ambisi minimal menjadi Menteri Utama dalam kabinet mendatang pun sudah sulit didapatkan. Berdasarkan rekapitulasi sementara, jagoan yang diusung Golkar nampaknya sulit untuk menang.
Sekarang bagi Golkar tinggal dua pilihannya, mau menyelamatkan Golkar atau menyelamatkan Ical?
Wallahua’lam bissawab.
Nantikan:
– Anis Matta dan PKS
– Mega dan PDIP
– Yudhoyono dan Demokrat
– Prabowo dan Gerindra