Ketika gerakan Indonesia mengajar diluncurkan dan dilaksanakan, saya mengapresiasi dan memiliki harapan yang agak berbeda dengan kawan-kawan lain. Pertama, program ini sungguh baik. Ya, baik sekali karena memberi kesempatan anak-anak di pelosok Indonesia untuk diajar oleh anak-anak bangsa terbaik. Kedua, memberi kesempatan anak-anak bangsa terbaik tersebut yang sejatinya bukan guru – kebanyakan kalangan profesional muda bergaji tinggi- untuk mengabdi kepada masyarakat di pelosok. Ketiga, karena gerakan ini berangkat dari persoalan dari sistem pendidikan kita (Kalau sistem pendidikan sudah baik, gerakan ini gak perlu toh), maka ketika Mas Anies jadi Mendikbuddikdasmen, gerakan Indonesia mengajar musti cepat-cepat diakhiri.
Saya mau memberi catatatan dulu untuk yang kedua: soal mengabdi. Ya, anak-anak muda profesional mengabdi, mengajar di berbagai pelosok Indonesia, tempat-tempat terpencil.
Ups kata mengabdi bagi saya kata amat ambigu.
Di satu sisi kata ini berkonotasi positif, artinya memberi tanpa pamrih. Menunjukkan kemuliaan mereka yang melakukannya.
Di sisi lain – tepatnya sisi penguasa – kata ini digunakan untuk mengeksploitasi profesi tertentu untuk bekerja keras dengan bayaran seadanya. Memberi ilusi dengan pahala dan kemuliaan.
Ternyata masih banyak orang yang menganggap bahwa ada profesi tertentu yang tugasnya mengabdi. Karena mengabdi dan mulia, maka tak elok membicarakan gaji. Dalam situasi ini, entah sadar atau tidak, orang-orang berprofesi mulia itu kemudian rentan menjadi korban kesewenang-wenangan.
Inilah yang terjadi bagi profesi pengajar di Republik ini, guru maupun dosen.
Tapi Indonesia mengajar rupanya punya perspektif sendiri dalam pengabdian.
Indonesia Mengajar (IM) adalah program pengiriman anak-anak bangsa terbaik untuk mengajar di sekolah-sekolah dasar di tempat-tempat terpencil di Indonesia. Ratusan anak-anak muda yang terseleksi secara ketat, sebagian sudah bekerja mapan, fasih berbahasa Inggris, merelakan waktu mudanya untuk mengabdi pada tanah air. Mereka dibekali keterampilan mengajar, kepemimpinan sampai pelatihan semi militer untuk bertahan di situasi ekstrim. Mereka diharapkan tak hanya jadi pengajar, namun mampu menjadi penggerak perubahan di tempat mereka tinggal selama setahun.
Anies Baswedan menyampaikan dalam suratnya:
Kami mengundang putra-putri terbaik republik ini untuk menjadi Pengajar Muda, menjadi guru SD selama 1 tahun. Satu tahun berada di tengah-tengah rakyat di pelosok negeri, di tengah anak-anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah republik ini. Satu tahun berada bersama anak-anak di dekat keindahan alam, di pesisir pulau-pulau kecil, di puncak-puncak pegunungan dan di lembah-lembah hijau yang membentang sepanjang khatulistiwa. Saya yakin pengalaman satu tahun ini akan menjadi bagian dari sejarah hidup yang tidak mungkin bisa Anda lupakan: desa terpencil dan anak-anak didik itu akan selalu menjadi bagian dari diri Anda.
Di desa-desa terpencil itu para Pengajar Muda akan menorehkan jejak, menitipkan pahala; bagi para siswa SD di sana, alas kaki bisa jadi tidak ada, baju bisa jadi kumal dan ala kadarnya tapi mata mereka bisa berbinar karena kehadiran Anda. Anda hadir memberikan harapan. Anda hadir mendekatkan jarak mereka dengan pusat kemajuan. Anda hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi. Anda hadir membuat para orang tua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti anda. Ya, ketertinggalan adalah baju mereka sekarang, tapi Anda hadir merangsang mereka untuk punya cita-cita, puny mimpi. Mimpi adalah energi mereka untuk meraih baju baru di masa depan. Kemajuan dan kemandirian adalah baju anak-anak di masa depan. Anda hadir disana, di desa mereka, Anda hadir membukakan pintu menuju masa depan yang jauh lebih baik.
Sebagai Pengajar Muda, Anda adalah role model, Anda menjadi sumber inspirasi. Kita semua yakin, mengajar itu adalah memberi inspirasi, menggandakan semangat, menyebarkan harapan dan optimisme; hal-hal yang selama ini terlihat defisit di pelosok negeri ini.
Bukan hanya itu, selama 1 tahun para Pengajar Muda ini sebenarnya akan belajar. Pengalaman berada di pelosok Indonesia, tinggal di rumah rakyat kebanyakan, berinteraksi dekat dengan rakyat. Menghadapi tantangan mulai dari sekolah yang minim fasilitas, desa tanpa listrik, masyarakat yang jauh dari informasi sampai dengan kemiskinan yang merata; itu semua adalah wahana tempaan, itu pengembangan diri yang luar biasa. Anda dibenturkan dengan kenyataan republik ini. Anda ditantang untuk mengeluarkan seluruh potensi energi Anda untuk mendorong kemajuan. Satu tahun ini menjadi leadership training yang luar biasa. Sukses itu sering bukan karena berhasil meraih sesuatu, tetapi karena Anda berhasil menyelesaikan dan melampaui tantangan dan kesulitan. Setahun Anda berpeluang membekali diri sendiri dengan resep untuk sukses.
Keberhasilan Anda menjadi leader di hadapan anak-anak SD adalah pengalaman leadership yang kongkrit. Biarkan anak-anak itu memiliki Anda, mencintai Anda, menyerap ilmu Anda, mengambil inspirasi dari Anda. Anda mengajar selama setahun, tapi kehadiran Anda dalam hidup mereka adalah seumur hidup, dampak positifnya seumur hidup.
Program ini luar biasa, dan pengabdian mereka, juga luar biasa.
Namun apakah karena mereka mengabdi lantas mereka juga harus hidup prihatin, serba berkekurangan dan menderita? Karena mengabdi lantas harus dibilang “Dahulu guru-guru hidup susah tapi mereka semangat, ayo semangat dan mari hidup susah”?
Tidak, Anies Baswedan melanjutkan suratnya:
…………..Gerakan Indonesia Mengajar membuka peluang bagi bakat-bakat muda terbaik bangsa seperti Anda, dari berbagai disiplin ilmu dan dari dalam negeri maupun dari luar negeri, untuk menjadi Pengajar Muda. Sarjana yang direkrut oleh Gerakan Indonesia Mengajar hanyalah best graduate, sarjana-sarjana terbaik: berprestasi akademik, berjiwa kepemimpinan, aktif bermasyarakat, kemampuan yang komunikasi baik.
Sebelum berangkat, Anda akan dibekali dengan pelatihan yang komplit sebagai bekal untuk mengajar, untuk hidup dan untuk berperan di pelosok negeri. Selama menjadi Pengajar Muda, Anda akan mendapatkan gaji yang memadai dan kompetitif dibandingkan kawan Anda yang bekerja di sektor swasta. Anda akan dibekali dengan teknologi penunjang selama program dan jaringan yang luas untuk memilih karier sesudah selesai mengabdi sebagai Pengajar Muda. Selama menjadi Pengajar Muda, Anda tidak akan dibiarkan sendirian. Kami akan hadir dekat dengan Anda.
Bagian kedua penggalan surat ini menegaskan bahwa memanggil anak-anak muda terbaik untuk mengabdi bukan menjadikan mereka menderita. Memanggil mereka yang terbaik untuk mengabdi juga berarti menghargai kapasitas, kualitas dan pengabdian mereka secara layak.
Bagi saya gerakan Indonesia mengajar sudah selayaknya dihapus.
Lho?
Ya, Mas Anies Baswedan sudah jadi Menteri yang mengurusi pendidikan dasar, menengah dan kebudayaan.
Jika ia mampu membangun Gerakan Indonesia mengajar sebagai aktor di luar pemerintahan, saatnya gerakan ini menjadi bagian dari pemerintahan. Bukan merekrut anak-anak bangsa terbaik untuk mengajar secara temporer, tapi menjadikan para guru -pengajar permanen – di berbagai sekolah di seluruh pelosok Indonesia memiliki kualitas setara atau lebih baik dari para pengajar Indonesia mengajar juga dengan konsep kesejahteraan yang juga tidak kalah dengan gerakan Indonesia mengajar.
Mas Anies pasti sudah tahu peta persoalan pendidikan di Indonesia: kekurangan pengajar di kawasan terpencil, persoalan kualifikasi, gap antara urban-rural, politisasi guru di daerah, terhambatnya pembayaran sertifikasi guru, dan sampai minimnya penghasilan guru, terutama guru-guru sekolah swasta kecil.
Kembali ke soal pengabdian dan kesejahteraan, saya berharap dua istilah yang selalu dipertentangkan ini kemudian berangkulan. Mengabdi dengan tulus dan bekerja keras di sektor pendidikan tak mesti tak sejahtera. Ini saya pelajari dari gerakan Indonesia mengajar lho 😉
Kalau sistem pendidikan Indonesia sudah bener, kita tak butuh gerakan Indonesia mengajar 🙂
~@abdul hamid untirta
Sumber:
1. Surat untuk Anak-anak Muda Indonesia, dari Anies Baswedan, 21 Juli 2010
Menyukai ini:
Suka Memuat...