Universitas adalah tempat dimana ilmu pengetahuan mendapat tempat yang terhormat. Disana, ada pameo klasik “boleh salah tapi tak boleh bohong”. Universitas –demikianlah terdapat di dalam Rapport van de Staatchommissie van het hoger Onderwijs di nederland – adalah suatu lembaga yang tumbuh di dalam sejarah yang menyatukan pekerjaan mempelajari ilmu yang kreatif dengan mendidik sarjana muda, yang karena itu kemudian dapat memperkembangkan ilmu serta pemakaiannya di dalam penghidupan masyarakat. (Hatta, 1957)

Para penghuni universitas, mengejar ilmu pengetahuan sampai ke tingkat tertinggi. Sebutan Professor misalnya menunjukan bahwa pemilik sebutan tersebut adalah orang yang memiliki kapasitas yang mumpuni untuk satu bidang ilmu. Para akademisi penghuni universitas bahkan mendapat sebutan “berumah diatas awan” oleh mendiang penyair Rendra saking tingginya penghargaan terhadap mereka.

Namun semenjak awal tahun 2010 ini, perhatian kita terusik oleh berita maraknya plagiarisme yang tak lagi hanya dilakukan oleh mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah, tapi oleh akademisi bergelar Doktor bahkan menyandang Jabatan fungsional Guru besar. Ada apa dengan dunia universitas?

Musabab Plagiarisme

Maraknya plagiarisme di universitas disebabkan beberapa hal. Pertama, keinginan mengejar gelar akademis, jabatan fungsional dan sertifikasi. Semakin tinggi jabatan fungsional, semakin tinggi tunjangan yang didapatkan. Untuk jenjang Guru Besar, take home pay tunjangan yang didapatkan tiga kali lipat gaji pokok. Tentu saja ini mengiurkan, apalagi selama ini dosen hidup dengan standar pendapatan yang rendah dibandingkan koleganya di negeri lain.

Maka, perjuangan mengejar jabatan fungsional tertinggi tak sekedar mengukuhkan kemampuan penguasaan ilmu di satu bidang tertentu, tapi perjuangan ekonomi-politik. Perjuangan ekonomi karena untuk meningkatkan kesejahteraan dan perjuangan politik untuk meningkatkan kekuasaan di universitas.

Ada serangkaian prasyarat kredit yang harus dikumpulkan untuk setiap jenjang dan tulisan ilmiah atau hasil penelitian adalah salah satunya. Bagi akademisi kepepet berpikiran pendek, maka melakukan plagiat bisa jadi salah satu cara yang efektif. Karya orang lain diklaim sebagai karya sendiri, tinggal mengganti halaman depan. Modus lain, penelitian dengan topik tertentu diganti konteksnya saja, tempat dan waktu-nya. Lebih parah, bahkan ada beberapa kasus membayar orang untuk membuatkan tulisan untuk kemudian diterbitkan di jurnal ilmiah, bahkan jurnal terakreditasi.

Begitu pula mengejar gelar akademis. Maklum, dosen dituntut mengejar gelar akademis setinggi-tingginya. Dosen minimal bergelar S2 dan sekarang berlomba-lomba mengejar gelar S3. Gelar akademis menentukan jabatan fungsional. Untuk mendapatkan jabatan fungsional Profesor harus memiliki gelar akademis Doktor. Bagi mereka yang tak menghargai proses ilmiah dalam menulis tesis dan disertasi, maka plagiarisme kerapkali menjadi pilihan.

Calon Guru besar di Yogyakarta, Dosen IAIN Bandung yang diduga melakukan plagiarisme terhadap tesis Prof. Tihami, atau Calon Dosen ITB yang melakukan plagiat untuk gelar doktornya mewakili kategori ini.

Kedua, keinginan mendapatkan popularitas. Di kalangan universitas, intelektual semacam ini kerapkali disebut intelektual artis. Biasa hadir di ruang publik atau eksis kata anak muda. Demi eksistensinya inilah kerapkali norma-norma akademik diabaikan. Ada akademisi yang merasa mengetahui semua hal sehingga ingin mengomentari atau menulis tentang semua hal. Akibatnya, untuk menambal kurang-ilmu dalam topik yang tak dikuasainya itulah maka plagiarisme dilakuan.

Professor dari Unpar yang menulis artikel di Harian Jakarta Post masuk kategori ini. Keinginannya eksis, menulis masalah aktual tercemari aktivitas plagiat dari sebuah jurnal yang terbit di Australia. Begitu juga seorang Guru Besar dari Untirta. Keinginan eksis dengan menulis di sebuah media lokal tercemari dengan aktivitas plagiat mengambil sumber tulisan orang lain dan mengklaimnya sebagai tulisan sendiri. Guru Besar Untirta lebih beruntung dari Guru Besar Unpar. Di Unpar sang Guru Besar merasa malu, meminta maaf dan kemudian mengundurkan diri dari Unpar. Di Untirta, sang Guru Besar dinyatakan tak melakukan plagiarisme tapi hanya sekedar “kesalahan dalam pengutipan”.

Ketiga, penyebab virus pagiarisme adalah mudahnya mendapatkan sumber informasi dari internet. Internet telah menjadi sumber informasi yang nyaris tak terbatas. Jutaan artikel dengan ratusan ribu topik telah tersedia. Bagi akademisi “berwatak jahat”, ini adalah senjata untuk melakukan plagiarisme. Tinggal select, copy, paste, sim-salabim jadilah sebuah artikel.

Untuk mengkontekskannya, tinggal find and replace, begitu mudah begitu cepat. Jika hanya mengambil beberapa kalimat atau paragraph dan menuliskan catatan kaki atau catatan perut tidak masalah, itu namanya pengutipan. Tapi jika tidak menuliskan sumber alias menganggap itu buah pikir dan buah tulis sendiri, maka itu adalah plagiarisme. Internet telah menjadi sumber ilmu pengetahuan yang menakjubkan sekaligus ancaman terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dampak Sistemik Plagiarisme

Ketika plagiarisme membudaya, dianggap lazim bahkan tak disalahkan didunia akademik sungguh itu adalah sebuah kemunduran peradaban. Jika pagiat guru besar dikatakan hanya “kesalahan dalam pengutipan”, maka sesungguhnya itu sama dengan mempersilahkan mahasiswa untuk melakukan hal serupa.

Jika di “tingkat atas” plagiarisme dianggap bukan kejahatan, maka dampaknya sungguh besar dan sistemik. Sebagai dosen, sulit misalnya untuk kemudian bersikap tegas menindak mahasiswa yang melakukan plagiarisme karena mereka bisa berdalih bahwa Guru Besar-pun boleh melakukan hal tersebut.

Setiap  memeriksa tugas makalah, kerapkali saya geleng-geleng kepala melihat bagaimana sebagian mahasiswa menulis analisa yang amat bagus dalam makalahnya, namun saya tahu, itu bukan analisa mereka tapi copy paste dari internet. Hal ini terindikasi dari ketidakmampuan menjelaskan apa yang mereka tuliskan.

Jika sudah seperti ini maka sesungguhnya Universitas gagal melakukan fungsinya, membentuk manusia berkarakter yang berpangkal pada cinta akan kebenaran dan berani mengatakan yang salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Pendidikan ilmiah pada perguruan tinggi dapat melaksanakan pembentukan karakter itu, karena ilmu ujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran. (Hatta, 1957)

Jika kebenaran tak lagi hidup di Universitas, kemana kita mesti mencarinya?

Tinggalkan Balasan