4 November

Semua di rumah langsung sibuk karena aku tiba-tiba pasti berangkat besok. Ayu dan Ilham paling sibuk berpaduan suara “Abah gak boleh berangkat”.

Mbak Onah juga sibuk memenuhi pesanan Ibun, mulai dari legging sampai kluwek.

Aku malah banyak bengong dan gendong Ilham yang tiba-tiba sakit panas.

Jam 3 diantar Ayah kami berangkat ke Bandara. Semua persiapan sudah oke, hanya saja beberapa bumbu mentah seperti daun salam dan kluwek dikeluarkan dari bagasi. Aku gak mau mengambil resiko, secara namaku ada di daftar nama anggota Al Qaida.

Semua berjalan lancar, jam 7 kami sudah masuk pesawat menuju KL-Schiphol – Marseille. Sampai KL sekitar jam sepuluh malam, semua berjalan lancar. Hanya sempat kebingungan mencari gate untuk penerbangan selanjutnya.

5 November

Situasi pesawat amat menyiksa pantat. Penerbangannya 16.5 jam. Belum lagi perubahan waktu, mundur enam jam. Apalagi duduk di sit-A sekat jendela. Jadi agak susah ke toilet karena musti melewati orang-orang yang tidur. Untung makanan cukup bersahabat, jadi tak masalah, hanya menghindari daging-dagingan karena tak jelas daging siapa eh apa. Di pesawat inilah orientasi terhadap waktu juga berubah, tak jelas jam berapa karena perbedaan waktu Indonesia – Belanda 6 jam.

Tiba di Schiphol, aku kebingungan. Gak jelas musti kemana, dan gak jelas juga dimana Ibun yang akan menjemputku. Di belanda aku akan menghabiskan waktu selama sekitar 8 jam, dari pukul enam pagi sampai berangkat lagi ke Marseille pukul dua siang.

Clingak-clinguk muter-muter di dalam bandara, akhirnya ketemu hotspot gratis-an selama 30 menit dan berhasil mengaktifkan bbm. Akhirnya berkomunikasi via bbm dan menentukan meeting point di hall 2 kedatangan.

Setelah proses imigrasi akhirnya berhasil ketemu dengan ibun, setelah 3 bulan berpisah. Kami akhirnya menuju Tilburg, sekitar 1.5 jam menggunakan kereta dari Schiphol.

Hmm hijau sekali pemandangan di luar jendela kereta, dengan sapi, biri-biri dan kuda yang merumput. Cuaca cukup dingin, tapi tak dingin sekali.

Kondisi ini kontras dengan asumsi awalku bahwa kehidupan di Negara eropa yang modern identic dengan “symbol modernisasi” seperti gedung bertingkat dan macet. Mungkin ada, tapi pemandangan di perjalanan memang seperti di lukisan-lukisan ato cerita Cinderella.

Kami tak lama di Tilburg, sekedar mengantarkan laptop dan menikmati pasta masakan ibun yang enak. Siangnya kembali mengejar kereta ke Schiphol.

makan bersama, setelah 4 bulan tak bertemu

Tak dinyana, di Schiphol kami betemu dengan Mbak Anna, Dosen Unair yang dulu bersama belajar bahasa di Malang. Ia dan suaminya baru datang dari Maastricht menuju Amsterdam, mau merayakan Idul Adha.

Bertemu Mbak Ana di Schipol

Pemeriksaan di Schiphol berlangsung amat ketat, semua benda logam mesti dikeluarkan, termasuk sabuk musti dibuka. Untung sepatu tak mesti dilepas. Penerbangan berlangsung lancar dengan pesawat kecil walaupun di sekitar Marseille mengalami turbulensi hebat.

Sampai bandara Marseille, menunggu Gabriel sekitar setengah jam dan kami menuju rumah Professor Jean Marc, dosen pembimbing Gabriel, ahli Kanuragan secara akademik maupun praktis. Ia juga pendiri dan Guru Merpati Putih di Perancis. Cocok-lah sama Gabriel yang juga guru silat dengan lisensi dari H. Chasan.

Perjalanan darat menuju Ponteve dilalui di tengah badai dan kadangkala banjir kecil. Ponteve merupakan desa di pegunungan, sekitar 70 kilometer dari Marseille.

Jean Marc dan istrinya Itsuko menyambut kami dengan hangat. Gabriel sempat membantu memasak, makanannya ayam dan nasi, ditambah salad+bawang, dengan cemilan buah olive. Enak? Hmm no comment deh, tapi demi menghormati tuan rumah, musti dihabiskan.

Setelah mengobrol ngalor-ngidul, aku akhirnya tidur di kamar anaknya Jean Marc.

Tinggalkan Balasan