Aing Urang Banten
Kalimat ini kini amat digemari Ayu. Ia akan mengatakannya dengan keras dan setengah berteriak. He he, tentu saja Ayu tak berdarah murni orang Banten, tapi dicampur Madura dan Klaten. Kalimat […]
Catatan harian seorang Abah
Kalimat ini kini amat digemari Ayu. Ia akan mengatakannya dengan keras dan setengah berteriak. He he, tentu saja Ayu tak berdarah murni orang Banten, tapi dicampur Madura dan Klaten. Kalimat […]
Kalimat ini kini amat digemari Ayu. Ia akan mengatakannya dengan keras dan setengah berteriak. He he, tentu saja Ayu tak berdarah murni orang Banten, tapi dicampur Madura dan Klaten.
Kalimat ini menjadi favorit Ayu ketika saya cerita sebuah peristiwa yang menimpa saya di Bus Asli terminal Kalideres, sekitar dua belas tahun lagi.
Hmm skip dulu ceritanya.
Tulisan ini juga penegasan darimana asal Abahnya Ayu. Maklum karena berumah tangga di Kalibata Jakarta dan mengajar juga di salah satu kampus di Depok (selain di Serang), maka masih banyak orang nanya, “Pak Hamid, asalnya darimana?” terakhir pertanyaan itu diajukan sekitar tiga minggu lalu ketika mengisi LK II HMI di Carita dan seminggu sebelumnya ditanyakan seorang kolega dalam sebuah acara di Nyi Masropoh.
Ya, saya orang Banten, asli seasli-aslinya. Walaupun mata saya sipit, Apa dan Mamah saya orok Menes asli. Apa dari Cikole, Parapatan, kaki gunung Pulosari dan Mamah dari Kadusemar, Menes. Menuju Cikole dari dulu bisa menggunakan ojek dari pasar menes. Sedangkan menuju Kadusemar, dulu mesti menyusuri Susukan Cisuwuk (CMIIW) yang kadangkala banjir.
bahkan mestinya di belakang namaku tersemat nama “Entol”, jadi Entol Abdul Hamid, anaknya Entol Sukasri bin Entol Lasikin. Entah kenapa Apa menghapus Entol dan Ayu di nama anak-anaknya. Untunglah Ayu mau diberi nama Ayu, apalagi dia senang sekali ketika tahu bahwa Ayu is mean beautiful. Hmm Entol, artinya? maka Emaknya gagallah Ilham diberi nama depan Entol.
Nah kadangkala saya menggunakan id banten untuk membangun citra garang dan galak, he he. Suatu ketika di kampus, saya pernah hampir berkonflik. Gara-garanya saya menolak keberadaan orientasi mahasiswa baru yang cenderung bernuansa kekerasan. Saya kemudian membuat sebuah tulisan di mading kampus berjudul (kalo tidak salah) “Mari berhenti jadi beo”. Intinya kira-kira menyerukan kebebasan mahasiswa baru dari doktrinasi dan aktivitas berbau kekerasan dan melecehkan. Gara-gara tulisan itu, seseorang dari sebuah jurusan mencari-cari saya, kirim salam. Hmm, pusing juga waktu itu. Gak lucu baku hantam di kampus. Nah, akhirnya bikinlah saya satu tulisan lagi dan dibawahnya saya kasih embel embel penulis hamid@banten.com. Ajaib, persoalan agak mereda dan lama kelamaan saya dengan orang yang dulu mencari saya malah jadi akrab.
Cerita kedua, ya cerita di terminal Kalideres tadi. Waktu itu saya yang masih lucu dan manis duduk di kursi belakang Bus Asli yang masih sepi dan ngetem di Kalideres. Alhasil duduklah seseeorang di sebelah saya menawarkan Koran. Lama-lama bukan Koran yang dia tawarkan, tapi setensilan. Ia maksa bahkan mengeluarkan pulpen yang ketika dibuka bermata pisau (pisau semacam ini dulu ngetrend buat tawuran) dan menempelkannya di perut saya. Ia berkata dengan logat betawi yang kuat “Lu beli kagak? Kalo kagak gua tusuk”. Saya kaget dan langsung ngomong dengan keras dan sekasar-kasarnya“He dia, aing urang Banten. Jauh-jauh aing ti Banten kadieu arek sakola lain arek meuli nu kitu? Ulah macem-macem di aka aing”
Ajaib juga, orangnya clingak-clinguk dan langsung lompat dari bis. Hmm sebenernya bukan soal id banten yang gagah juga mungkin, tapi saya paham bahwa di terminal Kalideres banyak batur salembur dari Pandeglang.
Kejadian lain di terminal Blok M, ketika seseorang datang dan meminta uang setengah memaksa. Saya tanya “duitnya buat apa” dia bilang, “buat pulang ke bandung”. Saya lantas ketawa sambil agak berbisik “ Heh euweuh ti dituna urang Bandung malak urang Banten, aya geh aing menta duit ka dia”. Ajaib juga, orangnya langsung ngeloyor pergi.
Hmm tentu saja kita bisa berdebat apakah citra banten masih seperti itu, galak, gahar, santet, pelet dan sebagainya, atau sudah berganti. Atau berbagai kejadian diatas hanya peristiwa acak yang berbau keberuntungan. Misalnya orang di Bus Asli yang menempelkan pisau gak peduli saya orang mana, mungkin saya sekarang sudah lewat juga.
Kejadian beberapa waktu lalu misalnya, ada mahasiswa Pandeglang yang dibantai geng motor di Bandung. Apakah kalau mahasiswa tersebut bilang “Aing orang Banten”, peristiwa akan berubah?
Yang jelas, tanyalah Ayu, Ayu orang mana, maka dia akan bergaya jagoan dan berkata dengan keras setengah berteriak “Aing orang banten !!!” dan emaknya Ayu akan misah-misuh….
Hahaha…di kadek ku aing. Salam kang hamid ti urang cipeucang 🙂
baguus
endah bae…
urang orok menes kang .. :v
wah damang ka? daharna kelepon jeung balok, ha ha. abdi oge orok menes, apa ti cikole parapatan, ibu ti kadusemar.
Salam kenal ,saya Entol Nasrulloh saya dulu kuliah di UI Depok, sorga kebetulan sudah bekerja di bilangan. Jakarta Barat ,mungkin kalau ada kumpul kumpul Entol bisa kasih tau saya. Terimaksih
He he, akhirnya ada Entol yang mampir. Sip Ka Nasrulloh, btw dulu jurusan apa di UI? saya dulu di FISIP jurusan Ilmu Politik.
*Sorga : skrg
Maaf typo