Dunia akademik tak bisa lepas dari makhluk bernama dosen. Dosen inilah yang menghidupkan dunia akademik, baik melalui hal baik maupun buruk. Karir seorang dosen di kampus (karena banyak yang berkarir di luar kampus) banyak ditentukan oleh aspek administratif, kredit yang diraih dalam waktu tertentu. Tentu bukan kredit barang (walaupun hampir pasti dosen mengkredit motor, rumah ato mobil) tapi sejumlah poin yang didapat ketika seorang dosen melakukan tugasnya (bahasa keyennya tridharma perg. tinggi) baik itu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Kredit ini disebut juga sebagai kum (ada yang tau asal kata dan makna kum?)
Sebagai contoh, kalo seorang dosen lulus sekolah Doktor, dia akan mendapat kum 50, kalau meneliti dan dipublikasikan di jurnal nasional terakreditasi dapat kum 25, kalau mengisi pelatihan karang taruna dapat kum 1, dan sebagainya.
Nah, dalam menyikapi urusan kum, mahluk bernama dosen memiliki berbagai perangai. Colek saja status seorang kolega di status fb-nya:
“bagi akademisi adalah kebanggaan dan kebahagian ketika, artikel, buku dan blog-nya menjadi referensi, rujukan dan dikutip dlm makalah, artikel atau buku penulis lain. Bukan sekedar kum-kum-an yg seringkali tak pararel dg kapasitas! Atau bukan penelitian bodong yg tak pernah dilakukan”
Kawan tersebut adalah aktivis yang sering dikutip media dan cukup produktif menulis artikel. Kita bisa menyebutnya sebagai intelektual publik (ada beasiswanya tuh Asian Public Intelectual, mau gak?) yang rajin membahas persoalan-persoalan masyarakat dan juga menjadi referensi kalangan media dalam mengulas berbagai persoalan.
Nah kawan tipe pertama ini rupanya tak suka dengan aspek administratif dan formal seperti mengumpulkan sertifikat, tulisan yang tercecer dan sebagainya. Kelompok ini biasanya sinis kepada mereka yang rajin mengumpulkan kum. Kita sebut saja kelompok ini “Dosen Produktif Anti Kum”
Biasanya, kelompok dosen semacam ini kemudian berkembang di luar kampus namun kemudian karirnya terhambat di dalam kampus. Maklum berbagai karir (baca: jabatan) di kampus sedikit banyak tergantung pada jabatan fungsional yang ditentukan oleh mahluk bernama kum tadi. Dua hari lalu saya diskusi dengan seorang kawan yang punya lima tulisan di jurnal internasional, dia mempertanyakan apakah para guru besar punya tulisan sebanyak dia.
Tipe kedua, adalah dosen males yang rajin mengurus kum. Dosen semacam ini yang sebetulnya mendapat kritik atau sinisme dari dosen tipe pertama. Dosen ini disebut juga dosen mata kum-an (terinspirasi dari dosen mata duitan). Dosen semacam ini prestasinya biasa-biasa saja, cenderung malas malah, tapi rajin mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kum. Seorang dosen tipe pertama berkata terhadap dosen tipe kedua di status fb-nya
“Ada Ribuan dosen dinegeri ini gak pernah nulis dan gak pernah neliti, kok! Tp sibuk ngumpulin kum-kum-an”
Dalam kasus ekstrim misalnya dosen semacam ini melakukan plagiasi, memalsukan jurnal ilmiah bahkan sampai minta dibuatkan tulisan oleh orang lain agar punya karya ilmiah. Mereka juga memiliki sertifikat lebih banyak dari jumlah seminar yang diikuti. Mereka lemah kapasitas namun punya nafsu besar memiliki kum yang tinggi karena menjadi jembatan untuk punya jabatan tinggi di kampus. Celakanya, kadang-kadang dosen tipe ketiga ini adalah decision maker di kampus, dibanding dosen tipe pertama.
Tipe ketiga adalah tipe paling menyedihkan walaupun lebih tau diri dari tipe kedua. Ini adalah tipe dosen putus asa atau nyasar jadi dosen. Dosen tipe ini sesungguhnya lebih berbakat dengan karir di luar kampus yang tak ada hubungannya dengan dunia akademik, seperti menjadi kontraktor atau pemain sinetron. Mereka kadung jadi dosen, mengajar apa adanya, tak pernah (atau tak bisa) melakukan penelitian apalagi publikasi ilmiah dan mereka juga gak mau tahu dengan soal kum. Dosen tipe ini kemudian bersikap masa bodo dengan urusan kampus dan sibuk dengan diri dan bisnisnya di luar kampus.
Tipe keempat adalah dosen produktif yang rajin ngurus kum. Dosen tipe ini rajin mengajar, aktif melakukan penelitian dan publikasi, kadang-kadang jadi referensi media dan juga rajin ngurus kum. Kelompok ini sadar dengan karirnya ditentukan oleh kum yang ditentukan oleh produktivitas. Ia aktif mengisi diskusi mahasiswa namun gak malu menanyakan sertifikat sebagai pembicara. Ia menulis di jurnal dan mengumpulkan jurnal tersebut agar tak tercecer. beberapa profesor muda, seperti Mas Profesor Eko Prasodjo (akhirnya nyebut merek, gpp, contoh baik soalnya, he he) misalnya berada di kelompok ini.
hmm, selain empat tipe diatas masih ada sih tipe lain, misalnya dosen diktator (jual diktat untuk beli motor), dosen mesum, dll
nah kalo anda dosen, anda masuk kategori mana? atau kalo anda mahasiswa, dosen anda ada di kategori mana?
catatan: buat temen yang saya kutip status fb-nya jangan marah ya 😉
klo dosennya tipe ketiga mau ingin seperti dosen keempat gimana caranya pak..??
trus, kum itu singkatannya apaa.. 😀
kum itu apa ya? wah kayaknya sih bukan singkatan, tapi istilah yang artinya kira-kira sejumlah point yang didapatkan dosen ketika melakukan aktivitas tridahrma perguruan tinggi (penelitian, pengabdian dan pengajaran, plus penunjang). Kadangkala disebut juga kredit.
Di kampus tempat saya pun sama, ada beberapa dosen lulusan dari perguruan tinggi negeri ternama di indonesia, tapi saat mengajar nampak kalau beliau tidak menguasai materi yang disampaikannya (mungkin karena beliau ini tipe mata kum-an juga kali ya, jadi ilmu tidak seberapa penting baginya), jika ditanya pun seringnya tidak faham, tapi kelihatan jelas kalau beliau ini inginnya terlihat hebat. Kebetulan beberapa saat yang lalu saya jadi mahasiswanya, dan sekarang memiliki profesi yang sama dengan beliau.