Ternyata masih banyak orang yang menganggap bahwa ada profesi tertentu yang tugasnya mengabdi. Karena mengabdi dan mulia, maka tak elok membicarakan gaji. Dalam situasi ini, entah sadar atau tidak, orang-orang berprofesi mulia itu kemudian rentan menjadi korban kesewenang-wenangan. Celakanya, profesi mulia itu ada di sektor pendidikan, salah satunya dosen. Mereka yang tertindas tapi tak mau melawan karena merasa dirinya mulia kemudian diam-diam sibuk menyelesaikan masalahnya sendiri, memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pekerjaan di luar pekerjaan utamanya. Ada yang jadi guru les, buka warung, konsultan palu gada (apa yang elo mau gue ada), atau jadi dosen diktator (jual diktat untuk beli motor).

Tanpa sadar, mahasiswa terkorbankan, pekerjaan utama terabaikan dan nyaris tak ada waktu untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Inilah juga salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing dunia pendidikan kita, termasuk pendidikan tinggi.

Atau sebetulnya dosen-dosen yang merasa dirinya “mulia” tersebut sebetulnya menikmati situasi ini? Punya dalih yang cespleng jika mengajar tak mempersiapkan bahan ajar, tak meneliti bertahun-tahun;  karena sadar pendapatannya tidak besar dan kemudian sibuk dengan cara menyelesaikan masalahnya sendiri (yang menghasilkan uang besar) yang sebetulnya mengorbankan kualitas pendidikan dan tanggung jawabnya?

Di sisi lain, pemerintah kabarnya mendorong dosen-dosen untuk kuliah sehingga semakin banyak dosen bergelar Doktor. Tapi ironisnya, publikasi ilmiah selama kuliah tidak diakui, gaji jika anda single hilang separuh dan tunjangan profesi tidak dibayarkan. Silahkan baca petikan pernyataan Supriadi Rustad (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/12/26/myerov-kemendikbud-targetkan-lahir-20-ribu-doktor-baru):

“Intinya, ujar Supriadi, seluruh dosen yang tugas belajar dibebaskan dari tugas mengajar. Sementara tunjangan profesi untuk sementara dihentikan. Hal ini dilakukan agar para dosen fokus dalam menjalani kegiatan belajar di program S3.”

Mana ada dosen bersemangat sekolah justru dengan diancam kalau sekolah tunjangan profesi dihentikan? Apalagi dosen dinyatakan tak mendapatkan tunjangan kinerja. Asal tahu saja bahwa PNS penerima tunjangan kinerja mendapatkan tunjangan sebesar 75% dalam tugas belajar.

Hmmm.

Maka saya mau berkaca dengan salah satu program pengabdian yang paling spektakuler, Indonesia Mengajar.

Indonesia Mengajar (IM) adalah program pengiriman anak-anak bangsa terbaik untuk mengajar di sekolah-sekolah dasar di tempat-tempat terpencil di Indonesia. Ratusan anak-anak muda yang terseleksi secara ketat, sebagian sudah bekerja mapan, fasih berbahasa Inggris, merelakan waktu mudanya untuk mengabdi pada tanah air. Mereka dibekali keterampilan mengajar, kepemimpinan sampai pelatihan semi militer untuk bertahan di situasi ekstrim. Mereka diharapkan tak hanya jadi pengajar, namun mampu menjadi penggerak perubahan di tempat mereka tinggal selama setahun.

Anies Baswedan menyampaikan dalam suratnya:

Kami mengundang putra-putri terbaik republik ini untuk menjadi Pengajar Muda, menjadi guru SD selama 1 tahun. Satu tahun berada di tengah-tengah rakyat di pelosok negeri, di tengah anak-anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah republik ini. Satu tahun berada bersama anak-anak di dekat keindahan alam, di pesisir pulau-pulau kecil, di puncak-puncak pegunungan dan di lembah-lembah hijau yang membentang sepanjang khatulistiwa. Saya yakin pengalaman satu tahun ini akan menjadi bagian dari sejarah hidup yang tidak mungkin bisa Anda lupakan: desa terpencil dan anak-anak didik itu akan selalu menjadi bagian dari diri Anda.

Di desa-desa terpencil itu para Pengajar Muda akan menorehkan jejak, menitipkan pahala; bagi para siswa SD di sana, alas kaki bisa jadi tidak ada, baju bisa jadi kumal dan ala kadarnya tapi mata mereka bisa berbinar karena kehadiran Anda. Anda hadir memberikan harapan. Anda hadir mendekatkan jarak mereka dengan pusat kemajuan. Anda hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki mimpi. Anda hadir membuat para orang tua di desa-desa terpencil ingin memiliki anak yang terdidik seperti anda. Ya, ketertinggalan adalah baju mereka sekarang, tapi Anda hadir merangsang mereka untuk punya cita-cita, puny mimpi. Mimpi adalah energi mereka untuk meraih baju baru di masa depan. Kemajuan dan kemandirian adalah baju anak-anak di masa depan. Anda hadir disana, di desa mereka, Anda hadir membukakan pintu menuju masa depan yang jauh lebih baik.

Sebagai Pengajar Muda, Anda adalah role model, Anda menjadi sumber inspirasi. Kita semua yakin, mengajar itu adalah memberi inspirasi, menggandakan semangat, menyebarkan harapan dan optimisme; hal-hal yang selama ini terlihat defisit di pelosok negeri ini.

Bukan hanya itu, selama 1 tahun para Pengajar Muda ini sebenarnya akan belajar. Pengalaman berada di pelosok Indonesia, tinggal di rumah rakyat kebanyakan, berinteraksi dekat dengan rakyat. Menghadapi tantangan mulai dari sekolah yang minim fasilitas, desa tanpa listrik, masyarakat yang jauh dari informasi sampai dengan kemiskinan yang merata; itu semua adalah wahana tempaan, itu pengembangan diri yang luar biasa. Anda dibenturkan dengan kenyataan republik ini. Anda ditantang untuk mengeluarkan seluruh potensi energi Anda untuk mendorong kemajuan. Satu tahun ini menjadi leadership training yang luar biasa. Sukses itu sering bukan karena berhasil meraih sesuatu, tetapi karena Anda berhasil menyelesaikan dan melampaui tantangan dan kesulitan. Setahun Anda berpeluang membekali diri sendiri dengan resep untuk sukses.

Keberhasilan Anda menjadi leader di hadapan anak-anak SD adalah pengalaman leadership yang kongkrit. Biarkan anak-anak itu memiliki Anda, mencintai Anda, menyerap ilmu Anda, mengambil inspirasi dari Anda. Anda mengajar selama setahun, tapi kehadiran Anda dalam hidup mereka adalah seumur hidup, dampak positifnya seumur hidup.

Program ini luar biasa, dan pengabdian mereka,  juga luar biasa.

Namun apakah karena mereka mengabdi lantas mereka juga harus hidup prihatin, serba berkekurangan dan menderita? Karena mengabdi lantas harus dibilang “Dahulu guru-guru hidup susah tapi mereka semangat, ayo semangat dan mari hidup susah”?

Tidak, Anies Baswedan melanjutkan suratnya:

…………..Gerakan Indonesia Mengajar membuka peluang bagi bakat-bakat muda terbaik bangsa seperti Anda, dari berbagai disiplin ilmu dan dari dalam negeri maupun dari luar negeri, untuk menjadi Pengajar Muda. Sarjana yang direkrut oleh Gerakan Indonesia Mengajar hanyalah best graduate, sarjana-sarjana terbaik: berprestasi akademik, berjiwa kepemimpinan, aktif bermasyarakat, kemampuan yang komunikasi baik.

Sebelum berangkat, Anda akan dibekali dengan pelatihan yang komplit sebagai bekal untuk mengajar, untuk hidup dan untuk berperan di pelosok negeri. Selama menjadi Pengajar Muda, Anda akan mendapatkan gaji yang memadai dan kompetitif dibandingkan kawan Anda yang bekerja di sektor swasta. Anda akan dibekali dengan teknologi penunjang selama program dan jaringan yang luas untuk memilih karier sesudah selesai mengabdi sebagai Pengajar Muda. Selama menjadi Pengajar Muda, Anda tidak akan dibiarkan sendirian. Kami akan hadir dekat dengan Anda.

Bagian kedua penggalan surat ini menegaskan bahwa memanggil anak-anak muda terbaik untuk mengabdi bukan menjadikan mereka menderita. Memanggil mereka yang terbaik untuk mengabdi juga berarti menghargai kapasitas, kualitas dan pengabdian mereka secara layak.

Pertanyaannya, kapan pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini menyadari hal ini? Merubah kebijakan menekan dan kebiasaan mengancam dan mengubahnya menjadi kebiasaan memotivasi dan kebijakan yang menekankan pada penghargaan terhadap kapasitas kualitas pendidik secara layak? Atau pendidikan kita memang didesign untuk tidak berkembang justru oleh pembuat kebijakan itu sendiri?

Saya percaya bahwa dosen-dosen Indonesia itu berkualitas. Untuk menunjukkan kualitasnya berikan mereka apresiasi yang layak yang membuat mereka tercukupi kebutuhannya tanpa harus bekerja di luar kampus. Cukup dalam arti kebutuhan hidup, keluarga, bacaan penunjang  untuk memperkaya pengetahuan, fasilitas bekerja, dan lain-lain. Tanpa diancam pun (Karena kita sudah dewasa toh) dunia pendidikan tinggi Indonesia akan membaik.

Sumber:

1. Surat untuk Anak-anak Muda Indonesia, dari Anies Baswedan, 21 Juli 2010

2. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/12/26/myerov-kemendikbud-targetkan-lahir-20-ribu-doktor-baru.

1 Komentar »

  1. Dunia nyaris tanpa halangan di dunia IT…..tapi nyaris pula karena IT tidak merata dan tidak masuk ke desa-desa terpencil menyebabkan mereka yang terpencil semakin terbelakang….. yang harus dipikirkan negara adalah meratanya infrastruktur dan akses yang baik pada pendidikan……..tapi pendidikan saja tidak cukup, karena kurang apa para pemimpin kita pinternya atau saking cerdasnya mereka tak sempat mikirin orang banyak dalam arti yang sebenarnya, dan kalau ada pikiran semacam itu cuma kicauan burung (enggak ada realisasi), yang kurang di negeri ini pendidikan budi pekerti, nilai-moral-agama, tanpa itu para pemimpin jadi keblinger, minterin orang-orang bodoh…..maka mereka dengan sendirinya menjadi pemimpin kaum munafik, apalagi kalau ditambah dengan sifar tamak (rakus) alias serakah, mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidup kelompoknya……YA WAJARLAH KALAU KORUPSI MENJADI KEGEMARAN MEREKA………MALING TERIAK MALING SEMBUNYI BALIK DINDING, PENGECUT LARI TERKENCING-KENCING, ……makna lagu dari Maestro Indonesia (Iwan Fals), makasih syairnya……menjadi saksi dalam kehidupan……………….?

  2. Suka sekali dengan tulisan dan pemikiran Bapak. Saya pun memikirkan hal yang sama. Apakah pengabdian selalu identik dengan penderitaan? Saya pun miris dengan nasib para pendidik bangsa ini yang nampaknya kurang “dihargai”. Semoga saya, sebagai generasi penerus bangsa ini bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini ke depannya (walaupun saat ini pun juga harusnya sudah berbuat sesuatu). Salam sukses Pak 🙂

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.