Saya akhirnya berhasil menarik kesimpulan.
“Pemerintah memang tak mau pendidikan tinggi maju.”
Sederhananya, segala cara dibuat oleh Pemerintah agar pendidikan tinggi Indonesia tertinggal dan tidak bisa berkompetisi dengan negara lain.

Saya mencoba berpikir dengan cara berpikir pembuat kebijakan pendidikan tinggi. Ini hasilnya:
*********************
Pemerintah harus terus membikin dosen tidak memiliki motivasi kerja dan sibuk mencari kerja sampingan. Ya, jangan sampai dosen hidup layak. Makanya jangan dikasih tunjangan kinerja, karena toh tidak akan protes. Kalaupun ada yang protes, pasti dibilang tidak bersyukur sama teman-temannya sendiri. Biar saja pendidikan tinggi tapi pendapatannya rendah. Dibuatkan saja ilusi seakan-akan dosen adalah pekerjaan yang wah, mesti sekolah sampai doktor. Kan lucu juga kalau pendapatan Rektor lebih rendah dari Ka Biro, atau Dekan lebih rendah dari Kabag, atau dosen lulusan Doktor dari Harvard yang belum serdos lebih rendah dari staf non dosen. Aturan mesti dibikin lebih lucu lagi, jangan sampai dosen-dosen sejahtera. Tenang aja, doktrinnya biasa bersyukur kok, gak akan protes.
Dibikin ilusi saja seakan-akan pendapatannya tinggi banget dengan serdos. padahal serdos akal-akalan biar tiap tahun ada proyek untuk penyerapan anggaran dan ada kegiatan. Nah ditambah lagi dengan test semacam TOEFL dan TPA dan disuruh bayar, dosen gak akan protes. Nah karena dengan test semacam TOEFL dan TPA banyak yang nggak lulus, maka semakin abadi tuh kegiatan (baca: proyek) bernama serdos, ha ha.
Soal tunjangan fungsional yang sudah jadul, tujuh tahun gak naik, biar saja. Dosen mesti mau bersyukur, jangan cuma melihat tunjangan fungsional lain yang lebih tinggi seperti peneliti, tapi mesti melihat mereka yang hidup susah seperti nelayan, pengemis atau tukang beca. Suruh siapa jadi dosen.
Kalau sudah serdos, didorong suruh tugas belajar biar pemerintah gak usah bayar serdos. Toh dosen gak akan protes, padahal PNS yang non dosen dapet 75% tunjangan kinerja kalau tugas belajar. Nah, nasibnya dibikin seolah-olah gak beda dengan guru, jangan disebut-sebut kalau guru malah boleh dapat tunjangan kinerja daerah dari pemda-nya, lha wong instansi induknya pemda, he he. Gak percaya? bandingkan pendapatan guru SD dan dosen di Jakarta, lebih tinggi mana 😉
Besaran beasiswanya yang rendah, jangan tinggi-tinggi. Kalau luar negeri harus lebih rendah dari LPDP dan dibikin selalu telat biar makin asoy. Kemudian tunjangan keluarga biar jadi angin surga saja. Jangan sampai dosen-dosen yang kuliah, apalagi di luar negeri makan bergizi, rajin belajar dan jadi pinter, nanti jadi kritis, merepotkan. Biar mereka sakit hati sama penerima beasiswa lain, apalagi beasiswa LPDP yang langsung dapat tunjangan keluarga 25% setiap jiwa keluarga yang ikut. Kalau sibuk cari sampingan dan gak lulus, kan pemerintah bisa menghukum mereka dan dapet pengembalian dua kali lipat. Lumayan, pendapatan negara. Kalau mereka gak mau daftar beasiswa Dikti dan berbondong-bondong daftar LPDP, diskak lagi aja dengan dilarang daftar beasiswa LPDP itu, ha ha (ketawa semakin jahat).
Nah kalau pendapatan rendah dan sibuk di luar, pastinya kualitas pendidikan tinggi buruk, ya tinggal dosennya aja disalahkan. Tenang aja, dosen biasa jadi kambing hitam kok, dan tidak akan melawan. Masalah sebetulnya seperti banyaknya dosen yang tidak ada meja kerja atau ruangan bekerja jangan disebar luaskan. Dosen Indonesia biasa kerja di kantin kok, membimbing mahasiswa atau ngetik, bisa sambil makan Indomie dan kopi susu di kantin, tenang aja. Jangan dibikin nyaman, punya meja atau ruang kerja yang privat, nanti kalau tulisannya banyak dan produktif, apalagi masuk jurnal bergengsi, wah bisa besar kepala. Mesti dibikin sulit aja, dikerjain. Kalau bisa disuruh absen pake finger print sehari empat kali walaupun gak ada meja. Biar ngobrol terus atau malah gelar dagangan di kampus, kan ngetrend tuh dosen ikut MLM atau jadi agen asuransi.
Nah kalau ada evaluasi atau media massa usil tinggal dibilang saja: “Minat penelitian rendah”, “Kemampuan bahasa asing dosen Indonesia lemah”, “Dosen suka plagiat”, “Semangat juang dosen rendah sekali”, “Kemampuan penelitian menyedihkan”, “Sertifikasi Dosen meningkatkan angka perceraian, mesti dievaluasi” atau “Gaji dosen dua kali lipat PNS biasa, tapi rendah prestasi”.
Kemudian, penelitian jangan dibikin fokus ke substansi, mesti dibikin ruwet biar gak keenakan. Kwitansi-kwitansi-kwitansi (baca tiga kali) mesti jadi mantra, he he. Dosen mesti belajar berbohong dengan kwitansi atau stempel bodong. Biar runtuh doktrin “Boleh salah asal tidak boleh bohong” menjadi “Boleh bohong asal berjamaah”
Seminar luar negeri disuruh berkompetisi aja biar sikut-sikutan dan frustasi sendiri. Jangan kayak Malaysia dibikin plafon riset milyaran untuk setiap dosen, nanti kalau pendidikan tinggi maju, proyek bisa berkurang.
Kemudian, perlu lebih membuat dosen sibuk dengan urusan administratif daripada urusan keilmuan. Proyek SIPKD mesti diulur-ulur terus, biar para dosen frustasi mengumpulkan dokumen, scan, upload – gagal – ulang lagi, dan seterusnya. Biar semakin joss, musti dibikin deadline yang mefet, agar pada begadang, mengikuti salah satu program salah satu calon Presiden. Kalau bermasalah, salahkan aja dosennya “mengumpulkan data kok serentak, nggak dicicil”. Nah kalau ada yang bilang server kurang kuat, itu berarti ada alasan pengadaan server paling mahal, hi hi (Ketawa girang). Nah, BKD juga musti diperketat, biar pemerintah menghemat bayar serdos. Kalau perlu mesti dibuat beberapa lagi isian-isian seperti ini biar dosen-dosen sibuk. Gak akan protes kok.
Aturan tidak masuk akal pastinya mesti lebih intensif. Misalnya: musti bikin “surat tugas menulis jurnal”, atau dibatasi publikasi jurnal atau buku atas nama batas kepatutan, dosen-dosen gak akan protes kok. Biar sibuk terus saja dengan urusan administratif terus, kalau para dosen sibuk baca buku/jurnal atau menulis buku/jurnal nanti pinter dan kritis, merepotkan. Kalau macam-macam bisa dibikin ancaman seperti yang sudah-sudah. Rasanya cara ini efektif banget kok.
Lama-lama, biarlah anak-anak pinter gak usah tertarik jadi dosen. Biar mereka yang gak dapet pekerjaan lain di Indonesia, bersyukur dan mau nurut yang jadi dosen. Dosen pinter dan kritis itu merepotkan. Kalau orang kayak begitu mau jadi dosen, ya ngajar di kampus-kampus negara lain saja. Kalau sudah begitu kita bisa bilang mereka gak punya nasionalisme, ha ha.
***
Tulisan Terkait:
1.Mengapa Menulis Pendidikan Tinggi
2.Beberapa Persoalan Pendidikan Tinggi di Indonesia (1)
3. Keterlambatan Beasiswa Dikti
Saya setuju dengan pendapat ini Mas. Kalau seperti ini terus, yang berminat jadi dosen semakin sedikit karena semakin ribet tapi pendapatan nggak jelas. Mendingan jadi PNS non dosen atau pegawai kantor.
Setuju buangets atas tulisan abah di atas. So, what’s the next?
Waduh…pak hamid…ulasannya begitu tajam setajam silet…
kok banyak benernya yah….sesuai fakta…
Bersyukur lah pak… ampun ngeluh.. tunjangannya di akherat nanti.. manusia memang tidak pernah puas dengan apa yg sudah mereka miliki.. kalau memang ingin punya duit banyak, bekerja saja di perusahaan gede sebagai pekerja tetap.. atau BUKA lapangan pekerjaan.. toh gelarnya sudah tidak mungkin dipertanyakan lg.. sepertinya memang anda tidak cocok jadi dosen, ingat semboyan pahlawan tanpa tanda jasa,, DOSEN sepertihalnya GURU.. bagi murid-muridnya mereka sangat berarti dan akan selalu dikenang di HATi
#itu Kesimpulan saya
IKHLAS dan bicaralah dengan HATI bukan dengan DUIT
sekali lagi.. BERSYUKUR hehe
Anda betul, saya memang tak cocok hidup di air. Pasti Anda lebih hebat.
Amanah–>Ini sudah ada salah satu contoh orang yang tidak mau pendidikan tinggi maju
Mungkin berbicara tetap bisa dengan hati, tapi hidup harus tetap dengan duit.
andalah orang terbaik didunia ini…., anda hebatttttttttttttttttt…………….! hahahaha……
@ amanah
Bersyukur itu pada Yang Maha Kuasa. Dan hanya Dia yg tahu.
Menuliskan kritikan itu bukan sebuah hal yg salah, apalagi dianggap tidak bersyukur. Kritikan malah sangat membangun untuk kebaikan bersama.
Kita sebagai manusia yg diberikan akal pikiran, diwajibkan bersikap dan berpikiran kritis. Jangan hanya menelan apa yg dikasih. Bahkan kita diwajibkan untuk menegur kesalahan seseorang sampai 3x sebelum berpaling. Ditambah dengan kewajiban kita membela diri bila dizalimi.
Karena pada saat kita mendiamkan sesuatu yg salah, maka sesungguhnya kita telah ikut andil dalam perbuatan salah tersebut.
Dan kenyataannya memang sistem pemerintahan dan para oknum2 yg menjamur telah menzalimi banyak pihak, termasuk dalam hal ini mengenai dosen.
Jadi sangatlah bijaksana apabila anda mengingatkan seseorang untuk bersyukur sebagai dalih ketidak sukaan anda pada kenyataan yg ditulis apa adanya, anda bercermin dan melihat ke diri anda sendiri. Apakah anda sudah menjadi manusia yg bersyukur diberikan akal pikiran oleh Yang Maha Kuasa? Ataukah anda termasuk org2 yg membiarkan ketidak adilan dgn mencari pembenaran diri?
Bicara kemajuan, pasti selalu dikaitkan dengan kemudahan birokrasi, kejelasan pendanaan, dan juga tunjangan. Perusahaan besar orang-orangnya bisa berkualitas karena punya birokrasi rekrutmen yang simpel namun tepat sasaran, tunjangan yang bagus, dan kejelasan terkait pendanaan di ranah operasionalnya. Jadi orang-orang pinter ya masuknya ke perusahaan multinasional.
Dan, tunggu! Makan bisa ya hanya pake IKHLAS saja?
Betul Gan, saya setuju !
daripada bikin tulisan gini, mending bikin penelitian
betul pak…. hamid gaji buruh aja lebih tinggi.. miris ane capek mikirin sekolah eh enakan jadi buruh. mending kita melakukan pendekatan politis atas nama dosen indonesia degan slah satu capres kita buat kontrak politik.
dosen ASLI kemendikbud pasti merasakan yg bapak rasakan…SAYA JUGA..merasa sangat terzalimi…..yg selain itu…GA USAH KOMENTAR lah (krn ga merasakan nasib kami)
Pak Hamid termasuk salah seorang yang kritis yang membeberkan fakta mengenai dosen dan “ketidak pedulian ” pemerintah yang sekarang ini terhadap nasib dosen. Saya setuju dengan tulisan bapak ini. Mudah-mudahan masih ada ide Pak Hamid yang cemerlang untuk membuat bangsa ini lebih maju. Bagaimana cara menyebarkan “kritikan” tersebut agar dapat dibaca oleh pembuat kebijakan ya. Bangsa kita terlalu alergi terhadap kritik. By the way…,saya suka opini bapak.
Yang sy rasakan sih….ga enak sama ibu saya…
Anggapannya kl dosen tuh duitnya banyakkk…orang pendidikannya tinggi.ngabisin tanah ratusan meter..
..”mosok kalah sama bakul buah yg ga lulus SD…itu komentar ibu sy saat tahu gaji dosen .
Suka gaya nulisnya Suhu Abah Hamid. Kalo yang bukan dosen barangkali enggak pernah merasakan keganjilan seperti yang ditulis Abah Hamid. Lalu menganggapnya enggak bersyukur, gemar mengeluh, ngece, nyalahin kenapa jadi dosen etc. Tapi jelas ini bukan curhat seorang Abah yang secara finansial jelas tidak berkekurangan. Ini semacam keberanian menyuarakan realita yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat, di tengah banyaknya ancaman dan tekanan sehingga membuat para akademisi enggan berbicara. Ijin buat ikut ‘terkekeh santun’, menertawakan kita…
Kel sy kbykn dr kalangan pendidik,bbrp dosen, bbrp guru. Keluarga suami rata2 berkarir sbgt peg pemrthn, depkeu, dsb. Ketika kmi berkumpul bercerita para pendidik hy tertawa miris dg jobdesk serta pkrjaan satu sm lain. Dg tgg jwb dan beban pkrjaan yg jauh dibanding seorg dosen, terkadang pnghasilan seorg pns bs jauh melampaui seorg dosen, tentu saja kl dia rajin ikut kunker, diklat2, apalagi kl rajin cr obyekan jg, mknya ga heran pns skr, msh muda2 mobil+rumah bs lebih mewah drpd seorg dosen yg udh puluhan thn mengabdi. Tetapi entah knp, dg fenomena ini sy smskali tdk tertarik mjd pns. Bahkan sy rasa pekerjaan sy diperbankan terasa lebih halal dibanding mjd pns.
saya baru saja gagal mendaftar seminar internasional yang membutuhkan dana krg lebih 4 juta (biaya seminar+akomodasi) karena tidak dapat bantuan dari fakultas. jadi intinya saya musti bayar sendiri. padahal gaji saya sebagai dosen 3 juta (krn blm dpt serdos). kalo saya bersikukuh tetep mau ikut karena pentingnya ilmu di seminar itu maka saya harus merelakan 1 bulan lebih gaji saya. semoga pemerintah tahu kondisi ini
Jlebb.. setuju bgt pak, emang memprihatinkan nasib dosen *ehh buruh berijazah s2 dan s3* di indonesia 🙁
Reblogged this on Junkyard and commented:
Dear for those who are concerned and don’t turn blind eye to our nation’s education problem… Don’t worry, I will be a fool who will take this path. I need a good sarcastic laugh… because it is fact 😀
Apa yang dikatakan oleh Pak Hamid memang 100% benar adanya. Saya salut dengan beliau yang sudah mau membeberkan keganjilan sistim pendidikan tinggi di negeri kita ini. Hanya orang2 yang nggak mau pendidikan Indonesia maju mengatakan bahwa dosen itu nggak pernah bersyukur, serakah, dsb.
Saya sering merasa malu mengatakan kalo saya punya gelar Ph.D. dari universitas di Amerika (dengan beasiswa Fulbright), karena gaji yang saya terima jauh lebih kecil dari pegawai admin jurusan yang hanya berijazah SMA. Kalopun saya sudah dapat serdos nanti (nggak tahu kapan!), gaji saya dan gaji pegawai admin jurusan tadi akan berbeda dalam beberapa ratus ribu saja. Beginikah cara pemerintah memberikan apresiasi kepada dosen yang sudah bersedia pulang untuk mengabdikan ilmunya di Indonesia? Menurut saya kebijakan pemerintah ini merupakan pengihinaan berat terhadap gelar akademik.
Ada pepatah perang di jaman dulu : “Kendalikan musuhmu!!
Bila mereka hanya berpikir tentang makan apa esok hari, mereka akan lemah dan berpikir kita sebagai kawan dekat…
Bila mereka sudah tidak lagi memikirkan urusan perut, niscaya mereka akan mulai berpikir tentang kemanusiaan dan lingkungannya, bahkan juga menyadari bahwa kita ternyata musuh mereka selama ini…”
Ya, benar kata abah Hamid. SEMAKIN hari semakin diperberat kinerja dosen sehingga berkurang yang dapat menikmati serdos. Kadang disuruh meng update buku ajar tetapi nggak ada honor. Katanya itu memang tugasnya. Kalau diperbantukan jadi Kajur pun tunjungannya kecil tidak cukup untuk uang transportasi ke kampus setiap hari dengan beban dan tanggung jawab berat. Hanya orang berdedikasi dan idealis saja yang siap mengemban jabatan itu. Ya begitulah. Mau tidak mau, suka tidak suka, katanya disyukuri. Tapi sampai kapan ‘nerimo’ terus?
Benar sekali abah…, setidaknya berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah yang sudah kita rasakan , benar kesimpulan abah…, hanya orang-orang yang tidak berfikiran cerdas yang tidak setuju dengan kesimpulan kita ini……, kira-kira aturan apa lagi yang akaan dikeluarkan ntuk mengkebiri kita abah…! teruskanlah kebijakan-kebijakan mu yang tidak bijak itu kami tidak akan pernah protes, hanya saja kami tidak tertarik lagi untuk memberikan yang terbaik..!! begitukan abah,,,?
Abah terkadang aku berfikir tidakkah kita bahagian darinya..?
Saya kurang sepakat kalau dikatakan pemerintah tdk ingin perguruan tinggi maju. Pemerintah mau saja perguruan tinggi maju tapi tdk mau keluarkan duit banyak, bahkan kalau boleh tanpa biaya…hahaha. Itu kan konyol….Faktanya sekarang, dengan tunjangan sertifikasi yg sedikit itu, dosen sdh dibebani kerjaan administrasi yg berjubel, BKD lah, SIPKD lah, dan bahkan persyaratan naik pangkat yg semakin sulit (dalam waktu yg singkat, peraturan sdh beberapa kali berubah). Dosen jg diberi dana penelitian dg beban administrasi yg macam-macam dan kadang tidak rasional. Seandainya tdk ada kewajiban meneliti bagi dosen, sy yakin banyak dosen yg tdk mau menerima dana tsb krn karena tdk rasionalnya tuntutan administrasi yg mengikuti. Satu hal lg yg menjadi rancu adl perbedaan yg sangat menonjol antara tunjangan prof. dengan dosen S3 non prof. Padalah fakta di lapangan, motor penelitian itu adl para doktor non prof. Kebanyakan yg sdh prof. hanya sibuk mencari posisi jabatan. Jadi seharusnya tunjangan S3 non prof. tdk terlalu jauh dg tunjangan Prof.
Terima kasih bagi yg menyempatkan diri membaca dg tuntas.
Orang Pinter dan Hebat di Indonesia banyak yang Gak Tertarik Jadi Dosen. #prihatin
Pak Abdul Hamid berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan banyak orang (dosen), tetapi mengapa masih banyak sekali dosen yang mencela beliau ? Saya harap dosen-dosen yang mencela Pak Abdul Hamid jangan mau menerima tunjangan-tunjangan dari Pemerintah yang sebelumnya diperjuangkan oleh Bapak Abdul Hamid dkk. Haram hukumnya bagi pencela Pak Abduil Hamid untuk menikmati hasil yang diperjuangkan oleh Pak Abdul Hamid dkk. Insya Allah Pak Abdul Hamid dkk …. SUKSES !!!
Setuju pak, SIPKD ribet banget dan banyak yang harus diupload. Dosen dituntut banyak kegiatan, sementara dana terbatas…
Alangkah Lucunya Negeri Ini.
Para pejabat pemerintah kita banyak yang berasal dari dosen. Mendikbud, Dirjen Dikti, Ketua Bappenas, Menteri Keuangan, bahkan Wakil Presiden berasal dari dosen….
Tapi kenapa mereka tidak menaruh perhatian sama kesejahteraan dosen…???
Tanyakan saja sama rumput yang bergoyang….
bagaimana klo kita berikan peluang kepada capres yang kira-kira mau memikirkan nasib kita sebagai salah satu komitmen politik, momentumnya tepat nih Abah Hamid 🙂
sesuai dengan judul sebuah lagu
NEGERI NGERII..
mungkin saya gak bs merasakan apa yg bpk rasakan tp pendidikan dinegeri ini butuh guru yg tegas bukan lagi soal taktis mengajar ato revolusi belajar. tp pemerintah yg harusnya belajar soal taktis dan revolusi blajar. biar mereka visa merasakan apa yg dirasakan para dosen. hrsnya mrka diberi shock terapy. tdk ada tunjangan untuk pemerintah yg tak melaksanakan tugas
atau sekalian dipotong gajinya. mungkin mereka bisa merasakannya.
#iloveindonesia
Apa pemerintah yang akan datang juga dmkn ya? Pada 7 Mei 2014 08:59, “www.abdul-hamid.com” menulis:
> http://www.abdul-hamid.com posted: “Saya akhirnya berhasil menarik > kesimpulan. “Pemerintah memang tak mau pendidikan tinggi maju”. > Sederhananya, segala cara dibuat oleh Pemerintah agar pendidikan tinggi > Indonesia tertinggal dan tidak bisa berkompetisi dengan negara lain. Saya > menco”
Ibarat badannya didorong-dorong untuk berjalan tapi kakinya dipegangi, kalo bisa kakinya dibuat cedera biar gak bisa berjalan. Katanya orang2 di kemdikbud itu pintar dan selalu mengedepankan logika? Ternyata saya salah, mereka ternyata logikanya tumpul, isi otaknya telah terkontaminasi bakteri pembusuk sehingga tdk bisa berpikir jernih. Semoga rezim segera berganti dan kita Dosen akan mendapatkan perlakuan yg lebih adil dan manusiawi.
sejatinya kuaitas pendidikan di kita umumnya di indonesia harus lebih maju dengan negara2 berkembang, permasalahan yang krusial adalah di tingkat atas dan bawah, contoh kasus Sergur yang mandeg khususnya guru honorer, serdos yang selama ini semakin sulit untuk mendapatkannya. Peran Pemerintah sebetulnya sudah sangat baik meskipun dengan diimingi dengan proyek2 yang punya kepentingan. ditambah untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi yang sangat mahal mengakibatkan potensi melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi minim apalagi dengan PTN yang menjual kursi untuk mahasiswa baru. lho kan yang mau ngelanjutin ngampus itu kebanyakan orang2 miskin yang ingin memperbaiki nasibnya. oleh karena itu hemat saya Guru dan Dosen diberikan Fasilitas yang memadai agar istiqomah untuk ngajar jangan adalagi guru yg ngejual LKS, jadi supir omprengan, dosen yang menjual skripsi, mau jadi apa bangsa ini? hehehehehehehehehehe
mantap. memang banyak ketidak adilan. ada beberapa aturan yang mengkebiri kesejahteraan dosen. mis: tunjangan fungsional, serdos, dan lainnya. terus berkarya kang 🙂
Pak Hamid, yang iri dan nggak ingin dosen hidup layak itu adalah orang Tendik Mendikbud (krn tdk memperjuangkan hak dosen ke Kemenkeu) dan orang Kemenkeu yang gak rela dosen hidup sejahtera dan menyamakan dosen dgn PNS lainnya. Aturan dan SBM serta SBML membunuh Motivasi dosen terutama dosen PTN BLU. Capek…
Saya sendiri senang kalau semua komponen pendidikan tinggi sejahtera. Nah, soal tukin, saya berkomunikasi dengan WamenPAn dan Sekjen Kemdikbud, keduanya menyampaikan bahwa Kemendikbudlah yang mengusulkan agar dosen tidak mendapatkan tunjangan kinerja.
Tulisannya realistis, saya terharu membacanya. Dosen ini “buruh” bkn expert di perguruan tinggi (PT) meskipun core product PT itu ilmu pengetahuan & dosen adalah pengembannya
Iya bu, sudah seharusnya dosen bersuara, tidak diam saja. Kalau tidak dunia pendidikan tinggi akan semakin tertinggal.
dosen? di mata sy lbh menghargai guru tk dan sd yg mengajar kan ttg budi pekerti dan moral anak klo sdh mahasisiwa sdh di saring yg pinter golongan pinter dosen tinggal petik hasil dari guru2 tk n sd yg mulia
Gaji dan tunjangan dosen saat ini kurang lebih sama dengan gaji teknisi dan administrasi. Dosen hanya keren jika ditinjau dr segi profesi. Dr segi kesejahteraan sama saja.
Heran juga kenapa tunjangan fungsional dosen kok sama dgn tunjangan fungsional teknisi.
Brtambah heran jika dosen dituntut kinerja macam2..
Bagaimana kelanjutan petisi dosen kemarin?????
kok kayak mati suri????
ngeriiii…..
Yang dikatakan oleh bapak Abdul Hamid memang benar. Di luar negeri, tidak usah jauh2, negara bagian selatan kita profesi dosen merupakan profesi yang cukup prestige dan untuk melakukan penelitian yang dirasa “tdk menguntungkan” buat pemerintah tidak akan disetujuin oleh pemerintah kita. Fakta yang bapak keluarkan benar sekali, namun apakah itu membuat para dosen terus bersuara ttg masalah ini.
Saya rasa, bapak dapat membimbing penerus2 bangsa kita ini untuk tidak menjadi pemimpin2 negara kita yang sekarang ini. Kalau memang masalah perut selalu dipermasalahkan, maka saya rasa kita kurang akan pemahaman tetang agama Islam (maaf untuk saat ini yg saya omongkan hanya sebatas agama saya). Karena kalau kita ikhlas bekerja dengan berprinsip ibadah maka gaji berapapun akan selalu trcukupi. Apalagi menjadi dosen, rejeki yg di dapat tdk hanya uang, namun ada amalan ilmu yang bisa terus memberi pahala walaupun sdh meninggal.
Akan lebih baik kalau kita lbh berfokus pada penerus kita drpd harus berkutat dengan mslh pemerintahan, ini bkn berarti kita diam saja namun kita merencakan suatu perbaikan dlm jangka panjang.
InsyaAllah klo negara kita berpatok dari Agama Islam dengan mendampingkan dengan Ilmu, maka hal ini tdk terjadi.
Mohon maaf kalau ada yang salah dr ucapan saya krn saya jga manusia biasa yg tdk luput dr salah tdk seperti Allah yg Maha Benar, namun saya hanya memberi masukan & semoga dpt memberi manfaat.
Salam,
G
Kalau anda membaca isi blog ini dan menemukan banyak informasi yg bermanfaat bg penerus bangsa, mungkin anda bisa lebih memahami makna tulisan saya. Di agama saya, keikhlasan tidak berarti diam ketika melihat sesuatu yg tidak benar. Bahkan mengatakannyapun barulah selemah-lemahnya iman
Sangat benar sekali yang anda tulis bung.
Bahkan di perguruan tinggi negeri ternama (Top 5 ) Indonesia-pun, pendapatan dosen kalah dengan pendapatan tukang sapu di DKI Jakarta yang gajinya sudah UMR.
Maka dari itu, dosen-dosen jaman sekarang kecenderungan (Mayoritas?) wanita, karena dengan pendapatan yang kecil, tidak diwajibkan (wanita Indonesia) untuk punya pendapatan besar.
Teman-teman saya yang laki-laki juga sangat menghindari jadi dosen dan lebih memilih bekerja di sektor yang pendapatannya lebih besar (tambang, minyak, FMGC, dll).
Tetapi saya selalu memotivasi diri sendiri untuk lebih ikhlas, jadi dosen untuk menerapkan Tridharma PT. Kalau kita melayani dan mencerdaskan orang lain, maka rejeki akan datang dengan sendirinya. Walaupun disadari memang, lebih banyak mengeluhnya daripada tabahnya.
Hehe.
He..he…menarik mas Abdul Hamid. Negeri sekaya dan sebesar ini dengan SDM sebanyak dan diantaranya memiliki intelektual yang siap tanding dengan bangsa lain, ternyata penduduknya termasuk banyak yang miskin. Berarti penguasa negeri ini bukan orang yang ingin Indonesia maju, besar dan berkembang bersama, karena kalau sampai terjadi kue yang mereka nikmati harus dibagi-bagi dengan sesama anak bangsa. Kalau bisa, mereka ingin menjadi terkaya kayak Nabi Sulaiman di Indonesia.
Pak Abdul Hamid, Saya mohon ijin reblog ya pak….. Terima kasih.
Semoga nasib para dosen akan membaik pak, optimis ^_^
Reblogged this on Oshigita's Page and commented:
Inilah realitas yang terjadi di negeri ini… Manusiawi, jika profesionalitas perlu didukung dengan materi, meskipun hidup sejatinya adalah untuk beribadah pada Sang Maha Pencipta.
Semoga para pemimpin dan pemangku kebijakan negeri ini semakin sadar, bahwa pondasi terkuat dari tegaknya suatu bangsa adalah pendidikan. Dengan sejahteranya taraf hidup pendidik, maka harapannya meningkat pula kualitas pendidikan di negeri tercinta ini. Aamiin.