Ketika dulu petisi dosen digulirkan, Mendikbud menjawab bahwa pihaknya sedang menggodok skema peningkatan tunjangan profesi,

“Dirjen Dikti bersama para pemimpin perguruan tinggi negeri tengah menggodok upaya peningkatan kesejahteraan dosen melalui skema tunjangan profesi,” katanya menegaskan. Nuh menjelaskan, selama ini, sebagaimana tertuang dalam UU No. 14/2005 dan PP No. 41/2009  tunjangan profesi dosen adalah setara dengan satu kali gaji. Kini sedang digodok formula tunjangan profesi yang dapat berimplikasi pada besarnya tunjangan profesi dosen, bisa lebih dari satu kali gaji pokok, bergantung pada kinerja masing-masing dosen.

“Ke depan, bagi dosen yang telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu, besaran tunjangan tidak mesti satu kali gaji pokok, bisa lebih, sesuai dengan prestasi dan kinerjanya,” katanya. Bagaimana skema dan kriterianya? Inilah yang kini masih dibahas oleh para pemimpin perguruan tinggi negeri bersama Dirjen Dikti. “Dengan model pendekatan semacam ini, maka dosen akan semakin dihargai atas prestasinya,” ujar Mendikbud. (http://www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/berita/2022)

Tujuh bulan berlalu, tak ada tanda-tanda realisasi janji tersebut.

Namun, sebetulnya sejak 13 Maret 2014, telah terbit  SK Menkeu Nomor S-168/MK.02/2014, tentang Standar Biaya Masukan (SBM) khusus PTN. SK tersebut mengatur  honorarium Dosen/Pegawai Yang Diberi Tugas Tambahan/Tugas Khusus Tertentu, honorarium Penyelenggara Kegiatan Akademik dan Kemahasiswaan, dan lain-lain, pada satker PTN. Dalam SK tersebut dijelaskan bahwa terbitnya SK ini adalah jawaban terhadap surat yang dikirim Kemendikbud. Bisa jadi, surat Kemendikbud kepada Kemenkeu adalah respon terhadap petisi dosen.

Surat ini kemudian ditegaskan lagi oleh Surat Edaran Dirjen Dikti No. 4324/E1.1/KU 2014 yang bertanggal 10 Juli soal pejabat yang belum tercantum di statuta. Edaran ini melampirkan daftar nama PTN dan SK Menkeu di atas. Silahkan download surat beserta lampiranya di sini.

Sebetulnya, angka-angka yang tertera di SK Menkeu tersebut amat menarik. Hanya saja, yang mesti diperhatikan, utamanya tiga hal. Pertama, pembayaran honorarium tergantung kemampuan PNBP, artinya sulit bagi kampus-kampus negeri dengan PNBP rendah untuk membayar honor-honor tersebut. Jika sumber PNBP terbesar adalah uang kuliah mahasiswa, apakah artinya kesejahteraan dosen mesti membuat biaya kuliah menjadi semakin mahal?

Kedua,  angka-angka di SK tersebut adalah angka maksimal. Sesuai dengan kondisi di bagian pertama, maka sulit bagi kampus-kampus dengan PNBP rendah menetapkan angka maksimal. Artinya bisa jadi akan ada SBM di setiap PTN yang berbeda-beda dengan nominal bervariasi. SK Menkeu terancam menjadi angin surga.

Ketiga, SK Menkeu tersebut membagi kampus kedalam empat kategori. Politeknik, Universitas Non BLU, Universitas BLU dan Institut/Sekolah Seni. Besaran nominal honor untuk item yang sama seringkali berbeda-beda.Misalnya Kelebihan Jam Mengajar (KJM) untuk kelas reguler S1/D3/D4 bagi Guru Besar di politeknik adalah sebesar Rp.125.000/jam, Univ Non. BLU Rp.100.000/SKS perkehadiran, Univ. BLU Rp.300.000/SKS perkehadiran dan Institut/Sekolah Seni hanya Rp.25.000/SKS perkehadiran. Beda sekali.

Walaupun tentu saja ini adalah batas atas, nanti setiap PTN membuat SBM masing-masing yang tidak boleh melampaui batas atas tersebut. Namun tetap saja jadi misteri, apa dasar pembedaan tersebut? Terutama bagi Institut/Sekolah Tinggi Seni yang nominalnya paling kecil.

Saya mencoba membuat perbandingan, berdasarkan SK Menkeu tersebut, tentu saja OTK setiap lembaga bisa saja tidak sama, namun saya coba membuatnya hati-hati (kalau ada kekeliruan mohon diinformasikan). Sekali lagi acuannya tetap ke SK Menkeu.

4 Comments »

Tinggalkan Balasan