Setelah penetapan oleh KPU, pembentukan kabinet menjadi proses yang menarik diamati.
Menarik karena di tahun ini nampaknya ekspektasi publik amat tinggi untuk hadirnya sebuah kabinet yang diisi orang-orang yang kompeten.
Lima tahun lalu, nyaris tak ada kejutan dalam pembentukan kabinet SBY jilid ke dua. Menteri-menteri adalah representasi dari partai politik yang bergabung dalam koalisi. Tak heran jika banyak orang kompeten justru tersingkir karena kurang mendapat rekomendasi kuat dari partai politik.
Contoh terbaik adalah tersingkirnya Anton Apriyantono dari bursa Menteri Pertanian. Sebagai incumbent, Anton adalah menteri berprestasi. Di tangannya, Indonesia berhasil berswasembada beras. Hal yang diklaim sebagai keberhasilan oleh tiga pihak dalam kampanye pileg maupun pilpres waktu itu: SBY dan partai demokrat, Jusuf Kalla, dan tentu saja PKS.
Namun ironis, Anton justru tersingkir karena kalah kuat di internal PKS.
Tahun ini rakyat menaruh banyak harapan. Dari awal Jokowi menjanjikan kabinet kerja yang diisi menteri-menteri yang bisa kerja. Karena itulah tak ada keributan siapa mendapatkan apa ketika pembentukan koalisi. Secara nyata, ini juga yang membedakan koalisi pendukung Jokowi dan koalisi pendukung Prabowo. Koalisi merah putih, syarat dengan aroma transaksional, bahkan sampai muncul istilah Menteri Utama sebagai jatah bagi Aburizal Bakrie.
Tentu saja, banyak pihak pendukung Jokowi yang sekarang berharap masuk terlibat dalam pemerintahan baru. Tekanan pasti muncul dari Megawati, PDIP, partai pendukung yang lain, pengusaha, NGO, dan lain-lain. Pembentukan kabinet menjadi momentum bagi kita untuk menilai, apakah Jokowi cukup berdikari sebagai pemimpin atau ternyata hanya “pemimpin boneka” seperti dituduhkan kubu sebelah.
Dari masyarakat muncul juga berbagai usulan. Kalangan pendukung dari Jokowi Center misalnya membuat sebuah survey calon menteri. Surveynya sebetulnya menarik, menyodorkan tiga alternatif menteri dan responden bisa mengisi nama secara bebas dengan memilih “other”.
Namun kita mesti melihatnya secara kritis. Setiadaknya dari dua aspek. Pertama, ada banyak nama politisi dan tokoh yang maaf, kompetensinya meragukan di posisi tertentu. Secara subyektif, dalam bursa Mendikbud misalnya, tak ada nama Anies Baswedan disana, yang ada tokoh-tokoh lain. Anies malah “hanya” ditempatkan sebagai kandidat Menteri Pemuda dan Olahraga. Politisi Golkar seperti Indra J Piliang atau Poempida juga secara mengejutkan masuk ke dalam bursa menteri. Ini mengejutkan dan menimbulkan tanda tanya. Saya menduga ada desain pembentukan opini tertentu dalam survey bertajuk Kabinet Alternatif Untuk Rakyat ini.
Kedua, survey ini dibuat dalam bentuk google.docs yang prosesnya tidak transparan. Artinya kita tidak bisa melihat secara realtime hasil survey ini. Siapa menjamin pembuat survey tidak memanipulasi data dan menampilkan postur kabinet semau-maunya (sesuai design mereka) padahal mengklaim bahwa ini adalah aspirasi rakyat?
Karena itulan, saya menyarankan justru tekanan mesti dibuat secara resmi oleh berbagai organisasi kemasyarakatan dan profesi. Katakanlah IDI bisa memberi rekomendasi siapa dokter terbaik yang bisa menjadi Menteri Kesehatan, tentu dengan pertimbangan yang memadai. Begitu juga PGRI, PII, MUI, Masyarakat telematika, dan lain-lain.
Apakah hal ini akan menyulitkan Jokowi?
Inilah tugas pemimpin, membuat keputusan dan berani mengambil resiko.
Tentu saja ada potensi kegagalan memenuhi ekspektasi yang bisa menimbulkan kelompok kritis baru terhadap pemerintahan baru. Ini bisa jadi petaka, mengingat tingginya ekspketasi publik. Jika di lingkungan elite bisa jadi ada barisan sakit hati, di kalangan rakyat bisa muncul kelompok pengkritik yang bisa jadi di masa kampanye adalah pendukung loyal.
Semoga kemaslahatan rakyat tetap menjadi pertimbangan utama.
Selamat menyeleksi Pak Jokowi.