Saya bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi, dan tulisan ini akan bicara tentang persoalan-persoalan di dunia pendidikan tinggi. Oh ya, tulisan ini mewakili diri saya sendiri, bukan institusi tempat saya […]
Saya bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi, dan tulisan ini akan bicara tentang persoalan-persoalan di dunia pendidikan tinggi. Oh ya, tulisan ini mewakili diri saya sendiri, bukan institusi tempat saya bekerja.
Ada banyak persoalan di dunia pendidikan tinggi. Hmmm, mulai dari mana ya?
Baiklah, untuk tulisan pertama, saya mau mulai dari rendahnya kinerja riset di Indonesia.
Kita tentu paham, berbeda dengan sekolah dasar dan menengah, perguruan tinggi bukan hanya tempat belajar-mengajar, namun tempat dikembangkannya ilmu pengetahuan melalui riset atau penelitian. Bagaimana mengukur prestasi riset di Indonesia? Kita tengok tabel di bawah ini yang disajikan SCImago Journal and Country Rank. Oh ya sebagai informasi, SCImago ini dipakai sebagai salah satu indeks oleh Dikti untuk melihat reputasi sebuah jurnal.
No
Country
Documents
Citable documents
Citations
Self-Citations
Citations per Document
H index
1
China
3.129.719
3.095.159
14.752.062
8.022.637
6,81
436
2
Japan
1.929.402
1.874.277
23.633.462
6.832.173
13,01
694
3
India
868.719
825.025
5.666.045
1.957.907
8,83
341
4
South Korea
658.602
642.983
5.770.844
1.281.366
11,49
375
5
Taiwan
446.282
434.662
3.993.380
930.383
11,35
300
6
Hong Kong
180.958
172.610
2.448.025
340.370
15,53
325
7
Singapore
171.037
163.153
2.051.237
278.461
14,42
308
8
Malaysia
125.084
121.714
497.646
133.502
8,68
145
9
Thailand
95.690
91.925
790.474
134.626
12,09
190
10
Pakistan
70.208
67.491
328.281
94.655
6,95
130
11
Indonesia
25.481
24.461
185.695
20.750
11,86
126
12
Bangladesh
23.028
22.286
147.791
28.986
9,26
112
13
Viet Nam
20.460
19.854
161.813
23.690
12,89
122
14
Philippines
15.419
14.601
179.820
19.058
15,09
131
15
Sri Lanka
9.637
9.079
76.926
7.582
10,78
96
16
Uzbekistan
8.138
7.975
34.597
6.568
4,41
58
17
Kazakhstan
7.423
7.274
26.836
4.223
5,03
59
18
Nepal
7.007
6.398
53.576
6.853
10,76
80
19
Macao
3.178
3.061
11.515
1.586
6,61
41
20
Mongolia
2.576
2.494
21.967
2.397
14,55
61
21
North Korea
2.235
2.200
30.424
225
12,89
67
22
Cambodia
1.858
1.712
21.412
2.390
14,25
57
23
Brunei Darussalam
1.634
1.423
11.058
1.010
10,38
44
24
Laos
1.319
1.261
12.468
1.724
13,44
49
25
Myanmar
1.190
1.147
9.672
720
12,73
41
26
Kyrgyzstan
1.156
1.119
6.394
682
6,80
35
27
Tajikistan
1.005
990
3.005
506
3,53
24
28
Afghanistan
586
519
2.840
315
5,89
24
29
Bhutan
367
357
1.795
210
7,20
20
30
Turkmenistan
238
235
1.511
150
8,00
17
31
Maldives
150
146
1.171
62
7,96
18
32
Timor-Leste
65
58
300
25
7,99
10
33
Northern Mariana Islands
54
53
506
27
11,28
13
Indonesia berada di nomor urut 11 dari 33 negara di Asia. Posisinya di bawah Pakistan, Thailand dan Malaysia. Oh ya, sumber data bisa dilihat di sini.
Untuk lebih tajam kita lihat perbandingan Indonesia dan Malaysia.
Perhatikan data di atas. Titik berangkat di tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. (Peneliti) Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961. Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190, hampir enam kali lipat.
Data ini menunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh tertinggal.
Tentu saja ini bukan hanya masalah dosen di perguruan tinggi, namun juga lembaga-lembaga riset dan semua litbang di semua kementerian. Namun saya coba meneropong ini dari hal yang saya berada di dalamnya, dunia pendidikan tinggi.
Ada beberapa hal kenapa performance riset di dunia pendidikan tinggi Indonesia begitu buruk.
Pertama, riset masih dilihat sebagai tugas tambahan seorang dosen, bukan terintegrasi dan disadari sebagai bagian dari tugas pokok. Paradigma kita di dunia pendidikan tinggi masih melihat proses belajar-mengajar sebagai hal yang utama, bukan riset. Dosen masih melihat tugasnya sama dengan guru: mengajar. Bisa jadi karena Dosen diletakkan sejajar dengan Guru dalam satu undang-undang. Mestinya, berdasarkan perbedaan requirement, perbedaan instansi induk dan perbedaan tugas pokok, guru dan dosen harus dipisahkan. Mesti diatur dalam undang-undang yang berbeda.
Kedua, persoalan infrastruktur dasar yang tidak memadai. Bagaimana kita mau bicara hal-hal yang canggih jika hal mendasar seperti meja kerja saja masih menjadi hal yang mewah bagi dosen?
Saya mencoba melakukan survey kecil-kecilan dengan populasi dosen-dosen yang tergabung di Grup Dosen Indonesia. Hasilnya 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama-sama. Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen.
Ini berkaitan dengan paradigma di nomor (1) bahwa tugas dosen hanyalah mengajar. Celakanya ini dianut oleh banyak pemimpin perguruan tinggi (negeri dan swasta) maupun banyak dosen itu sendiri. Banyak pemimpin kampus tidak memfasilitasi dosen untuk memiliki ruang/meja kerja memadai, sementara banyak dosen yang memang ke kampus untuk mengajar saja, setelah itu bertebaran di muka bumi, mencari penghasilan tambahan. Pemerintah? rasanya tak pernah melihat ini sebagai masalah, kecuali dalam instrumen akreditasi belaka. Ini baru soal ruang/meja untuk bekerja (mosok ngetik sambil berdiri sih), belum bicara perpustakaan atau laboratorium berkualitas yang masih jadi hal langka di kampus-kampus dalam negeri. Fiuh.
Ketiga, sistem yang memberi disinsentif bagi dosen yang rajin melakukan publikasi ilmiah. Hantu ini disebut batas kepatutan, intinya batas sebuah aktivitas dosen dinilai dalam sistem promosi. Misalnya, paper ilmiah yang terbit di jurnal internasional hanya diakui satu paper dalam satu semester. Lebih dari satu tak dihitung sebagai pencapaian. Padahal tentu saja kita sebagai peneliti tak bisa memastikan atau mendikte editor atau publisher menerbitkan paper kita di waktu yang berbeda. Proses sebuah paper dari mulai dikirim sampai betul-betul terbit juga bervariasi bisa satu sampai dua tahun. Silahkan baca soal batas kepatutan di sini.
Keempat, banyak kesibukan administratif. Ya, dosen disibukkan dengan berbagai kesibukan administratif. Contoh nyata adalah kesibukan mengisi BKD setiap semester hanya untuk sekedar mendapatkan tunjangan sertifikasi dosen. Contoh lain yang menyakitkan misalnya terjadi beberapa bulan lalu ketika Dosen di seluruh Indonesia diwajibkan mengisi SIPKD dengan scan semua SK, ijazah dan sebagainya. Celakanya perintah tersebut disertai ancaman. Akibatnya, dosen-dosen pontang-panting mencari berbagai SK dan surat-surat penting, men-scan (bahkan ada yang beli scanner khusus untuk urusan ini), menyerbu situs SIPKD sehingga server tumbang sampai batas waktu yang digembar-gemborkan Dikti sendiri.
Kesibukan administratif juga berkaitan dengan aktivitas penelitian itu sendiri. Dosen harus berkompetisi untuk mendapatkan dana penelitian. Dan dosen yang mendapatkan grant penelitian biasanya disibukkan oleh aspek administratif dan bukan kualitas riset itu sendiri. Berurusan dengan kwitansi dan stempel, serta mencari dana talangan penelitian, sebelum dana-nya betul-betul turun. Belum lagi seringkali menghadapi potongan di sana-sini yang membuat kualitas riset berkurang.
Penyebab terakhir dan utama adalah rendahnya pendapatan dosen di Indonesia. Seberapa rendah? silahkan bandingkan dengan Malaysia di sini. Lho kan sudah ada sertifikasi dosen? Data Dikti sampai februari 2014 menunjukkan baru 39% dosen yang tersertifikasi. Sisanya, mengantri panjaaaaaang.
Hal ini tentu saja membuat sulit menarik anak-anak muda bangsa terbaik untuk berkarir di dunia akademik. Untuk yang terlanjur menjadi dosen, kondisi semacam ini memaksa banyak dosen memiliki kesibukan ekstra menambah pendapatan, mulai jadi selebritis, buka warung sampai konsultan palu gada (apa elo mau gw ada). Apa akibatnya? Ya seperti di nomor 1 dan 2 di atas: ke kampus hanya mengajar, mau singgah menulis atau membaca tak ada meja, akibatnya menyibukkan diri dengan aktivitas di luar kampus.
Lantas masih ada yang berkilah bahwa, masih ada kok dosen-dosen yang menghasilkan publikasi ilmiah berkualitas. Ya tentu saja, di manapun pasti ada orang-orang hebat yang bertarung melawan keterbatasan. Bayangkan jika keterbatasan itu kemudian tidak jadi hambatan, kita akan menghasilkan lebih banyak orang-orang hebat lagi dan lebih banyak publikasi ilmiah yang hebat pula.
Kelima penyebab di atas saling berkelindan satu sama lain, menimbulkan lingkaran setan. Berbagai kebijakan (baca: paksaan) Dikti biasanya memperuwet keadaan, menambah kusut, bukan menguraikan persoalan.
Tengok misalnya surat edaran SE152/E/T/2012 tentang kewajiban menerbitkan jurnal ilmiah bagi mahasiswa S1, S2 dan S3. Dirjen Dikti dalam surat resminya menyebutkan alasan pengenaan kewajiban tersebut disebutkan karena “…jumlah karya ilmiah Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sepertujuh…”
Akibatnya, di berbagai kampus dibuatlah jurnal-jurnalan untuk menampung skripsi dan tesis mahasiswa. Nah yang lebih menarik tak banyak kampus yang berani mengikuti surat edaran di atas bagi S3 yang diwajibkan publikasi di jurnal internasional. Bagi yang menerapkan, ada yang kemudian asal terbit dan jatuh ke dalam pelukan jurnal (internasional) predator.
jurnal predator apa tuh bro? istilah baru nih buat gue 🙂
Memuat...
Jurnal yang nggak pake proses peer review dan biasanya penulis naskah musti mbayar. Ini fenomena bisnis baru di dunia akademik, basis mereka biasanya di Afrika, India-Pakistan, atau China.
Memuat...
Ditunggu nih lanjutannya, mungkin juga bisa ditambahkan PT yang tidak membiayai penelitian dosen-dosennya….
Memuat...
pak,,kenalkan sya ilham,,sya dosen muda di univ.muhammadiyah palangkaraya,kalteng..sya mau tanya pak,,bagaimanacarnya bisa menulis di paper internasional?
Memuat...
1. Punya riset yang bagus dan serius 2. Ditulis dalam bahasa Inggris, bisa minta bantuan kawan yang jago bhs untuk edit 3. Searching jurnal yang cocok. nah kalau mengasah intuisi, sering2 membaca jurnal internasional.
jurnal predator apa tuh bro? istilah baru nih buat gue 🙂
Jurnal yang nggak pake proses peer review dan biasanya penulis naskah musti mbayar. Ini fenomena bisnis baru di dunia akademik, basis mereka biasanya di Afrika, India-Pakistan, atau China.
Ditunggu nih lanjutannya, mungkin juga bisa ditambahkan PT yang tidak membiayai penelitian dosen-dosennya….
pak,,kenalkan sya ilham,,sya dosen muda di univ.muhammadiyah palangkaraya,kalteng..sya mau tanya pak,,bagaimanacarnya bisa menulis di paper internasional?
1. Punya riset yang bagus dan serius 2. Ditulis dalam bahasa Inggris, bisa minta bantuan kawan yang jago bhs untuk edit 3. Searching jurnal yang cocok. nah kalau mengasah intuisi, sering2 membaca jurnal internasional.