Ini tulisan kedua soal beberapa persoalan pendidikan tinggi di Indonesia. Tulisan pertama bisa dibaca di sini. Inginnya melanjutkan soal riset atau infrastruktur, cuma tiba-tiba tertarik dengan pemilihan Rektor PTN. Ini ajang politik kampus yang nggak kalah seru dengan pilkada. Coba saja dicari di google, ada banyak kisruh dalam pemilihan rektor, manuver politik bahkan sampai saling melaporkan ke polisi. Agenda politik pribadi dan kelompok sering jauh lebih dominan daripada program kemajuan kampus yang dijanjikan para calon itu sendiri. 

Hmm tulisan ini juga masih dalam rangka mengawal kabar dibentuknya Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Kalau persoalan-persoalan di pendidikan tinggi tidak disuarakan, bisa gawat 😉

***

Kampus punya otonomi, daerah juga.

Namun dalam pemilihan pemimpin, pemerintah daerah sudah jauh lebih maju daripada kampus berstatus PTN.

Di pemerintah daerah, zaman orde baru yang otoriter dan sentralistik, pemilihan kepala daerah dilaksanakan di DPRD. Itupun sebetulnya hanya memberi rekomendasi saja karena pemerintah pusatlah yang menentukan. Kemudian reformasi, dengan UU 22 1999 pemilihan mutlak dilaksanakan di DPRD tanpa campur tangan pemerintah pusat. Kemudian berdasarkan tafsir terhadap demokrasi dan otonomi, maka sejak tahun 2005 pemilihan dilaksanakan langsung, sampai sekarang.

Di kampus negeri sebelum tahun 2010, pemilihan Rektor mirip dengan pemilihan kepala daerah zaman orde baru. Prosesnya melalui tahap pertimbangan oleh rapat senat dan kemudian hasilnya (3 nama berdasarkan jumlah perolehan suara) dibawa ke Mendikbud dan oleh Mendikbud diajukan kepada Presiden. Namun biasanya, jika tak ada persoalan serius, calon Rektor yang  menang dalam rapat pertimbangan senat akan jadi Rektor.

Nah, di tahun 2010, hadir Permendiknas 24 2010. Rektor PTN dipilih dalam Rapat Senat bersama Mendiknas dengan proporsi suara 65% dan 35%. Hal ini kemudian dikukuhkan oleh Permendikbud 33 tahun 2012.

Calon Rektor awalnya dijaring dan disaring oleh Senat dan kemudian 3 besar hasil penyaringan dipilih dalam rapat bersama Senat dan Menteri. Dengan proporsi Senat 65% dan Menteri 35%, pemilihan dilakukan sampai mendapat calon yang mendapat suara terbanyak yang kemudian ditetapkan Menteri.

Nah ada beberapa persoalan yang mengemuka dalam sistem seperti ini.

1. Apa dasar 35% suara menteri?

2. Jikalau 35% suara menteri tidak kita persoalkan, apa dasar Menteri memilih si X dan bukan si Y? 

Kita bedah dua persoalan ini.

Saya akan membedah persoalan kedua dulu. Kalau dihitung, 35% itu besar sekali. Yang seringkali terjadi suara mendikbudlah yang menentukan siapa jadi Rektor, karena suara anggota senat biasanya terpolarisasi kepada banyak calon. Kenapa Mendikbud memberikan suaranya kepada calon yang satu dan bukan calon yang lain?

Secara formal, dua minggu sebelum pemilihan, Senat memang menyampaikan Data Riwayat Hidup, Visi-Misi dan program kerja calon Rektor kepada Menteri. Nah, tapi apakah Menteri memilih atas dasar data-data tersebut? Adakah wawancara mendalam antara tim Mendikbud dengan calon-calon terpilih? Adakah pendalaman visi-misi atau fit and proper test sampai Mendikbud memang betul-betul menemukan calon yang betul-betul kredibel?

Atau sebetulnya, pemilihan Rektor murni persoalan politik? tergantung lobby kepada partai politik, figur dan ormas-ormas tertentu yang dekat dengan kekuasaan? 

Kita banyak menemukan bahwa calon rektor yang menang dalam proses penyaringan di Senat kemudian dikalahkan oleh calon lain yang mendapat dukungan suara Menteri. Persoalannya, tidak pernah ada penjelasan, kenapa menteri memilih calon X dan bukan calon Y. 

Jadi jika memang suara 35% suara Menteri kita terima, maka suara Mendikbud harus betul-betul diberikan kepada calon yang kredibel dengan parameter-parameter yang jelas dan bisa disampaikan ke publik. 

***

Baiklah, bagaimana dengan persoalan pertama, 35% suara Menteri dalam pemilihan Rektor PTN? Saya sendiri cenderung dalam posisi menolak Menteri ikut campur dalam pemilihan Rektor. Alasan bahwa pemerintah memiliki “saham” dalam perguruan tinggi negeri adalah alasan usang.

Tengok pemerintahan daerah.

Daerah tetap memiliki otonomi dan memilih kepala daerahnya secara langsung dan otonom walaupun saham pemerintah pusat adalah yang terbesar dalam struktur APBD. Secara rata-rata, pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah daerah (kab/kota/provinsi) di tahun 2013 hanyalah 20.56%. Bagian terbesar ya tadi, saham pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan, terutama dana alokasi umum, secara total rata-rata dana perimbangan mencapai 63.43%. 

Lantas apakah karena hal tersebut (kontribusi pemerintah pusat terbesar) lantas kepala daerah ditentukan pusat? Atau pemerintah pusat punya suara sekian puluh persen dalam pemilihan kepala daerah?

Tentu saja tidak. Pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dan demokratis. Pemerintah pusat tinggal melantik. 

Nah, bagaimana dengan pemilihan Rektor?

Perbandingan dengan Pemerintahan Daerah diatas membuat alasan adanya intervensi menteri dalam pemilihan Rektor menjadi usang. Apalagi seperti dibahas di atas sampai sekarang tidak pernah jelas, kenapa suara menteri diberikan kepada siapa. Jadi intervensi menteri dalam pemilihan Rektor harus dihentikan segera. 

Bagaimana dengan pemilihan di Senat tanpa intervensi Menteri?

Ya sebagai bentuk demokrasi perwakilan ini hal yang bisa dibenarkan. Tapi apakah anggota senat betul-betul mewakili civitas akademika yang diwakilinya? Apakah ada proses konsultasi publik sebelum seorang anggota senat memutuskan dia mendukung calon yang mana? Atau anggota senat memilih berdasarkan hubungan transaksional, siapa mendapat (jabatan) apa? 

Silahkan dijawab dengan pengalaman kita sendiri di kampus masing-masing. 

Saya sendiri sih punya ide liar mendorong pemilihan Rektor langsung oleh Dosen tetap (tenure).

Ini akan jadi percontohan demokrasi prosedural yang baik. Saya selalu percaya bahwa kualitas demokrasi ditentukan oleh kualitas manusianya. Dosen yang minimal berpendidikan S2 dan pastinya lebih terpelajar dari rata-rata masyarakat Indonesia amat mungkin menjadi pemilih rasional.  Saya membayangkan debat calon Rektor bukan lagi basa-basi, namun betul-betul bicara program yang nyata. Akan ada diskusi dan perdebatan menarik tentang figur-figur ideal. Akan terjadi juga debat dan wacana tentang pengembangan kampus sebagai bagian dari proses pemilihan Rektor, dan dosen langsung ikut memutuskan sebagai pemilih. 

Apakah akan ada potensi politik uang seperti dalam pilkada?

Mungkin saja terjadi, tapi itu kecil peluangnya karena akan betul-betul memalukan jika terjadi di institusi akademik. 

***

Hmm, menggairahkan bukan?

Bagaimana menurut anda?

Atau anda punya ide lain?

Sumber: 

  1. Kepmendikbud No. 284/U/1999 Tentang Pengangkatan Dosen Sebagai Pimpinan Perguruan Tinggi Dan Pimpinan Fakultas
  2. Kepmendiknas Nomor 043 /U/2001 Perubahan Pertama Atas Keputusanmenteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 284/U/1999 Tentang Pengangkatan DosenSebagai Pimpinan Perguruan Tinggi Dan Pimpinan Fakultas
  3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur Pada Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah 
  4. Permendikbud 33 2012 Pengangkatan Dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur
    Pada Perguruan Tinggi Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah
  5. http://keuda.kemendagri.go.id/datin/index/1/2013

5 Comments »

  1. sy sangat setuju dengan pemikiran bapak jika rektor dpilih langsung oleh dosen dan pgw. Ironi mmg dunia penddk mengajarkan ttg demokrasi, ttp PT sendiri tdk mempraktekkan. Jika rektor msh dipilih oleh senat, itu sama sj kembali pd pemerintah orba. skrg telah terasa, rektor sering berindk otoriter, acuh terhdp ide dosen, dosen diperlakukan sbg pekerja, bukan pemikir, dll. mdh2 sgr terjadi perubahan. amin

Tinggalkan Balasan