Pak Nasir, selamat atas penetapan Bapak menjadi MenRistek Dikti.

Sebagai dosen biasa, saya orang yang berharap besar dengan kementerian baru ini.

Pak Nasir, ada kekhawatiran di sebagian kolega bahwa dibentuknya kementerian ini hanya memindahkan posisi subordinasi pendidikan tinggi dari Kemendikbud ke Kemendiktiristek. Kekhawatirannya adalah pendidikan tinggi disubordinasi ristek, terlalu fokus pada riset dan teknologi, dan pendidikan tinggi tetap berjalan seperti apa adanya, tanpa perubahan bahkan mengalami kemunduran sebagai rumah belajar.

Padahal tentu saja, lahirnya kementerian baru ini untuk membuat perubahan, perbaikan dunia pendidikan tinggi kita. Saya berharap banyak.

Kita mesti sadar bahwa profil dunia pendidikan tinggi kita saat ini tidak terlalu menggembirakan. Jauh dari ideal untuk bisa bersaing di tingkat dunia maupun kawasan. Kalau tidak percaya, ini data perbandingan Indonesia dan Malaysia dalam aspek riset:

Screenshot 2014-09-01 19.06.48

Screenshot 2014-09-01 19.07.01

Titik berangkat di tahun 1996, Indonesia tidak terpaut jauh dari Malaysia. (Peneliti) Indonesia memproduksi 540 paper ilmiah, sementara Malaysia 961. Jarak terlihat melebar di tahun 2005 ketika jumlah paper ilmiah di Malaysia mencapai tiga kali lipat. Puncaknya di tahun lalu (2013), Indonesia hanya mampu memproduksi 4.175 paper ilmiah dan Malaysia mencapai 23.190, hampir enam kali lipat.

Hal serupa juga ditunjukkan oleh berbagai pemeringkatan universitas di dunia. QS misalnya, baru-baru ini melansir peringkat universitas di Asia pada 2014. Universitas di Indonesia yang masuk 100 besar hanyalah UI di peringkat 71. ITB dan UGM hanya berada di peringkat 125 dan 145. Bandingkan sekali lagi dengan Malaysia yang menempatkan tiga universitasnya di atas UI, masing-masing UM, UKM dan UTM di peringkat 32, 56, dan 66.

Pak nasir, daya saing pendidikan tinggi kita juga bisa dilihat dari profil dosen berdasarkan jenjang pendidikan.

Berikut ini saya ambil data pendidikan dosen yang tersedia di forlap.dikti.go.id di hari ini. Sebagian besar dosen kita berpendidikan S2, diikuti S1 yang jumlahnya besar dan sebagian kecil S3.

Sumber:http://forlap.dikti.go.id/dosen/homegraphjenjang
Sumber:http://forlap.dikti.go.id/dosen/homegraphjenjang

Dengan data resmi di atas, tentu saja sulit membayangkan kita bisa menjadi Center of Excellence, setidaknya di Asia Tenggara. Oh ya, tentu saja ada berbagai program beasiswa untuk dosen, baik di dalam dan di luar negeri. Saya termasuk diantara penerima manfaat beasiswa. Tapi pengelolaannya masih belum lancar, ada banyak persoalan. Saya berharap betul Pak Nasir mau blusukan, bertanya langsung ke penerima beasiswa tentang bagaimana beasiswa dikelola.

Untuk beasiswa luar negeri, kami punya PKDLN (Persatuan karyasiswa Dikti LN) yang juga dipimpin oleh Pak Nasir (Sony), siap menjadi mitra agar persoalan manajemen beasiswa yang berdampak pada martabat bangsa di akademisi dan kampus-kampus luar negeri tidak terulang. Kata kucinya: kami sedang khawatir dengan desentralisasi beasiswa yang sekarang diprogramkan Dikti. Apakah mungkin jika semua beasiswa yang berasal dari pemerintah dikelola terpusat di LPDP?

Pak Nasir,

Sebelum menjadi pejabat kampus dan kemudian Menteri, Bapak tentu adalah dosen biasa. Kami, para dosen biasa dari Aceh sampai Papua sering berdiskusi di media sosial. Saya mengundang Bapak bergabung, blusukan dan menyerap berbagai aspirasi yang ada di sana.

Salah satu yang sering kami diskusikan adalah kesejahteraan.

Akhir tahun lalu kami dikejutkan dengan kebijakan tunjangan kinerja yang mengecualikan dosen PNS. Alasannya adalah karena dosen sudah menerima tunjangan sertifikasi. Padahal menurut data http://forlap.dikti.go.id/dosen/homerekapserdos yang saya akses hari ini, baru 43% dosen yang sudah tersertifikasi, sebanyak 57% BELUM tersertifikasi.

Belum lagi tunjangan sertifikasi dicabut ketika dosen melakukan tugas belajar. Berbeda dengan tunjangan kinerja yang tetap dibayarkan (sejumlah prosentase tertentu) walaupun PNS non dosen sedang tugas belajar.

Masih soal kesejahteraan, saya berharap bahwa dosen bisa mendapatkan tunjangan fungsional yang setidaknya sama besarnya dengan peneliti. Sudah tujuh (7) tahun tunjangan fungsional dosen yang diatur dengan perpres 65 2007 tidak mengalami kenaikan.

Screen Shot 2013-05-18 at 6.45.16 PM

Sementara berdasarkan perpres 100 tahun 2012, inilah tunjangan fungsional peneliti:

Screen Shot 2013-11-27 at 6.42.33 PM

Pak Nasir mungkin bertanya, lha kok Si Abah ngomongin soal kesejahteraan melulu?

Sederhana jawabannya.

Saya percaya bahwa dosen di Indonesia pintar-pintar, hebat-hebat dan berkualitas tinggi. Namun mereka tidak bisa memaksimalkan potensi yang dimilikinya melaksanakan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat karena harus berjibaku memenuhi kebutuhan hidup dengan mengajar di berbagai tempat atau mencari proyek-proyek sampingan.

Saya percaya bahwa jika masih terus seperti itu, maka kita memang membiarkan dunia pendidikan tinggi kita tertinggal.

Oh ya, penghasilan yang baik juga penting untuk menarik anak-anak bangsa terbaik untuk terjun ke dunia pendidikan tinggi. Di Jepun, saya bertemu anak-anak muda Indonesia yang sedang atau selesai sekolah S3 dan mempelajari ilmu yang hebat-hebat. Saya yakin fenomena itu ada di berbagai tempat di dunia. Contoh lain, ratusan anak-anak muda Indonesia sedang bersekolah doktor dengan biaya LPDP di kampus-kampus terbaik dunia dan sebagian besar mereka belum punya ikatan kerja. Jika prestasi dan semangat mereka bisa diserap dunia pendidikan tinggi, bukankah ini sebuah potensi besar untuk bangkit?

Saya berharap di periode Pak Nasir, persoalan kesejahteraan terpecahkan sehingga yang kami diskusikan di media sosial bisa bergeser ke prestasi, hasil-hasil riset, dan ksempatan kolaborasi dan kerja sama.

Pak Nasir,

Saya juga menyarankan Bapak untuk blusukan ke kampus-kampus di Indonesia, secara incognito.

Sekarang, dosen-dosen di Indonesia dituntut untuk menulis jurnal internasional bereputasi atau terakreditasi. Namun bagaimana hal ini bisa dilakukan di tengah persoalan tentang infrastruktur dasar dalam bekerja.

Survey kecil-kecilan yang saya lakukan di Grup Dosen Indonesia menemukan bahwa

Sebanyak 39% dosen tak memiliki meja kerja, hanya ada ruang dosen yang dipakai bersama- sama.

Sebanyak 35% memakai ruang dosen bersama, namun memiliki meja kerja, dan hanya 26% yang memiliki privasi: ada meja kerja dan satu ruangan dipakai maksimal dua orang dosen.

Bagaimana bicara pendidikan tinggi berkualitas bisa terwujud jika hal mendasar seperti meja kerja saja belum tersedia? Ketika dosen mesti bekerja (membaca, mengoreksi, menulis) di rumah dan membimbing mahasiswa di kantin sambil minum kopi susu sachet  dan makan indomie rebus?

Sekali lagi saya sarankan Pak Nasir incognito ke kampus-kampus yang ada di pelosok Banten, Aceh, Papua dan daerah-daerah lain. Incognito ya Pak, kalau nggak Pak Nasir akan dijamu makanan enak di kantor rektorat dan hanya ditunjukkan ruang kelas yang bagus dan wangi saja tanpa melihat persoalan sesungguhnya.

Oh ya, terakhir soal pemilihan rektor PTN.

Ini opini pribadi saja. Saya berharap Pak Nasir legowo tak mencampuri pemilihan Rektor PTN. 35% suara menteri mengintervensi pemilihan Rektor PTN sudah saatnya dicabut. Cukuplah menteri menetapkan kriteria serta etika dan menegakkannya. Lebih ekstrim, mungkin saatnya Rektor PTN dipilih langsung oleh dosen tetap. Jangan khawatir dengan politik di kampus, justru saatnya praktek demokrasi di kampus yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan rata-rata lebih baik dari rakyat Indonesia menjadi contoh yang bisa ditiru.

Ini dulu yang saya sampaikan. Oh ya, di blog ini saya memang banyak menulis dan berbagi berbagai hal tentang pendidikan tinggi. Inspirasinya datang dari Bunda Fitri, seorang Ibu yang dedikasinya berbagi ilmu dan informasi tentang dunia pendidikan tinggi luar biasa. Website yang beliau kelola jauh lebih bisa diandalkan dari website pemerintah yang mengurusi pendidikan tinggi. Saya usul, di hari pendidikan yang akan datang, saatnya Bunda Fitri mendapatkan penghargaan di dunia pendidikan tinggi.

Sekian dulu ya Pak Nasir, saya mau melanjutkan menulis disertasi dulu, sedang dikejar-kejar Sensei 🙂

Kyoto, 27 Oktober

Adul Hamid Fisip Untirta

Sumber:

1. http://dosenindonesia.net/mengawal-kementerian-riset-dan-pendidikan-tinggi/

2. forlap.dikti.go.id

1 Komentar »

  1. Ada variabel yang lbh penting dari pada kesejahteraan Dosen Pak Abdul Hamid. Kita tidak bisa berasumsi bahwa semua Dosen seperti Anda atau dosen2 lain yang berkomitmen. Saya percaya, tanpa ada pembenahan mekanisme dan sistem yang tepat, berapapun tunjangan dan gaji dosen dinaikkan, bak memberi garam ke laut. Mengapa? Jika sistemnya masih seperti ini, walaupun tunjangan dosen dinaikkan 5x lipat, tetap saja ada sebagian dosen yg masih sibuk mencari “tambahan” penghasilan di luar. Tentu saja tidak semua dosen seperti itu. Akan tetapi jika hal ini tidak dibenahi, ini akan menular bak virus sehingga dosen lainnya juga malah dikhawatirkan ikut2an cari penghasilan diluar juga. Konsep remunerasi tidak tepat lagi, karena penekanan pada “absen” atau kehadiran dosen semata. Percayalah, setelah absen, para dosen pasti sibuk dengan “urusannya” masing2.

    Sebenarnya ada konsep yang pernah saya baca dan menurut saya efektif. Berikanlah saja tunjangan peneliti. Sehingga dosen nantinya disamping ada jabatan fungsional (dari asisten ahli s/d guru besar), akan ada jabatan peneliti (misalnya peneliti muda, madya, dan peneliti ahli). Pembagian kategori peneliti ini untuk membedakan jumlah tunjangan peneliti dan kewajiban yang harus ditunaikan. Dosen yang ingin mendapatkan tunjangan peneliti harus teken kontrak. Dosen2 yang tidak menunaikan kewajiban penelitian (publikasi ilmiah), tidak bisa mendapatkan tunjangan peneliti. Hal ini dengan sendirinya akan mereduksi dosen2 yg tidak produktif sekaligus meningkatkan statistik penelitian dan publikasi ilmiah.

    Jika kenaikan tunjangan diberikan berdasarkan jabatan fungsional, akan terasa tidak adil dan “salah kaprah”. Hal ini disebabkan untuk menjadi lektor kepala saat ini cukup sulit, harus membuat jurnal internasional dsb. Sementara para dosen yang sudah lektor kepala saat ini tidak pernah dievaluasi jabatan lektor kepalanya. Dengan bahasa lain, jafung lektor kepala dapat melekat seumur hidup sampai pensiun ,walaupun si dosen tidak melakukan penelitian atau publikasi ilmiah (ini permisalan yg ekstrim).
    Kenaikan tunjangan melalui jabatan fungsional ini juga dapat diartikan bahwa dosen tidak perlu ngapa2in untuk mendapatkan kenaikan tunjangan tsb. Mengapa? Karena tidak ada mekanisme “penurunan jabatan fungsional” sebagai konsekuensi (misalnya) dosen tidak pernah/jarang melakukan penelitian atau publikasi ilmiah

    Dosen juga tidak bisa selalu menyalahkan “keadaan” seperti ruang dan meja kerja. Memang, ini menjadi salah satu faktor penghambat kinerja dosen. Namun, tanpa adanya komitmen, dedikasi, integritas untuk menunaikan tugasnya sebagai dosen, fasilitas yang bagaimanapun bagusnya, sulit untuk teroptimalkan.

    Pendapat saya sangat mungkin salah besar. Mari kita berharap, semoga saja dengan adanya kementerian dan menteri yang baru, sistem pendidikan tinggi kita akan lebih maju.

    • Pak/Mbak Warga, saya rasa, apapun nomenklaturnya, kesejahteraan dosen mesti ditingkatkan. Ide dasarnya, dosen dibuat fokus bekerja, tanpa perlu resah memikirkan urusan perut, sekolah anak, dll. Dalam situasi sekarang saya tak bisa menyalahkan teman-teman yang sibuk mencari tambahan karena kondisinya memang mengharuskan begitu. begitu juga fasilitas, secara umum ini menghambat. Walaupun tentu saja, saya mengenal beberapa dosen yang luar biasa berdedikasi, menghasilkan karya-karya ilmiah internasional dari rumahnya. Ia juga membimbing mahasiswa di rumah. Ide utama tulisan saya adalah membenahi infrastruktur dasar bekerja dan juga meningkatkan penghasilan. Percayalah, dengan sendirinya kualitas maupun kuantitas riset kita meningkat. Nah, kalau ada yang masih begitu-begitu saja, dievaluasi dan mungkin tak cocok menjadi dosen.

      • Baik. Saya memahami problem tsb. Saya hanya menanyakan, setelah kesejahteraan meningkat, yakinkah Bapak jika kualitas dan kuantitas riset akan meningkat. Seberapa besar peningkatan tsb. Saya setuju dgn ide tsb. Tp jika sistem tdk dibenahi, pasti problem yg muncul seperti yg saya ulas sebelumnya. Contoh sederhana Sertifikasi dosen melalui SIPKD yg notabene unt meningkatkan kinerja dosen melalui peningkatan tunjangan. Apakah sudah ada kajian mengenai seberapa besar peningkatan riset melalui mekanisme sipkd? Jadi yang mau saya sampaikan di sini adalah, jika sistem msh seperti ini, kesejahteraan memang meningkat, tp kinerja peningkatan riset belum tentu.

      • Kalau saya sih yakin, karena kendala dosen memang utamanya dua hal: kesejahteraan (sehingga harus nyambi kesana-kemari) dan fasilitas dasar bekerja (harus bekerja: membimbing, baca, tulis, ngeprint, cari buku) dengan fasilitas sendiri. Tentu saja perlu memberi dana riset yang mudah terakses termasuk dana konferensi ke luar negeri yang nggak ribet di urusan administrasi, dan bangun ekosistem akademik yang serius. Kebetulan saya sedang sekolah di Jepun, jadi bisa melihat contoh yang cukup baik. Nah tentu saja setelah kesejahteraan meningkat mesti ada evaluasi berkala dengan standar yang ketat.Btw emang apa hubungan SIPKD dengan tunjangan?

      • SIPKD adalah sistem/mekanisme Bapak seperti yg saya ulas sebelumnya. Benang merah kita adalah peningkatan kesejahteraan. Yg sedikit membedakan adalah, Bapak Abdul Hamid menyederhanakan permasalahan, bahwa begitu kesejahteran diperbaiki, beliau berasumsi otomatis dosen akan dengan sadar meningkatkan kinerjanya dibidang riset. Saya termasuk yang menyoroti perbaikan mekanisme/sistem. Jika semua dosen seperti Anda (berkomitmen, berdedikasi, berintegritas), maka permasalahan adalah selesai. Tp jika sebaliknya, maka perbaikan kesejahteraan bukanlah solusi tunggal. Masalah kesejahteran dosen (gaji+tunjangan), saya rasa tidak ada standard yg dikatakan “cukup”. Jadi sangat mungkin jika tunjangan mencapai 3x gaji, namun bisa saja masih dikatakan “kurang” dan menjadi alasan bagi dosen untuk terus mencari penghasilan di luar.

      • Apa hubungan SIPKD dengan kesejahteraan? Sudah mengisi SIPKD? Apakah Mas Warga memahami betapa SIPKD adalah beban administratif dosen dan tidak berkorelasi dengan kesejahteraan? Apakah memperhatikan ramai dan paniknya para dosen mesti mengisi SIPKD dengan segala macam scan-an berbagai dokumen atas dasar ancaman tertentu? Apakah memahami bahwa SIPDK kemudian tumbang dan kemudian menjadi sesuatu yang tidak jelas? Kesejahteraan dan fasilitas kerja yang layak bukanlah faktor satu-satunya (mestinya ditulis dua-duanya) penentu peningkatan kualitas akademik (salah satunya riset), tapi faktor mendasar yang mesti diselesaikan sejak puluhan tahun lalu. Tentu saja ada hal lain: sistem rekrutmen, pembiayaan riset, budaya akademik, pengurangan beban administratif, penegakan etika, dan lain-lain. Jika anda tertarik menulis hal-hal tersebut, saya senang sekali membacanya 🙂

      • Oh iya, bisa saya tambahkan. Budaya, karakter, sikap hidup, di tiap negara bisa berbeda. Contoh, di Singapura, tanpa perlu pengawasan ketat, masyarakat sudah tertib mengantri, membuang sampah pada tempatnya, berlalu lintas dengan tertib. Bisakah hal ini diterapkan di Indonesia saat ini tanpa adanya mekanisme dan pengawasan. Kita belum mencapai itu, tapi dengan mekanisme yg tepat, pasti itu akan tercapai. Nah, analogi dengan hal tsb, jika di Jepang dosen diberi tunjangan besar + fasilitas akan berkarya tanpa perlu “diawasi” lagi, dapatkah serta merta diterapkan di Indonesia. Seperti yg saya bilang, jika semua Dosen seperti Bapak Abdul Hamid, pasti bisa tercapai. Jika tidak, maka mekanisme/sistem yg tepat tetap perlu digunakan sebagai variabel input untuk peningkatan kinerja riset disamping variabel kesejahteraan dan fasilitas penunjang.

      • Yups, saya sepakat, tentu saja instrumen evaluasi mesti ada, bahkan musti lebih ketat. Sekarang kan ada aturan ngawur juga, misalnya ketika diterima menjadi dosen, maka semua karya ilmiah yang dibuat sebelum menjadi dosen tidak dihitung. padahal inilah yang disebut portofolio. Seharusnya orang yang memiliki portofolio bagus di bidang akademik (misalnya pernah ngajar di MIT, atau papernya terbit di jurnal2 bergengsi internasional) tidak mesti berangkat dari nol lagi dalam jenjang jabatan fungsional dosen, bahkan jika layak, bisa langsung profesor. Masalah lain adalah batas kepatutan, ada batasan tertentu karya ilmiah tidak bisa dihitung karena melampaui jumlah maksimal. Lha ini kan aneh, super produktif malah diamputasi. Ada banyak persoalan yang mesti dibenahi. Rasanya “tone” kita sama, hanya beda pintu masuk saja. Saya memilih menguraikannya dengan mulai dari persoalan kesejahteraan. Salam.

      • Bapak Abdul Hamid, saya tahu dan merasakan bagaimana SIPKD. Tp itu hanyalah salah satu instrumen sistem yg bisa saja diganti dengan instrumen lain yg lbh tepat. Bapak dapat bayangkan seperti apa, jika tidak ada instrumen monitoring

      • Instrumen evaluasi dosen yang sudah tersertifikasi adalah BKD/LKD, bukan SIPKD. SIPKD adalah upaya membangun database dosen secara tersentralisasi, padahal sudah ada forlap dikti atau PDPT. Begitu kira-kira 😉

      • Forlap/PDPT sepertinya tidak merekam penelitian Bapak. SIPKD mengintegrasikan semua sistem informasi dikti (PAK, Forlap, SIMLITABMAS).

      • kebetulan sya bekerja di instansi universitas sebagai pengelola keuangan, saya heran kenapa dosen selalu merasa tidak puas dengan kebutuhan yang ia dapat, pada hal apapun yang dikerjakan dosen slalu ada honornya, mulai dari bikn soal, ngoreksi soal, pembimbng TA smuanya dibayar, kalau sya perhatikan itu udh jauh lbh dri tunjangan kinerja yang di daptkan oleh tenaga administrasi, dimana dari pagi hingga sore bahkan malam kami selalu berada ditampat dan yang diharapkan hanya gaji dan tukin yang smpai sekarang belum nyampai 50% di bayar, sedangkan dosen siap ngajar ya bebas untuk kemana2 tapi kami tetap selalu merasa bersukur dengan apa yang didapatkan karna kerja adalah ibadah. ingat lah kita tidak akan pernah merasa puas dengan pengahasilan selagi kita tidak bersukur. dan saya juga berharap pak nasir memperhatikan strukutr organisasi yang ada di kampus dimana hampir semua jabatan setruktural di pegang oleh dosen, sementra kami yang asli dari setruktural hanya jadi penonton, ini lah bentuk dari kerakusan yang saya perhatikan dari dosen sekarang ni. kalau masalh serdos belum merata di dapat sebaiknya lebih banyak belajar biar bisa lolos karna anda seorang dosen harus lebih pintar dari mahasiswa !

    • Pak warga… kami dos3n sudah pasrah… krn ketika pemerintah dlm hal ini kementrian yang dipikirkan pertama kalu adalah punisment serta aturan ini itu… dan ketika memberikan reward syaratnya harus A sampe Z… tanya kenapa…. silahkan tambah lagi kami beban yang buanyakkkk dan tidak usah pikirkan kami para dosen..krn mind set pikiran pimpiban kami seperti bpk…. yg hanya memikirkan sisi negatif ini itu. Dosen haram sejahtera… dosen haram tidak kerja..padahal banyak kerja yang dibawa pulang… ah sudahlah…bapak tidak akan mengerti, krn bqpak sudah dapat remun serta tukin… cukup absen saja, main game dll tanpa pernah membawa tugas kerumah….
      #pasti bapak mau bilang siapa suruh jadi dosen… sudah ah capek mengeluh terus.

  2. Saya sih setuju saja, ya kolaborasi ide dari abah & warga saya kira sangat bagus nantinya… sepanjang hak dosen dipenuhi dan kewajibannya di jalankan, tapi memang harus ada stimulator yang lebih baik untuk meningkatkan kegiatan riset serta monotoringnya…

    • Menurut saya, dua duanya harus berjalan bersama. Jika menaikkan gaji atau kesejahteraan tanpa diimbangi pengawasan atau perbaikan sistem akan banyak membawa dampak. Sebagian dosen masih belum memahami bagaimana seharusnya menjadi dosen, tapi dosen hanya mengjar di kelas. Kalau dosen hanya wajib mengajar di kelas, maka sebenarnya gaji dosen diindonesia termasuk gaji yang paling mahal diantara profesi lainnya. Coba kita hitung, jika ada lektor kepala bergaji 5 juta dan dia hanya mengajar 2 jam setiap hari, maka gaji perjammnya lebih dari 100 ribu.

      • Yups, sepakat. Kewajiban dosen ya bekerja di kampus, kecuali ada aktivitas (riset, seminar, dll) yang mesti dikerjakan di luar kampus. Dan bekerja gak cuma mengajar, tapi membimbing, meneliti, membaca atau menulis. Karena itu butuh tempat kerja representatif. Btw dari mana gaji lektor kepala 5 juta Pak? he he

      • Aamiin….Alhamdulillah banget bila bsa seperti itu….
        Maaf tugas dosen tidak hanya mengajar dikelas, ada Tri Dharma Perguruan Tinggi yg wajib dilakukan yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian, dari itu pula baru bisa untuk penilaian kenaikkan pangkat yang sekarang persyaratannya jauh lbh berat drpd sebelumnya. Kelihatannya 2 jam mengajar dikelas, tp 5 jamnya untuk penelitian, 5 jamnya untuk pengabdian, 5 jamnya untuk menulis. Tidak kelihatan bukan.
        Tahukah anda bahwa gaji dosen Indonesia paling rendah dibandingkan dengan negara2 lain. Dengan buruh di Jakartapun masih kalah bagi yg tdk dpt tunjangan apa2, apalagi yang sedang tugas belajar hanya gaji pokok tapi kita tetap bersyukur karena ini bukti pengabdian kita pada Bangsa. Terkadang berhutang dulu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dirumah, beasiswa blm cair2 beberapa bulan. Kita kelaparan di negeri orang tiada yang tahu, keluarga dirumah juga membutuhkan, sekolah, listrik, makan seadanya tiada yang tahu. Karena orang lain hanya memandang Wah Dosen Gaji nya Gede.
        Kita hanya ingin pemerintah memperhatikan kesejahteraan kita dari sudut pandang yang lain, atau coba saja mengikuti satu hari saja apa yang dilakukan seorang dosen dari kegiatannya bangun tidur sampai tidur kembali. Mungkin nanti bisa merubah pendapat anda. terima kasih

  3. Sip, pak Abdul Hamid. Saya pernah menulis di Group Dosen Indonesia (FB) tentang salah satu syarat perlu untuk majunya Pendidikan Tinggi di Indonesia. Kiranya pak Abdul Hamid berkenan membaca dan mengkritisinya 🙂 :
    https://www.facebook.com/groups/DiktiGroup/permalink/636120666398769/

    Berikut ini isinya:

    Saya pernah post tulisan berikut dua tahun yang lalu. Saya post lagi karena anggotanya banyak yang baru. Masih relevan sampai sekarang. Kalau ada tanggapan resmi dari DIKTI, kita akan senang sekali.

    Untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi kita, kita perlu mencari beberapa Prinsip Dasar. Yang berikut ini saya namakan “Prinsip Persaingan Pasar untuk Seleksi Alami Dosen dan Perguruan Tinggi”. Ini dia:

    Tentang kepegawaian dosen. Setelah saya amati, apparently di negara maju (juga China dan to some extent Malaysia) profesi dosen adalah profesi yang mirip dengan pemain sepakbola profesional. Yang bagus mengajar dan produktif jurnal akan diincar oleh universitas top dan ditawari gaji lebih tinggi. Yang tidak produktif akan tersingkir.

    Sistem seperti ini akan memicu manajer universitas untuk merekrut dan mempertahankan dosen/peneliti terbaiknya; kalau pihak universitas dianggap tidak fair (atau gajinya kurang tinggi) oleh dosen, tinggal hengkang saja, toh riwayat publikasi sudah jhoss, banyak universitas di dunia yang akan meliriknya. Dengan demikian sistem ini akan juga menjadi penyeleksi alami jumlah universitas: karena untuk membayar “David Beckham” tidaklah murah. Di sisi lain, dosen secara individual akan terpicu untuk meningkatkan kualifikasinya agar tidak tersingkir dan agar “bisa ditawari main di Manchester United”.

    Berpindah universitas di negara maju, tidaklah menggugurkan ke-Professor-an, kepangkatan, ataupun danapensiun seseorang (that is, “Cesc Fabregas pindah ke PSIM tidak memulai lagi dari bawah”). Malaysia saya kira mulai ke arah itu. Bandingkan dengan sistem Indonesia sekarang. Katakanlah, Univ X di Jogja butuh lecturer handal di bidang molecular biology: tinggal pasang iklan “Lecturer Position Vacant: PhD / Prof. in Molec. Bio.”.. Dan bukannya merekrut lulusan S1 jadi dosen dan diharapkan untuk sekolah molecular biology: ya kalau jhoss, kalau tidak hanya akan membebani keuangan Univ X.

    Bersamaan dengan itu, persons yang berkualitas sudah akan direbut oleh negara lain. Misalkan ada seorang professor usia 41 tahun yang sudah pengalaman menagajar dan riset di MIT dan NASA selama 15 tahun, ingin mengaplikasikan ilmunya di sekitar Asia Tenggara. Apakah sistem kepegawaian dosen indonesia memungkinkan UGM menerimanya? (“Kayaknya ndak bisa pak, sebab aturan PNS menyatakan bahwa…”). Tampaknya si professor keburu direbut oleh Universiti Kebangsaan Malaysia.

    Prinsip Persaingan Pasar ini saya pikir merupakan necessary condition, syarat perlu, (meski tentu saja tidak cukup) untuk memajukan Kependidikan Tinggi di Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan ada negara yang Kependidikan Tinggi nya bisa maju tanpa ada prinsip ini. Sekali lagi, ini adalah necessary condition, bukan sufficient condition.

    Bagaimana pendapat teman-teman?

    • Sepakat Mas Fajar Suryawan, mestinya begitu. Seleksi dosen sudah seharusnya berbasis kepakaran yang dibutuhkan, bukan sekedar formasi jurusan. Point tertinggi juga mesti diberikan kepada portofolio akademik seperti jurnal yang dihasilkan (dan disitasi), buku atau paten. Saya juga sepakat jika ada ruang bagi ilmuwan yang sudah jadi dan tidak memulai karir dari asisten ahli atau lektor. Kalau jam terbangnya sudah tinggi, mungkin bisa ke lektor kepala atau profesor.

    • Saya kira justru hal yg diangkat Bapak Abdul Hamid adalah permasalahan mendasar dosen dalam berkarya (riset, jurnal) yg disebutkan disebabkan kesejahteraan dan fasilitas penunjang. Kalo “sistem” sudah jadi, maka hal tsb yg Bapak Fajar uraikan dapat dijalankan.

  4. keren banget, ternyata suara saya sebagai dosen sudah terwakili oleh surat terbuka ini. selama ini saya sebagai dosen, belum mampu mengahsilkan riset dikarenakan persoalan jam kerja SKS saya yang melampui batas dan bekerja seperti layaknya karyawan, harus dimeja jam 8.00 pagi sd 16.00 sore. kapan saya bia meneliti dan pengabdian masyarakat. ini satu dari nasib dosen di indonesia, “miris dan ironis”

  5. Terima kasih utk tulisannya. Saya pribadi mendukung apa yg Abah sampaikan. Apalagi menyebut seorang Bunda Fitri. Semoga Pak Nasir bisa mewujudkannya.

  6. Mungkin cerita ini bisa mengilhami kita semua: ada seorang dosen PNS di PTN di jatim. Jam 07.30 hrs mulai ngantor. ngajar 12 sks, jabat kajur, lektor kepala, dengan tugasnya yang banyak. Ruangan jurusan untuk bersama, ada kursi dan meja, jam 16.00 pulang. selama 5 hari kerja. sepulang ke rumah ia harus membina pengajian TPQ di lingkungannya (o rupiah), malam hari mengisi pengajian di masjidnya (o rp), ceramah di majlis ta’lim (dapat berkat, biasanya), jum’at khotbah tiap bulan (0 rupiah, karena masjid desa). ia membina pesantren ( 0 rp), menghidupi anak istri, bayar listrik, sekolah, kesehatan, mencarikan gaji untuk guru yang ngajar di pesantren. (Berapa gaji dan tunjangan dia?) menerima tamu dan mengahadapi kendala ekonomi santri. Pagi hari harus siapkan materi ngajar. kadangkala harus menyiapkan penelitian, menulis jurnal ilmiah. Saya melihatnya dan saya hanya bisa berdoa semoga jadi pengabdi yang baik dan anak turun diberikan kemudahan rejekinya. Pelajaran yang bisa ditiru, mungkin tidak oleh semua orang…

  7. Salut dengan para pendidik baik guru maupun dosen. Bahkan istri saya jg seorang dosen yang baru menyusul pak Hamid ke Nihon, tepatnya Kanazawa.
    Masalah kesejahteraan materi memang relatif, tapi kami tetap bersyukur “semua kebutuhan hidup tercukupi , walaupun tidak semua keinginan terpenuhi”.

    #nice_article as always (y)

  8. Bapak Menteri Riset Teknologi dan Dikti Yth dan Pak Abah Hamid.
    Saya juga ikutan nimbrung tentang masalah Pendidikan Tinggi di Indonesia, khususnya Perguruan Tingg Suasta. Menurut pengamatan saya, sejumlah PTS dalam menyelenggarakan pendidikan menyimpang dari ketentuan/perundangan yang ada. Laporan yang disampaikan ke Dikti (termasuk PDPT) banyak dimanipulasi, sehingga seolah-olah memenuhi peraturan/perundangan yang ada. Dari manipulasi data tersebut pada tahun 2012, Dikti menemukan manipulasi data sejumlah dosen tetap pada 742 PTS, dimana guru yang sudah ikut sertifikasi guru diangkat menjadi dosen tetap oleh PTS tersebut. Ini hanya salah satu contoh manipulasi data dari banyak manipulasi data lain. Bisa dibayangkan, kalau lembaga Pendidikan Tinggi gemar melakukan manipulasi data, apa yang bisa diharapakan dari lembaga seperti itu? Sudah pasti penyelenggaraannya abal-abal (malpraktek di bidang pendidikan),Dapat dipastikan kualitas lulusannya juga abal-abal. Kapan Indonesia bisa bersaing dalam lingkungan global? Tapi banyak perguruan tinggi dengan licik memanfaatkan kelemahan masyarakat kita yang senang akan gelar (bukan mutu pendidikan), sehingga masyarakat gampang tertarik dengan iklan perguruan tinggi.
    Akibat lain dari manipulasi data adalah bayak program Pemerintah /Dikti ke PTS tidak maksimal bahkan salah sasaran. Pemerintah sekarang harus mengatasi masalah PTS ini, Jika tidak akan semakin menggerogoti daya saing bangsa yang sudah lemah ini. Hal ini saya ungkapkan mengingat jumlah PTS kita yang mencapai 2882 buah, dan jumlah mahasiswa 3.318.154 orang (59 % dari jumlah keseluruhan mahasiswa di lingkungan Kemdikbud, data PDPT pertanggal 5 Juli 2014).
    Terima kasih.

    Sederhana Sembiring, di Jakarta
    Mantan Sekretaris Pelaksana Koordinator Perguruan Tinggi Suasta Wil 1 Sumut-Aceh
    Periode September 2008 – Januari 2012

    • Mungkin sudah saatnya pemerintah menerbitkan aturan bahwa tidak boleh lagi ada dosen dari luar PTS mengajar di PTS yg bersangkutan. Ini untuk pembelajaran bahwa PTS harus memiliki dosen dari internal yg cukup. Pendirian PTS tdk bisa lg seenaknya dgn meminjam ijazah dosen2 dari luar. Serta dosen2 dari PTN yg berhamburan mengajar di PTS2 dengan cenderung mengabaikan tugasnya dalam penelitian. Karena fenomena yg terlihat adalah banyaknya dosen2 dari PTN nyambi ngajar di PTS bahkan menjadi pejabat di PTS. Aneh bin ajaib, dosen PTN yg digaji negara untuk memajukan institusinya malah mengabdi di PTS

  9. Sebenarnya gaji+tunjangan dosen saat ini berapa sih, sehingga selalu dikatakan kurang dan dijadikan alasan. Mari kita fair dalam berhitung. Jika selalu membandingkan dengan dosen negara tetangga, ya jelas saja selalu kurang. Tentu saja tidak fair jika hal tsb dibandingkan. Mohon dikoreksi jika salah, gaji+tunjangan+lain2 dari dosen saat ini sepertinya mencapai 6-7 jt/bulan (tergantung pangkat&masa kerja). Betul kata Mr.XXXX, jika seorang dosen tugasnya hanya mengajar saja, wow, gaji sebesar itu cukup besar. Yang dituntut kan reward unt penelitian. Karena itu usulan memberikan tunjangan peneliti dirasa masuk akal.

    • Jika prestasi dibandingkan dengan tetangga dalam bentuk jumlah riset dan ranking universitas, kenapa membandingkan pendapatan dianggap tidak fair? Saya ada beberapa tulisan tentang itu. Mau fair berhitung, saya akan hitung dosen masa kerja 10tahun dan belum serdos (yang jumlahnya 57% dari total dosen). Gaji pokok 2.8jt dan katakanlah masih lektor 3B 700rb, uang makan katakanlah full 500rb. Monggo dijumlah. Inilah kenapa dulu ada petisi soal tunjangan kinerja, lebih karena memperjuangkan mereka2 yang belum serdos. Lagipula tunjangan fungsional sudah 7 tahun tak dinaikkan. Di tulisan anda bisa bandingkan dengan tunjangan fungsional peneliti. Tidak usah malu, gengsi bicara hal ini karena memang ini salah satu akar persoalan. Di Jepang sekalipun diskusi soal salary menjadi diskusi menarik di kalangan profesor dan berkali-kali dimuat di media massa. Dan sejak kapan dosen kerjanya cuma ngajar?

      • Kalau blm serdos, memang sekitar 4 jt. Perhitungan di atas unt yg sudah serdos shg 6-7 jt. Dan, mohon maaf pak, Anda tdk cukup tahu “medan”. Masih cukup banyak dosen yang unsur penelitiannya sangat minim dikerjakan. Anda pernah melakukan riset berapa jumlah dosen khususnya Lektor Kepala yg betul2 melakukan riset? Rata2 dosen melakukan riset hanya untuk keperluan naik jabatan fungsional. Setelah sampai LK, dan sulit untuk ke Guru Besar, maka penelitian pun abai dilakukan karena tdk ada urgensinya lagi.Tp saya setuju dgn Anda untuk teman2 yg belum serdos

      • Mbak YYYY yang baik, ya saya memang gak pernah ke Medan, baru ke Lampung dan Bengkulu, pengen sih ke sana cuma belum sempat 😉 Tapi berkaca angka2 scimacgojr yang ada di tulisan saya, ya produktivitas peneliti Indonesia termasuk dosen di dalamnya memang rendah. Bukan cuma lektor kepala, tapi guru besarnya apa sempat riset beneran? bukan cuma numpang nama karena merasa senior? Ya inilah persoalan kita dan kenapa saya menulis surat terbuka ini. Tapi saya memang punya kebiasaan berprasangka baik kepada para kolega dosen, mereka sebetulnya pinter dan hebat2 kok, hanya saja mesti disibukkan aktivitas mencari tambahan penghasilan, tentu ditambah fasilitas dasar bekerja yang nggak tercukupi. Saya tertarik bikin riset seriusnya, nanti saya buat survey onlinenya di blog ini, tolong ikutan isi ya 😉

  10. Ada apa ini ribut-ribut soal penelitian. Mau penelitian dan jurnal 10 buah tiap tahun, eyank siap saja. Eyank tinggal penggil mahasiswa bimbingan skripsi, thesis, disertasi, trus eyank minta filenya. Eyank tinggal buat jurnal pake karya dan kerjaan mereka. Kan gampang. Jika masih kurang juga, eyank panggil dosen-dosen yunior yang sudah eyank anggap cucu sendiri. Eyank minta titip nama saja di penelitian dan jurnal mereka.
    Eyank sudah tua, ingin hidup damai menikmati tunjangan serdos dan tunjangan2 lainnya. Eyank tidak mau disibukkan dengan segala macam penelitian. SUdah tidak kuat lagi mikir.

  11. Betul Eyank, terima kasih masukannya. Saya membimbing TA mahasiswa cukup banyak. Jika tinggal copy file skripsi mereka dan membuat artikel jurnal menggunakan skripsi mereka, saya tidak perlu dipusingkan dengan segala macam penelitian. Jadi saya masih bisa mengajar di luar untuk mencari tambahan. Gaji saya sebenarnya cukup, hanya saja karena sudah dipotong sama pinjaman bank, jadi kurang terus 🙂

  12. Saya fikir jalan tengah adalah solusinya. Kinerja dosen perlu diukur dan ditingkatkan supaya bisa menjadi dasar untuk peningkatan keserjahteraan. Variabel dan alat ukurnya sdh diiimplementasi seperti presensi kehadiran harian, SIPKD, publikasi internasional dan sebagainya. Mestinya jika ini sudah berjalan dengan baik, penambahan tunjangan penelitian bisa menjadi faktor peningkat kesejahteraan. Persoalannya, daftar hadir dosen dan SIPKD belum betul-betul dipakai sebagai alat evaluasi kinerja sehingga banyak dosen yang enggan mengisinya.

    • Anda mungkin tidak tahu atau pura2 tdk tahu.Tahukah Anda jika banyak kecurangan dalam konsep absen harian. Dosen cukup absen, dan setelah itu kabur, entah pulang atau nyambi ngajar di luar atau kerja lainnya di luar. Jika perlu absen pulang, maka si Dosen akan datang lagi untuk absen sekali lagi. Apakah hal tsb yg Anda gunakan sbg variabel dan alat ukur kinerja??? Bisa saya katakan, daftar hadir tidak perlu lagi digunakan sebagai alat ukur. Tp cukup jurnal/publikasi (prosiding) sbg alat ukur kinerja. Mengapa beban mengajar tdk saya gunakan sbg alat ukur? Karena jg banyak terdapat akal2an dgn sistem kelompok (team) mengajar. Padahal yg mengajar hanya 1 orang saja, tetapi yg lain dapat SK mengajar juga.

      • Mulai SD, SMP sampai S3 pun anda kuliah di absen. Kenapa setelah jadi dosen anda anggap itu tidak perlu. Sistem itu dibuat untuk kebaikan, dan kalau itu juga diakal akali, itu oknum. Output mengajar dan publikasi memang harus tetap dijadikan kinerja, meskipun kata anda ada dosen yang hanya ada namanya di SK, tapi alhamdulillah di fakultas sy tidak ada lagi, karena dosen di SK kan setelah hasil rekapitulasi kelas selesai.

      • Jika kesalahan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, apakah Anda masih berpikir itu oknum?? Berarti sistem yang harus dibenahi/diganti. Anda tdk bisa hanya menjadikan fakultas Anda sbg patokan/rujukan, lalu mengatakan bahwa sistem itu sudah benar. Jangan naif. Coba lakukan evaluasi di beberapa PT, yg menerapkan absen sidik jari. Apakah berbanding lurus dgn kinerja (misal publikasi). Saya katakan (mohon maaf), Anda masih terlalu polos 🙂

      • Absen memang diperlukan. Tetapi tidak bisa digunakan sebagai alat ukur kinerja Dosen. Karena kehadiran itu adalah PROSES, bukan HASIL. Dalam penilaian mahasiswa, penentuan nilai akhir ditentukan oleh ujian akhir dan mid test yg digunakan sbg pengukuran kinerja mahassiswa. Absensi hanya memiliki persentase yg kecil dalam penentuan nilai akhir.

  13. ini lah perlu nya revolusi mental jadi mentalnya dosen di negeri ini juga harus berevolusi bila perlu para dosen bentuk sistem di kampus agak mirip negara cina semua sama gaji dosen sama jangan ada virus liberal di kampus nanti dosen ikut2an lifestyle nya mahasiswa.

    • Revolusi mental adalah konsep yg msh abstrak. Msh perlu implementasi dlm sistem yg konkret. JIka semua gaji dosen sama antara yg produktif dan tdk produktif, bisa dibayangkan bagaimana kelanjutan sistem tsb..

  14. Mas Abdul Hamid, perbandingan tunjangan fungsionalnya kurang fair ya.. Cuma dibandingkan dengan satu profesi yaitu peneliti. Seandainya dibandingkan dengan profesi lainnya seperti auditor, dokter atau profesi lainnya. Coba mas cari informasi dulu. Baru dapat ditarik kesimpulan, TUNJANGANNYA KURANG BESAR 🙂 Profesi lain pun sudah lama tdk ada kenaikan. Dalam pengertian saya, tidak hanya profesi dosen saja yg PNS, Tp saya tetap maklum dgn tujuan pokoknya unt minta kenaikan tunjangan fungsional

    • Saya bandingkan dosen dan peneliti karena tugasnya kurang lebih sama, bahkan dosen lebih berat karena selain meneliti – dituntut menghasilkan tulisan di jurnal ilmiah bereputasi juga mesti mengajar dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Lagipula dosen dan peneliti sekarang berada di satu kementerian. Jelas tho? Nah kalau anda tertarik membandingkan tunjangan fungsional berbagai jabatan fungsional silahkan baca di tautan ini, saya pernah menuliskannya: http://abdul-hamid.com/2013/11/28/kapan-kenaikan-tunjangan-fungsional-dosen/

      • Seorang dosen tidak hanya melakukan tugas menjagar mahasiswanya, dia juga dituntut untuk memajukan institusinya dengan melakukan penelitian dan melakukan diseminasi hasil penelitian lewat seminar-seminar, publikasi dan/atau mengaplikasikan hasil penelitiannya lewat kegiatan pengabdian pada masyarakat. Dari situ tugas seorang dosen memang tidak jauh berbeda dengan peneliti non dosen. Dalam hal ini saya berharap fungsional dosen dan peneliti sama karena berada di satu atap kementerian.

      • Betulkah Dosen lebih berat daripada peneliti? Tidak juga. Itu karena Mas adalah Dosen. JIka mas adalah peneliti, pasti berkata sebaliknya. Btw, mas tidak menyertakan tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, apoteker dsb). Dokter dan dokter gigi tunjangan fungsionalnya “cuma” 660.000 sejak 2007 (untuk level LEKTOR) dan 1.094.000 unt level Lektor Kepala) Masihkah MENGELUH? Masihkah berkata tugas dan tanggung jawab dosen BERAT?? Masihkah berkata SUDAH LAMA tunjangan dosen tidak dinaikkan?? Karena ternyata ada juga profesi lain yg bernasib sama (bahkan lbh rendah untuk level yg sama). Jelas tho?? INi saya kutip pernyataan dari laman tsb

        “Nah, ternyata tunjangan fungsional dosen ternyata jauh lebih kecil dibandingkan peneliti atau penyuluh pertanian dan tidak jauh berbeda dengan tunjangan jabatan fungsional lain baik yang bersifat keahlian maupun yang bersifat keterampilan. Karena sudah berumur cukup lama, sekitar enam tahun, rasanya perlu kiranya perpres 65 tahun 2007 ditinjau ulang dan besaran kenaikan tunjangan fungsional dosen dinaikkan, setidaknya besarannya setara dengan jabatan fungsional peneliti.”

        Masalah satu kementerian, itu kan baru saja terjadi, sebelum tulisan mas yg sudah banyak diposting. Tp sekali lg saya paham, jika tujuan akhirnya adalah kenaikan tunjangan fungsional. Saya tetap mendukung. Hanya saja jangan lah melalui membanding2kan. Kok kesannya kurang bagus. Karena terlebih trnyata ada juga profesi lain yg lbh kecil tunjangannya drpd kita, namun tidak banyak protes 🙂

      • Ya saya ndak bandingkan dengan yang lain karena yang satu rumah adalah peneliti. Soal siapa lebih berat, ini soal fungsinya, saya udah jelaskan. Nah, kalau memang tenaga fungsional lain merasa kurang mendapatkan tunjangan secara layak, jawabannya bukan beryukur atau syukurin atau melarang fungsional lain yang sedang berjuang untuk berhenti, itu namanya mental kepiting, saya pernah tulis ;). Kalau merasa didzolimi ya berjuang. Begitu lho kira-kira, jelas tho?

      • Itulah mas kalo berpikiran sektoral, Selalu saja merasa “sakit”, “dizhalimi”, “sengsara”, “menderita” jika dibandingkan profesi lain. Saya cuma ingin mengajak berpikir lbh terbuka lintas profesi. Karena yg PNS bukan dosen saja. Kalo mas nya merasa dizhalimi, kenapa ga cari kerjaan di luar dosen aja mas (berhenti jadi dosen). Misalnya melamar jadi peneliti.. 🙂

      • Kalau mau bicara sektoral, silahkan datang ke kemenkeu dan bertanya kenapa tunjangan kinerja mereka jauuuh lebih tinggi dibanding PNS lain. Sudah ada kok beberapa dosen yang berhenti dan memilih di dunia swasta atau mengajar di luar negeri, jangan khawatir. Saya sendiri sih ndak kahwatir sama nasib sendiri, dalam beberapa tahun ini insyaAllah sudah akan guru besar. Yang saya khawatirkan soal nasib pendidikan tinggi kita yang tertinggal (tolong dibaca secara utuh idenya) dan 53% dosen yang belum tersertifikasi. Jika anda nggak sanggup atau ndak punya nyali untuk memperjuangkan diri atau kelompok sendiri, mungkin sebaiknya ndak menghambat orang lain berjuang, itu sikap inlander banget, he he. Btw thanks menjadi pembaca setia blog ini ya

      • Ha2xx.. Itu juga yg saya lihat dari sikap mas yg secara mudah men-judge dan “mengata2i” pihak lain. Saya tidak menghambat pihak lain (komentar mas tsb sangat lucu dan terlihat tdk mencerminkan kedewasaan dlm berbeda pendapat. Ingat, mas kandidat Doktor lho.. ) Hanya saja jangan terlalu over-value menilai diri sendiri dan profesi sendiri. Selamat deh proyeksi guru besarnya. Nanti jika sudah menjadi guru besar, tolong berprestasi menghasilkan karya ilmiah yg banyak ya. Jangan hanya selalu kerjaannya mengkritisi, nanti malah jadi pengamat yg kerap tambil di TV dan malah lupa terhadap tugas pokoknya 🙂 Ide pokoknya adalah bagaimana orang2 idealis seperti mas mampu bekerja dan produktif dalam realita kondisi yg tidak ideal yg ada di negara kita.

      • Sikap seperti Mbak Asalaja bisa dipahami kok, inilah salah satu alasan kenapa lama sekali Indonesia dibawah kolonialisme 😉 Terima kasih kalau terhibur oleh pendapat saya. Bersikap kritis adalah salah satu keharusan orang berpendidikan dan dewasa, bukan sebaliknya. Begitu juga soal kesadaran menilai value diri sendiri dan profesi. Ada banyak orang yang merasa under-value terhadap diri dan profesinya, ini biasanya berasal dari ketidakpercayaan diri atau mungkin kesadaran buruknya kapasitas dan kinerja diri sendiri, atau memang nggak punya nyali dan pengalaman organisasi. Atau bisa jadi yang terakhir: diam-diam menikmati kekisruhan karena hal baru (sistem, penggajian berbasis kinerja, dll) bisa mengancam personal interestnya. Soal karya ilmiah, terima kasih masukannya. Dalam dua tahun saya cuma menghasilkan tiga jurnal internasional, masih kurang banyak untuk jadi dosen yang baik. Soal jadi guru besar, ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari, itu cuma jenjang karir toh, yang bisa diprediksi dan diikuti segala persyaratannya. Saya memang merancang mendapatkannya di usia 36, tapi ada aturan baru dikti musti bekerja 10 tahun jadi dosen, jadi baru bisa didapatkan kira-kira di usia 37. Orang-orang baik dan idealis bukan cuma mampu bekerja dan produktif dalam kondisi tidak ideal, tapi mesti merubah situasi tersebut jadi ideal. Ini ide pokoknya.

      • Ha2xx.. Good job. Boleh tahu ga, jurnal internasional itu didapat ketika sedang S2/S3 atau ketika masih jadi dosen (belum mengambil doktoral). Karena ketika saat sedang studi doktoral/magister, mempunyai sejumlah jurnal internasional adalah hal biasa (karena biasanya dijadikan syarat untuk S3/S2-nya). Nah, ketika mas masih jd dosen biasa, mas punya banyak jurnal internasional, itu memang luar biasa. Tp btw, saya suka dgn gaya mas yg punya tekad kuat. Ok deh, kita tunggu karya2nya.. 🙂

      • Wah Mbak Asalaja pasti pinter banget. Iya, karya saya memang masih sedikit, ada yang dibikin ketika kuliah, ada yang ketika belum kuliah. Ini hal biasa, pertanggungjawaban profesional memilih karir sebagai dosen. Cukupan lah untuk menilai diri saya secara pantas. Kalo penasaran, monggo dilihat, profil saya bisa dibaca di blog ini kok. Trims ya sudah suka sama tekad saya 🙂 mampir terus ke blog ini ya.

      • He2xx. Bukan masalah pintar atau tidak. Memang problemnya adalah, dosen menjadi sangat produktif ketika masih sekolah (S2, S3). Tp ketika terjun ke dunia real, ngajar kembali, ngurus keluarga, ngurus kampus, maka minat dan waktu untuk menulis jurnal internasional jd minim. Itulah yg saya bilang, jika masih studi, adalah hal biasa saja menghasilkan 3 atau 4 jurnal internasion. Tdk ada yg perlu dibanggakan. Namun menjadi luar biasa jika sudah menjadi dosen kembali tetap produktif. Salam

      • Sudah baca jawaban saya kan? masak sih menghasilkan 3 atau 4 jurnal biasa saja? anda pasti orang yang luar biasa pinter. waktu kuliah memang terbit berapa jurnal? justru mestinya mikir, kenapa waktu kuliah bisa terbit jurnal internasional sedangkan ketika balik ke kampus tidak produktif? pernah mikirkan hal itu?

      • Sudah baca juga kan penjelasan saya.. Bukan masalah pintar atau tidak. Kan saya komparasinya dengan ketika aktif kembali di kampus, dimana jadwal penuh dgn skedul ngajar, urusan keluarga, urusan di kampus.. dan segala macam urusan lainnya. Maka ketika masih bisa menghasilkan jurnal internasional itu menjadi luar biasa. Salam

      • Ha ha. Gitu ya. Itu pertanyaan yang saya sampaikan ke M Nuh. Saya bilang dosen Indonesia pinter-pinter, karena ketika studi di luar bisa nulis, baca, riset tanpa perlu mikirkan cari tambahan. Ada tempat belajar termasuk perpustakaan. Gak ada buku tinggal mengajukan ke perpustakaan, dicarikan atau dibelikan. Begitu balik, yang dipikir adalah mencari tambahan penghasilan. Mau kerja ndak ada meja. cari buku di perpus juga ndak ada. Betul, orang-orang luar biasa yang masih berprestasi dalam kondisi demikian. Saya bertemu dengan beberapa, dan yakin masih banyak yang lain. Jika sistem bisa diperbaiki, Indonesia nggak kalah kok. Itu kalau pendidikan tinggi memang mau dibenahi.

      • Smoga semuanya terus menjadi lebih baik. Saya optimis, dengan usaha pemerintah dan disertai dengan tanggung jawab sbg dosen, pendidikan tinggi kita akan semakin maju.. Salam

  15. mas saya dapat bisikan dari pak nasir…..

    katanya mosok gaji pokok + tunjangan fungsional + tunjangan sertifikasi + honor ngajar D3 + honor ngajar S2 masih kurang ??? katanya kalau ditotal bisa 15 juta lebih……

    katanya lagi bersyukur mas, jangan lihat keatas terus, sekali kali lihat dibawah, berapa gaji dosen pts, guru honorer…

    katanya lagi kalau banyak bersyukur pasti nikmatnya akan di tambah…..

    rgds,
    bekas muridnya pak nasir undip

    • Wih apalagi jadi konsultan dimana-mana, jadi komentator di televisi, dll. Maka yang saya gambarkan di tulisan menjadi sebab pendidikan tinggi kita ndak bisa bersaing. Semoga setelah baca tulisan saya pikiran Pak Nasir menjadi lebih terbuka. Itu kalau jalan pikirannya seperti yang anda sampaikan lho 😉

    • mohon maaf mas. tidak semua dosen PTN memiliki kesempatan mendapat tunjangan sertifikasi + honor ngajar D3 + honor ngajar S2 + honor lain-lain. mungkin pejabat seperti p nasir yang memiliki kedudukan tinggi dalam manajemen diam saja pun honor akan berdatangan

  16. Saya tidak terlalu yakin apakah tulisan2 ini akan dibaca terlebih ditindak lanjuti oleh pemegang kebijakan pendidikan tinggi. Tapi baiklah,saya mencoba untuk memberi coretan yang semoga saja menjadi masukan.
    Saya tertarik dgn tulisan dari P Abdul Hamid mengenai penelitian yg minim. Terdapat beberapa faktor yg sebagian besar juga telah dipaparkan teman2 sebelumnya:
    1. Kemampuan/kompetensi dosen dalam meneliti
    Tdk semua dosen yg mempunyai kemampuan meneliti.
    2. Keengganan dosen dalam meneliti
    Beragam penyebab yg menimbulkan kemalasan/keengganan tsb. Dosen hanya meneliti jika akan usul
    kenaikan jafung. Apalagi serdos sekarang tdk lagi dievaluasi unsur penelitiannya. Faktor lainnya adalah, sistem yg permisive, sehingga ada2 saja alasan dosen menghindari penelitian. Mungkin sudah saatnya dikti memaksa dosen unt meneliti. Tentunya dgn monitoring yg tepat dari pusat. Karena jika monitoring diserahkan ke masing2 PT, tdk akan ada jaminan monitoring akan dilaksanakan dgn fair.
    3. Akal2an dosen dalam meneliti
    Ini sebagai akibat dari faktor 1 dan 2, sehingga dosen mengambil jalan pintas. Banyak cara yg dilakukan, tp pada umumnya adalah mengemas kembali skripsi, thesis, disertasi, atau karya2 ilmiah mahasiswa lainnya untuk diajukan menjadi paper para dosen. Harus ada edaran dari menteri yg melarang dgn tegas karya2 ilmiah mahasiswa diambil menjadi paper dosen. Jika tidak, celah untuk menghindari penelitian menjadi sangat terbuka.
    4. Unsur2 administratif dalam pelaporan keuangan untuk penelitian2 hibah sudah saatnya dihilangkan. Dosen tdk perlu lagi dipusingkan mencari2 kwitansi, menghitung2 pajak yg sangat merepotkan,dsb. Ada baiknya dikti cukup mengawasi output yg dihasilkan (misalnya jurnal, prototype, model dsb). Seyogyanya juga pajak penelitian dihilangkan (untuk honor peneliti dan pembelian peralatan), guna memberi peluang bagi dosen meningkatkan kesejahteraan lewat penelitian.
    5. Anggaran penelitian ditingkatkan. Edaran dikti yg menyatakan bahwa BOPTN penelitian minimal 30% dari dana BOPTN sudah saatnya direvisi. BOPTN penelitian sudah saatnya minimal 60%. Ini untuk meningkatkan penelitian dan insentif publikasi bagi dosen.
    6. Dibandingkan dengan peningkatan tunjangan fungsional, saya lebih setuju peningkatan kesejahteraan dosen lewat mekanisme tunjangan peneliti. Secara langsung dan signifikan akan meningkatkan jumlah penelitian.

    Demikian, semoga jumlah peneitian dosen kita ke depan tidak akan kalah lagi dengan negara2 tetangga

  17. Saya sangat mendukung usaha Bapak untuk perbaikan kesejahteraan dosen, tapi kalau melihat komentar2 yang bernada ironi, saya kok jadi pesimis ya dengan usaha tersebut. Apalagi bisikan pak menteri kpd p.edm 135 menurut saya seperti sebuah sinyal penolakan. Mungkin ada sedikit usulan yang katakanlah realistis dengan situasi ekonomi sekarang. Mungkin Tridharma PT perlu diredusir menjadi Ekadharma PT, maksud saya tugas dosen direduksi menjadi seperti guru yang hanya mendidik atau mengajar siswanya atau dosen hanya melakukan keg. pembelajaran saja tanpa penelitian dan pengabdian. Tugas penelitian dan pengabdian masyarakat dilakukan oleh para peneliti kita. Saya yakin sekali kalau sudah spesialisasi seperti dosen mengajar sedangkan peneliti melakukan tugas sebagai peneliti hasilnya kita harapkan lebih baik. Mari kita serahkan penelitian kepada para ahlinya yaitu para peneliti kita di LIPI, BPTP dll. Ini akan lebih baik dan kemungkinan tuntutan kesejahteraan yang digaungkan oleh para dosen bisa diredam, karena tugas dosen jauh berkurang.

  18. Suratnya bagus
    .tp tdk mncerminkan anda yg pintar.sy sbg tendik dr diam saat kalian dpt serdos …giliran kami dpt tukin kalian opyak2 minta…. Ga malu ..?
    Kami tendik fungsional umum hanya dpt: gaji, uang makan, tujin yg sendlup tnpa tunjangan
    Kalian dpt serdos gaji tunjngan honor ngajar penelitian honor bikin soal honor lain2 kok msh kurang wae ? Gak malu…….km tendik sll bersyukur dgn apa yg diberikan ….malu ah dng panggilan abah….
    Suwun…

    • Mas Didit itu abdi negara yg baik sll bersyukur dgn apa yg diberikan ya mas …
      Tapi saya baca judul artikel ini “Surat Terbuka untuk Pak M Nasir, Menteri Riset dan Dikti” .. lho Pak
      🙂

    • mas didit diwajibkan penelitian atau ga seperti halnya dosen (tri dharma). Mas didit disuruh ngajar ga. Mas didit diwajibkan pengabdian kpd masyarakat ga. Kl gitu, ya diem aja mas, ga usah komentar… Suwun

  19. MEMANG BETUL PEKERJA PERGURUAN TINGGI NEGERI (DOSEN, LABORAN, TEKNISI, ADMINISTRASI) TIDAK SEJAHTERA, DI JAKARTA GURU SD BISA BERGAJI 16 JUTA, DOSEN 5 JUTA, BEGITU PULA LABORAN TEKNISI DAN ADMINISTRASI, SEAKAN AKAN PEMERINTAH MEMBIARKAN KALAU SEMUA PEKERJA DI PERGURUAN TINGGI SURUH CARI TAMBAHAN SENDIRI SENDIRI, KALAU DOSEN YA PENELITIAN, MESKI ECEK ECEK YG PENTING BUAT TAMBAHAN DAPUR NGEBUL, LALU GIMANA LABORAN, TEKNISI DAN ADMINISTRASI, APA YANG BISA MEREKA OBYEKAN UNTUK MENCARI TAMBAHAN BIAR CUKUP MAKAN UNTUK 1 BULAN? SELAMA INI YG MAPAN YA HANYA REKTOR DEKAN DAN KEPALA BIRO, DILUAR ITU MASIH KANGKUNG AMA TOUGE, MOHON PERHATIAN PAK NASIR, ANDA MENTERI YANG PALING TIDAK TERLIHAT HASIL KINERJANYA, APAKAH ANDA BINGUNG, JIKA IYA AJUKAN PENGUNDURAN DIRI SAJA SEGERA….

  20. Assalamualaikum
    Terimakasih saya mengucapkan kepada semua yang telah menyampaikan pendapatnya masing-masing saya sangat menghargai mereka sudah mengeluarkan energi untuk menyampaikan pendapat ini lebih bagus dari pada pendapat yang sangat energik itu tidak disalurkan bisa meledak kalau tidak malah mengendap. Dalam rangka untuk mencari solusi terbaiknya bagaimana ? saya hanya ingin berbagi sedikit soal tugas dosen. jujur kami (mungkin tidak semua )ini terlalu dibebani soal administrasi, sehingga kurang fokus dalam menjalankan Tri dharma PT. Salah satu keberhasilan / kinerja dosen mungkin bisa ditunjukkan dari keberhasilan para mahasiswa ,yang ditunjukan dengan nilai / indeks prestasi mahasiswa atau hasil penelitian mahasiswa yang masuk ke jurnal atau media publikasi itu jelas nyata, lalu hasil penelitian dan pengabdian. kepada masyarakatnya dosen itu. Itu mungkin salah satu solusi untuk tetap mengemban tridarma perguruan tinggi. dan saya kurang sependapat dengan dosen kembali seperti guru. Lalu apa bedanya dosen dan guru. ya walau benar kalu dilihat pangkat dan golongan sama. Terimakasih Salam

  21. Kesimpulannya adalah KESEJAHTERAAN, dari semua pengabdi Negara mestinya Guru dan Dosen yang diberi kompensasi paling besar… dulu guru dan dosen sangat di hormati krn di pedesaan hanya guru yang memiliki TV atau lampu listrik,. mereka terhormat krn profesinya berkorelasi dengan kesejahteraanya… skarang dosen pake motor butut, mahasiswa pake Yaris.., dosen masuk ruangan dengan sepatu basah.. mahasiswanya asyik BBM an, di foto dan share lagi…
    Sekarang kita bandingkan dengan PNS lain… Pegawai Pemda saja setiap ada urusan luar daerah dibiayai oleh Pemerintah (SPPD) dosen mana ada SPPD malah di mintai kontribusi…

  22. Rupanya masih banyak warga negara indonesia, apa pekerjaan dosen di kampus masing-masing. Rupanya masih terinspirasi denga guru TK, hanya mengajar dan ngoceh menghadapi anak didiknya. Setelah itu duduk bersila dirumah masih-masing. Kemudian masih juga terinspirasi guru TK, bagaimana dosen mengajar. Mengajar tidak sama dengan menyampaikan seperti tukang obat menjajakan dagangannya. Intinya banyak pekerjaan dosen yang tidak kasat mata, karena pekerjaannya berhubungan dengan pikirannya, tidak berhubungan dengan ototnya.

  23. Saya tertarik untuk ikut serta sharing berkaitan dengan Surat Terbuka di atas … Pada umumnya, soal keinginan meningkatkan status dan mutu, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia … 1000 % saya setuju …

    Tetapi terkait dengan usulan agar dihapusnya 35 % hak Menteri dalam Pemilihan Rektor …
    Sejujurnya kita setuju Menteri tidak usah ikut campur soal Pemilihan Rektor itu …
    Tetapi itu sesuatu yang tidak ADIL …

    Betapa tidak, justru Rektor (terpilih) lah yang menjadi OTORITER kemudian …
    Rektor (terpilih) seenaknya menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk melakukan
    marginalisasi terhadap orang-orang lain yang berbeda faham, sudut pandang, bahkan suku dan etnik …

    Ini terjadi di banyak PT kita di negeri ini …

    Menteri memang sebaiknya tidak usah cawi-cawi …

    Tetapi Menteri juga harus melihat keadaan di lapangan … supaya tidak ada rezim rezim yang nongol
    di beberapa PT di negeri ini …

    Oleh karena itu, maka selama belum terciptanya suasana demokratis yang kondusif di sejumlah PT,
    maka hk Menteri 35 % itu masih relevan …
    Cuma jumlahnya mungkin dikurangi, antara 25 % sampai 35 % …
    Interpretasinya pun harus benar senilai itu … Misalnya jika jumlah anggota Senat yang ada
    tercatat 40 orang, maka jika 30 % Menteri hanya memiliki 16 suara
    Selebihnya digabng dengan suara Senat yang ada, yang 40 orang itu, totalnya menjadi 56 orang …

    Tahun lalu, ada PTN melakukan pemilihan Rektor, di mana senatnya tercatat 44 orang.
    Anehnya, suara yang dimiliki Wakil Menteri di atas 30 orang, lebih dari 45 % …
    Ini akibat tafsir yang keliru, ketika mereka menafsirkan suara menteri ada 35 % dari total anggota
    senat …

    Ini mungkin yang harus dicermati lebih jauh …

    Tetapi ketika Rektor terpilih juga melepaskan motivasi dari interventi pribadi dalam Pemilihan
    posisi lain, mulai dari Wakil Rektor, Dekan, dst nya … maka tidak ada pilihan lain
    kecuali Menteri pun ikut serta menatanya dengan baik …

    Salam Indonesia ….

    • Persoalannya adalah, apa dasar dari kemana 35% suara mengalir. Apakah Dikti melakukan fit and proper test secara terbuka dengan ukuran2 yang bisa diukur? Atau atas dasar lobby-lobby politik dan kedekatan tertentu?

  24. Surat P2M dikti terbaru justru mengindikasikan peneliti tidak boleh mendapat honor dari penelitian yang dananya bersumber dari Hibah Pemerintah (dalam hal ini Dikti) karena merupakan bagian kewajiban dosen untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi.. Mohon Pak Hamid cermati surat dikti di simlitabmas tanggal 18 mei 2015.. Saya ingin Bapak berpendapat tentang hal itu dan kita, para dosen di Indonesia, perlu membuat sebuah langkah bersama untuk mengatasinya. Trm kasih.

  25. Pak Hamid, saya juga hendak berbagi dengan pak tetapi ini tidak terkait dengan kesejahteraan dosen. Saya ingin mendapatkan tanggapan pak menyangkut pengangkatan rektor yang disebabkan terjadi kekosongan dalam jabatan rektor yang disebabkan oleh pemberhentian. Dalam Permenristekdikti nomor 1 tahun 2015, pasal 11 ayat 1 disebutkan: “Apabila terjadi pemberhentian rektor sebelum masa jabatannya berakhir, Menteri menetapkan salah satu Pembantu rektor sebagai rektor untuk meneruskan sisa masa jabatan rektor. Tetapi dalam pelaksanaannya, apabila terjadi pemberhentian rektor, Menteri kemudian mengangkat seorang Plt (pelaksana tugas) rektor. Hal mana jabatan Plt kalau mengacu pada surat Kepala BKN Nomor K.26 tahun 2001, maka Plt rektor tidak dapat menandatangani surat-surat seperti DP3, SK yang juga termasuk Ijazah. Dalam Permendikbud 33 tahun 2012, memang ada menyebutkan bahwa bila terjadi kekosongan jabatan rektor, maka Dirjen Dikti dapat menetapkan Plt rektor. Kemudian dalam ayat berikut dalam Permendikbud 33 itu, disebutkan pula Menteri menetapkan salah satu Pembantu rektor sebagai rektor definitf utk masa jabatan paling lama 1 thn (Walaupun Permen ini tidak lagi berlaku karfena diterbitkannya Permenristekdikti 2015). Dengan kebijakan Plt ini telah menyebabkan beberapa keresahan di beberapa PTN terutama terkait dengan keabsahan ijazah. Saya kuatir kalau tetap diijinkan dengan surat Dirjen seorang Plt rektor boleh menandatangani ijazah, bisa ijazah tsb dikategori sbg ijazah “Aspal, asli tapi palsu”. Bagaimana menurut pak Hamid? Terima kasih untuk kesediaan memberi pandangan.

    • Maaf sekali kalau terlambat membalas. Saya mau melihatnya dalam dua kasus, UI dan Unsoed. Dalam kasus UI, tidak ada Plt, yang ada Pjs Rektor UI, awalnya dijabat Djoko Santoso dan dilanjutkan oleh Prof. Anis sebelum akhirnya pemilihan dan Prof. Anis menjadi rektor definitif. Nah dalam kasus Unsoed, masa jabatan Plt juga hanya 2 bulan karena kemudian PR1 diangkat menjadi Rektor definitif oleh Kemendikbud. Jadi memang tegrantung seberapa cepat Senat mengusulkan nama-nama calon rektor pengganti ke Kementerian. Salam.

  26. Saya adalah PNS Non Dosen di salah satu PTN di negara ini yg sdh bekerja lebih dari 10 thn, persoalan kesejahteraan yg anda muat itu klise. kami semua tau bahwa kalian para dosen memiliki kelebihan lebih banyak dalam hal menghasilkan duit di dalam atau diluar kampus dibandingkan kami,baik itu dosen junior APALAGI yg senior. jadi iri kebanyakan dari kalian (para dosen) perihal tunjangan remunerasi yang kami terima adalah rutinitas basi yg saya dengar di kampus. Jadi saran saya utk mu, banyak – banyak lah belajar bersyukur atas nikmat Nya yg diberikan padamu, pelajaran syukur ini memang gak ada angka kreditnya,tapi bisa memperbaiki hatimu.

  27. Ass…pak abdul hamid, saya PNS guru SMK di Bima. mohon diberikan informasi beasiswa S3 untuk guru dalam dan luar negeri bapak. saya kepingin sekali kuliah Doktor tetapi yang beasiswa. terima kasih banyak mau berbagi. alamat email saya: argubi_hidayat@yahoo.co.id

  28. Salam perjuangan,

    Sy dosen salah satu perguruan tinggi swasta di Sultra. Telah memiliki Japun AA sejak 2014. Konsekuensi dr itu, telah saya ketahui, termasuk dgn berhak menerima tunjangan akademik sesuai dgn ketentuan (3ratus rbuan untuk AA). Selama ini, sy dan kawan blm pernah menerima tunjangan tersebut, mohon pencerahan apa yg harus dilakukan

  29. Begitu banyak komentar yg positif tapi belum ada yg mendasar. Kelemahan dosen kita sudah mulai dari maraknya obral nilai di PT masing-masing. Nilai A begitu mudah didapat. Kemudian seperti yg terjadi di segala lini, masalah rekruitmen dosen. Penerimaan dosen sudah penuh kong kalikong sehingga yg masuk bukan yg bermutu (akademik dan moral). Selanjutnya adalah masalah penguasaan bahasa Inggeris. Mari jujur sama-sama mengakui kenyataan itu. Kita sangat jauh beda dg penguasaan English di Malasya dan Singapur. Bagaimana kita bisa publish cepat kalau hanya menulis Englishnya butuh berbulan-bulan yg bagi orang Singapur hanya perlu 3 hari. Kalau mau konsisten jumlah publikasi dosen menjadi kriteria, syarat dosen harus minimal TOEFL Internasional (jangan abal-abal) 500. Ingat untuk test ini butuh dana. Ada bilang untuk sejarah tidak perlu English, pendapat itu keliru. Oh untuk Agama tidak perlu English, itu kelitu.
    Jujur, ketika tanpa serdos (dulu) dg sudah serdos sekarang apa yg beda. Kerajinan kayaknya sama malah menurun. Koreksi ujian mhs, dulu kertas ujian dibalikin ke mhs, sekarang malah tidak lagi karena alasan malas.
    Jujur, beli buku teks dan jurnal. Apa beda sebelum dan sesudah SERDOS? Kayaknya sama. Yg beda sekarang dg uang serdos bisa nyicil kenderaan roda empat. Tapi produktivitas (paper dan persiapan kuliah) tetap sama.
    Jadi ini bukan masalah kesejahteraan dosen semata. Tapi ini masalah karakter, tabiat, moral.
    Kesimpulan: Kesejahteraan perlu dinaikin (dosen minimal 8 juta per bulan), tapi TOEFL internasional (bukan abal-abal) setiap dosen minimal lah 500 supaya layak disebut dosen. Kalau TOEFL sudah 500 kayaknya menulis 1 paper internasional sudah cukup waktu 14 hari. Fasilitas lab perlu dinaikkan supaya hasil riset kita layak publis. Setiap Universitas harus melanggan online jurnal-jurnal internasional. Minimallah 1 Universitas 100 jurnal online.

  30. Jadi bgmn kbr prrubahan tunjangan jabfung dosen sp hari ini? Apakah sdh ad kbr mnggrmbirakan atau masih kbr angin surga? Mngingat sdh 2016 (9thn), atau brgkali nunggu 10-15 thn ya br ad kbr mnggmbirakan? Apa kbr pula tukin utk dosen? Sbb miris jg dengr cerita kawan2 dosen blm sertifikasi aplg baru cpns/pns bergaji jauh lebih rendah dari cpns/pns staff kampus lulusan d3/s1 yg sdh otomatis dpt tukin.

  31. Dosen tetap non pns universitas halu oleo kendari sangat memprihatinkan, gaji yg dijanjikan 3 jt yg dibayarkan cuma 1.5 juta. Gaji kadang di rapel 3 bulan diterima setelah tgl 17. Dengan tugas menjalankan tridharma ditambah staff administrasi dari jam 8 pagi hingga pukul 4 dan 5 sore. Mirisnya dunia pendidikan di UHO dengan berbau politik.

  32. Surat terbuka ini belum sampai ke Menteri Ristek Dikti yang dituju. Sudah hampir 4 tahun PTN berganti dibawah kementrian ini namun hasilnya begitu2 saja. Perlu dikirimkan inbox atau surat langsung ke rumah beliau. Mudah²an di akhir jabatannya, Allah taala membuka pintu hatinya dan segera sadar jeritan dosen di Indonesia.

Tinggalkan Balasan ke Xxxx Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.