Tulisan bagian pertama, sebetulnya tidak bermaksud mempersoalkan kehati-hatian. Justru mendorong lebih hati-hati dan konsisten dalam kehati-hatian. Barusan saya sholat di Mesjid Kyoto. Selain untuk sholat dan kegiatan ibadah yang lain, lantai atas mesjid dipakai untuk menjual barang-barang halal, Halal Muslim Coop. Selain itu terdapat beragam bumbu dan bahan makanan dari berbagai negara muslim seperti beras basmati, bumbu bamboe sampai sirup marjan.

11666140_10153502676569015_2893299189455117488_n

Jadi pulang dari mesjid habis sholat jumat biasanya pada bawa kresek tentengan.

***

Tapi saya mau masuk ke hal yang kedua dalam aspek halal-haram ini.

Jika umat islam bisa begitu hati-hati terhadap halal-haramnya zat yang terkandung dalam makanan, apakah mereka memiliki kehati-hatian yang sama soal apakah sebuah makanan diperoleh dengan cara yang halal atau haram?

Jika masyarakat kita begitu jijiknya terhadap daging babi karena haram, apakah mereka juga jijik terhadap makanan yang zatnya halal (katakanlah ayam goreng mentega) tapi jadi haram karena diperoleh dengan cara yang haram?

Hal ini penting ditanyakan karena terdapat semacam paradoks, masyarakat kita menjauhi, merasa jijik, rewel, bahkan benci dengan zat-zat yang diharamkan seperti babi dan keturunannya, tapi berakrab ria dengan berbagai perbuatan yang berpotensi membuat sebuah makanan menjadi haram karena cara memperolehnya.

Katakanlah, apakah meminta sogokan bagi murid baru dalam penerimaan siswa baru adalah halal atau haram?

Polisi yang meminta uang dari pengendara kendaraan bermotor apakah uangnya halal atau haram?

Petugas pembuatan KTP yang meminta pungutan di luar ketentuan, apakah uangnya halal atau haram?

Dosen yang menjual skripsi atau nilai ke mahasiswanya, apakah uangnya halal atau haram?

Para preman, berjubah atau tidak berjubah, berseragam atau tidak berseragam, yang meminta uang keamanan kepada pedagang kaki lima atau tempat hiburan malam, apakah uangnya halal atau haram?

Walikota, Kepala Dinas, Pejabat yang meminta fee proyek, apakah uangnya halal atau haram?

Panitia penerimaan CPNS, Polisi atau Tentara yang meminta sogokan, apakah uangnya halal atau haram?

Pedagang yang menjual ayam tiren, sapi gelonggongan, motor curian, apakah uangnya halal atau haram?

List di atas bisa kita tambahkan sepanjang-panjangnya karena memang aktivitas mendapatkan uang haram adalah bagian dari kehidupan sehari-hari di masyarakat kita.

Celakanya, kita tak merasa jijik bahkan biasa dengan hal-hal haram tersebut.

Di level praktis, banyak pelaku pungutan liar kelas bawah, peminta-minta sogokan yang mencoba membuat uang haram itu menjadi halal, biasanya dengan mengatakan: “Ikhlas ya?”

Ikhlas mbahmu gundul.

***

Saya yakin substansi tulisan ini tidaklah baru dan kita pahami semua. Namun entah kenapa kita tidak merasa aneh, heran, jijik ketika mendapati hal-hal haram begini di tengah-tengah masyarakat kita.

Bahkan ketika menteri agama menjadi tersangka korupsi sekalipun, jarang sekali yang mengupasnya dari aspek halal dan haram. Sebagian malah tetap menjadi supporter karena alasan-alasan politik. Sampai membuat provokasi soal pembatasan beribadah di Rumah tahanan KPK.

Lebih gila, di kasus korupsi yang lain, uang haram masuk mengalir untuk membangun mesjid:

Mantan anggota DPR periode lalu Sofyan Usman, disidangkan atas kasus dugaan korupsi Otorita Batam di Pengadilan Tipikor. Sofyan diduga menerima uang Rp 150 juta dan cek pelawat Rp 850 juta. Namun Sofyan membantah dengan mengatakan dia tidak menerima sepeser uang pun. Menurut pengacara Sofyan, Ozhak Sihotang saat dihubungi detikcom Sabtu (24/12), uang itu seluruhnya disumbangkan untuk pembangunan masjid. Kasus Otorita Batam ini terjadi pada 2009 lalu. Ozhak menjelaskan, Sofyan saat itu tengah membangun masjid di perumahan DPR di Cakung, Jakarta Timur. Uang pun dialirkan ke pembangunan masjid itu. Karena uang yang diberikan Otorita Batam itu untuk masjid, dia berharap majelis hakim bisa memberikan keputusan bebas.(Sumber: http://m.solopos.com/2011/12/24/sofyan-usman-sumbang-masjid-pakai-uang-korupsi-257640)

Atau tentu kita mafhum juga bahwa pencetakan Al Qur’an-pun menjadi obyek korupsi di negeri muslim terbesar ini.

Jika contoh-contoh di atas terlalu canggih, ada yang lebih sederhana: jalan rusak padahal baru sebulan dibikin, atap sekolah rubuh, alat kesehatan dimark-up, dan sebagainya.

Tak ada yang mengupasnya dari halal dan haram.

Screenshot 2015-06-26 16.12.28
Sumber: http://newsmedia.co.id/kejadian-atap-ambruk-disdikbud-lebak-diminta-tanggungjawab

Kita baru teriak-teriak halal dan haram ketika satu restoran terkenal tidak mencantumkan label halal di temboknya.

Meh

***

Jadi inilah tantangan para Guru, Ustadz, dan Kiyai: Menjadikan mindset bahwa haramnya uang yang diperoleh karena cara memperolehnya, sama derajatnya dengan makan babi.

Salam.

Tinggalkan Balasan