Seminggu ini saya berkeliling Jabotabek bersama lebih dari 10 peneliti dari Jepun. Mereka ahli Indonesia, bisa berbahasa Indonesia, sebagian adalah Professor dari berbagai Universitas dan sebagian mahasiswa doktor. Kami berkeliling mengadakan wawancara dengan banyak pihak untuk sebuah riset tentang Urban Politics di Asia Tenggara.

Ini adalah turun lapangan kami yang kedua. Lima tahun lalu kami melakukan hal yang sama (sebagian anggota timnya sama), di Jakarta dan Bangkok. Hasilnya terbit dalam sebuah edisi jurnal di Journal of Current Southeast Asia Affairs Vol. 33 (1) tahun 2014, bisa diintip di sini.

Ada beberapa catatan penting tentang riset yang kami lakukan. Bukan soal substansi, tapi bagaimana mereka bekerja sebagai peneliti, mungkin bisa jadi cermin bagi kita yang bergelut di dunia ilmu pengetahuan juga.

Pertama, sungguh menyenangkan melihat para Professor (Sensei) masih turun lapangan, mencari data sendiri berpeluh ria untuk mendapatkan data yang serius. Yups sebagaian mereka adalah Sensei yang karyanya cukup penting dalam studi politik di Indonesia kontemporer. Ada ahli politik lokal, politik islam, terorisme atau militer, bahkan properti. Menarik bahwa ketika mau memahami isu yang (bisa jadi) baru mereka geluti, mereka berusaha memahami, langsung dari lapangan. Seorang professor yang meneliti Waria bahkan mampir ke setiap alun-alun untuk mengobrol dengan Waria jika pergi ke kota apapun di Indonesia.

Kedua, mereka berangkat dengan kemampuan bahasa lokal. Untuk seorang ahli kawasan (area studies), pengetahuan bahasa lokal memang penting. Hal ini berangkat dari keyakinan bahwa ada potensi bias dan kegagalan memahami sebuah fenomena atau pesan jika sebuah data adalah hasil terjemahan atau melalui penerjemah. Maka ahli Indonesia ya musti bisa bahasa Indonesia. Kalau lebih dalam lagi, misalnya meneliti kawasan Jawa Barat, maka kedah tiasa nyarios nganggo bahasa sunda.

Ketiga, ini memang membuat iri. Dukungan dana untuk riset pasti besar. Biaya tiket, hotel, dan sebagainya tentu tak murah. Ya, persoalan klasik bagi peneliti Indonesia. Bahkan tak cuma soal dana yang seret, tapi aturan yang  konyol. Misalnya, mahasiswa S3 dengan beasiswa Dikti dilarang tinggal di Indonesia lebih dari 2 bulan berturut-turut walaupun studinya tentang Indonesia. Lha mau dapet apa kalau studinya sosial-politik atau antropologi? Ancamannya gak maen-maen, beasiswa luiar negerinya bisa diubah jadi beasiswa dalem negeri lho.

Keempat, para peneliti luar negeri diuntungkan dengan mental inferior sebagian narasumber. Mereka senang sekali menerima peneliti asing. Bagi saya peneliti lokal, membawa peneliti luar negeri diuntungkan karena bisa menembus sumber-sumber yang sulit diakses oleh peneliti lokal. Ya tentu saja peneliti luar juga bersungguh-sungguh dan bekerja keras juga menemukan narasumber, gak maen-maen.

Nah terakhir saya mau bagi video wawancara kami dengan Ahok yang ternyata dipublikasikan di kanal Youtube punya Pemda DKI. Selamat nonton, di video saya kelihatan agak gendut 😉

Oh ya, sebagai catatan kami gak cuma ketemu Ahok, tapi juga Zaki Iskandar, warga penghuni kuburan, korban gusuran, aktivis LSM dan sebaginya. Sayang waktu ketemu Waria saya mesti pulang cepet-cepet.

Tinggalkan Balasan