Dua hari ini, ada banyak pertemuan dan kabar-kabar yang berdatangan.
Pertemuan tentu saja saya dengan seorang sahabat di kampus UI Depok. Kami berbincang tentang banyak hal, utamanya masa depan, termasuk beberapa rencana riset bareng.
Setelah itu banyak kabar, ada duka cita dan suka cita. Tapi saya mau membagi yang lain, perbincangan dengan sahabat.
Seorang sahabat yang lama banget tak ketemu tiba-tiba minta izin menelpon via WA. Ia doktor alumni Harvard University dan masih berada di luar negeri, ingin berbincang tentang karier di dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Kami berbincang riang dan dalam. Maklum lama tak bertukar kabar pula.
Ternyata kami punya keprihatinan yang sama. Terlalu banyak urusan administratif dan politik di kampus-kampus di Indonesia. Dosen masih berurusan dengan persoalan-persoalan mendasar dan memang mengabaikan riset yang serius. Tentu saja ada banyak skema riset, namun pengalaman beberapa kawan, terlalu banyak kekangan administratif. Lha bagaimana, di ruang dosen sebuah universitas saya menyaksikan seorang dosen sibuk menulisi kwitansi banyak sekali dengan tandatangan berbeda-beda, entah untuk pembayaran apa. Ketika ditanya, jawabnya singkat: laporan hasil penelitian.
Di Malaysia, seorang kawan yang dosen senior memiliki anggaran riset yang membuatnya mampu “menggaji” dua atau tiga mahasiswa S3 bimbingannya sebagai bagian dari tim riset alias Research Assistant (RA). Ia bisa fokus ke substansi karena persoalan administrasi bisa dibantu para RA.
Di Indonesia, banyak kisah dosen-dosen berebut jabatan struktural, ada yang menikam kawannya, kasak-kusuk, jegal sana-sini, cakar-cakaran dan sebagainya. Tentu saja yang dicari adalah tunjangan untuk bayar cicilan mobil, pinjaman bank atau membiayai gaya hidup. Ide atau kontribusi? Nanti dulu, yang penting bisa berkonco.
Satu semester sekembali dari Jepun, produktivitas saya semakin menurun. Rutinitas membunuh kreativitas. Ditambah pula terlalu banyak diskusi dan pembicaraan yang tak mencerahkan. Diskusi melulu soal jabatan, uang dan proyek. Capek deh
Kembali ke kawan saya yang alumni Harvard, saya mengingatkan beliau untuk membaca beberapa kisah beberapa orang besar di dunia ilmu pengetahuan yang pada akhirnya memilih tinggal dan berkarya di luar karena terabaikan di negeri sendiri.
Sebagai penutup diskusi, saya sampaikan sebuah “peringatan dini”: orang besar dengan pemikiran besar ketika “pulang” jangan terlalu berharap dihargai layak sesuai dengan ilmu, jaringan, karya akademik, dan sebagainya. Justru bisa jadi ia dibuang, ditikam, dicakar, ditendang, dibunuh dan disia-siakan karena dianggap sebagai ancaman.
Mau bukti?
aduuuh mau pulang baca beginian, seperti yang dikhawatirkan heuheu..
Ndak semua tempat begitu kok Mbak Siwi, selamat atas doktornya dan selamat makaryo ya 🙂