Minggu lalu, saya mendapatkan (baca: merebut kembali) gelar dosen terfavorit prodi administrasi negara versi mahasiswimahasiswa dalam acara Milad FISIP Untirta.

13239922_10154295325024015_2457420112529721102_n

Saya sendiri nggak paham kenapa gelar tersebut kembali ke saya, setelah pulang dari Jepun. Apakah karena saya baik hati, tidak sombong atau suka menolong, entahlah.

Yang jelas saya memang mencoba meletakkan mahasiswa sebagai pembelajar. Artinya tugas dosen membantu mahasiswa dalam belajar. Kalau mereka melakukan kesalahan, tugas sayalah yang memberi tahu. Saya juga menyimpan buku-buku pribadi di kampus yang bisa dipinjam mahasiswa. Kebetulan sedang punya meja dan lemari di kampus.

Namun tentu saja, ada prinsip-prinsip tertentu yang tentu saja tidak bisa ditawar. Misalnya plagiarisme.

Teknologi informasi yang memberi kemudahan membuat tugas membuat makalah misalnya bisa dibuat tanpa membaca dan menulis. ctrl c + ctrl v + find + replace. Selesai.

Tentu saja perlu upaya keras mejelaskan bahwa makalah yang baik adalah yang ditulis sendiri dengan bahasa sendiri dan masalah yang ditulis dianalisis sendiri. Cara instant adalah bunuh diri secara cepat di usia belia.

Nah tentu saja tidak bijak juga menyuruh mahasiswa menulis makalah dengan tulisan tangan atau dengan mesin ketik. Saya sendiri memilih memberi panduan yang jelas, contoh, bahkan sampai level teknis. Buku dan jurnal juga sebisa mungkin saya bantu pinjamkan. Pengennya meneladani Sensei saya di Jepun.

Baru ketika tak bisa dikandani atau dibantu, ya wewenang memberi nilai digunakan maksimal.

Diskon nilai besar diberikan kepada mahasiswa yang tetap melakukan plagiarisme. Bagi saya plagiarisme tidak hanya bentuk pencurian, tapi kemalasan. Ini bahaya buat mereka dan negara.

Lha apakah paparan di atas berhubungan dengan judul tulisan ini. Entahlah.

 

Tinggalkan Balasan