Hari ini aku belajar banyak soal bagaimana kekuasaan, sekecil apapun mesti berada di orang yang berintegritas. Aku tak sedang akan menulis  hal-hal besar seperti bagaimana Presiden bersembunyi dari kewajibannya menyelesaikan kisruh Polri-KPK atau bagaimana korupsi menggurita di kalangan elit politik.

Aku mau menulis pengalaman sekelompok dosen yang nasibnya digantung oleh institusi yang mestinya melindungi mereka.

Hari ini adalah penutupan kursus IELTS di IALF Jakarta. Kami tentu saja senang sekali dibayari negara (baca: pajak rakyat) untuk belajar bahasa Inggris di tempat terbaik di Indonesia. Selama enam bulan belajar langsung dari bule-bule tentang bagaimana menggunakan bahasa Inggris dalam konteks akademik. Sungguh ini program yang amat amat amat baik, thanks Dikti dan seluruh rakyat Indonesia.

Hari ini kami juga berharap ada utusan Dikti agar bersama para IALF menutup program dalam closing ceremony. Tentu kami tak cuma berharap cas cis cus seremonial, tapi juga soal administrasi yang belum diselesaikan.  Jangankan diselesaikan, informasi saja tak ada. Padahal sebagian sudah akan pulang sore dan besok, ke kampung masing-masing.

Simone — yang menunda waktu closing ceremony untuk menunggu kedatangan Dikti-person akhirnya memutuskan memulai closing ceremony setelah tak ada tanda-tanda kehadirang orang Dikti.

Kami tetap ceria, apalagi Mbak Yanti dan Arizka menyampaikan speech dengan amat menakjubkan. Kami menerima sertifikat, bersalam dan berfoto bersama bersama para guru: Jason, Amy, Simon, Rina dan Surrogate-nya Barbara 😉

Sampai akhir acara, tak ada tanda-tanda kehadiran orang Dikti.

Keresahan akhirnya dicurahkan dengan diskusi, bagaimana mencari kejelasan soal administrasi: pembayaran biaya transport dan juga allowance.

kami sibuk mencari penjelasan kesana kemari. Info dari peserta kursus di UGM dan IALF Bali, mereka mendapatkan penggantian uang transport, airport tax, dan settlement fee secara cash. Sementara di UI kabarnya mereka akan mendapatkan penggantian dana tersebut secara transfer, namun sampai hari ini juga belum ditransfer. Peserta yang belajar bahasa Jerman di bandung kabarnya berhasil mencairkan allowance setelah “memaksa” utusan Dikti. Begitulah, informasi simpang siur…

Kami memutuskan untuk mendatangi Dikti sampai keputusan itu berubah dengan info dari mbak Rifany yang mengatakan orang Dikti akan datang.

Jam setengah dua belas Pak T***o datang membawa segepok berkas, isinya: kuitansi kosong untuk pembayaran perjalanan dinas beserta lampirannya yang diminta ditandatangani dan SPPD yang diminta dikirim setelah ditandatangani di kampus masing-masing.

Sebetulnya hati merasa berat, tapi karena preseden di beberapa kampus tak ada masalah dengan pembayaran biaya perjalanan dinas (baca: transport) maka sebagian besar dari kami menandatangani. Ada yang menunda menandatangani dan akan berangkat ke Dikti hari senin untuk mendapatkan informasi lebih lengkap (caiyo !!!).

Hanya pertanyaannya adalah? berapa rincian per-orang? dan kapan mau ditransfer?. pertanyaan pertama wajar diajukan karena kuitansi yang ditandatangani tak berisi angka. Oke-lah walaupun ganjil, kita berhusnuzhon bahwa itu persoalan teknis keterlambatan merekap, karena Dikti memang terlambat meminta pengumpulan tiket pulang. Pertanyaan kedua tak bisa dijawab sang Dikti-person, insyaAllah sebelum lebaran katanya, atau tanya saja ke Pak D***.

Aku sendiri tak tega mendesak Pak T***o karena beliau sudah sepuh dan nampaknya hanya mengurusi persoalan teknis saja.

namun juga bagaimana dengan teman-teman yang mesti berjibaku dengan kesulitan hidup selama enam bulan meninggalkan pekerjaan di kampus masing-masing dan fokus belajar IALF, ketika di ujung perjalanan pun penggantian tiket pulang tak bisa didapatkan. Sebagian sudah makan tabungan dan makan pinjaman.

Satu hal lagi yang mengganggu adalah soal allowance. Oke-lah memang diawal ada klausul bahwa allowance diberikan untuk peserta yang absennya diatas 90 persen dan nilai IELTS-nya diatas 6.5.

Ini adalah pengumuman kesekian yang berubah-ubah terus. Pertanyaannya allowance itu apa sih? Jika itu biaya hidup, apakah lantas mereka yang nilai akhirnya 6.0 atau 5.5 lantas mesti tingal di emperan, mesti menahan lapar, mengemplang utang atau sudah pasti tak serius dan malas dalam belajar?

Aku hanya ingin mengatakan bahwa sungguh aku menyaksikan bahwa teman-temanku yang mengikuti kursus di IALF bekerja keras dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Kami terbiasa mencari tempat makan termurah sekitar IALF (baca: masbro) , sebagian datang jam 7 pagi dan pulang jam 5 sore untuk belajar di resource center, atau ada yang dipalak preman di belakang setiabudi. Bahkan kami sering menertawakan diri sendiri (tertawa sedih campur geli tentunya) ketika membandingkan dengan penerima beasiswa lain yang sama-sama belajar di IALF.

Soal absen, ada beberapa yang absennya kurang dari 90% atau 85%. Itupun karena sakit. Apakah ada yang dengan senang hati sakit selama tiga minggu? atau menyengajakan diri dirawat di MMC yang menghabiskan enam juta rupiah? (CMIIW)

Sekali lagi seribu lima ratus persen, kami bersungguh-sungguh.

Tulisan ini tak ingin menyudutkan siapapun. Hanya pengingat bahwa di hari ini kebahagiaan, kelegaan bercampur dengan kemarahan, keputus-asaan dan kekecewaan.

Hanya saja ada pertanyaan besar, jika persoalan seremeh mengelola kursus saja berantakan, bagaimana dengan persoalan-persoalan penddikan lain yang lebih besar? Seorang kawan berujar “Persoalan kita memang bukan tak ada uang, tapi ketidakmampuan memanage-nya. Pantesan walaupun anggaran pendidikan kita besar, 20% kok kayaknya nggak barokah”

Atau pertanyaan lain, jika dosen-dosen saja diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan guru-guru SD yang ada di tempat-tempat terpencil. Padahal salah satu kawan di kelas adalah teman karaokeannya Pak Nuh 🙂

Apakah selalu perbaikan mesti muncul dari tuntutan keras dan marah-marah?

Untunglah aku bersama orang-orang yang kuat dan sabar, senantiasa bersyukur, tetap tegar ketika menghadapi masalah, positive thinking dan tetap tersenyum ketika foto-foto 🙂

Oh ya tulisan ini juga menjadi pengingat sehingga  ketika kelak kita memiliki amanah yang besar kita dijauhkan dari perilaku Dzolim. Amin.

Tinggalkan Balasan