Apa yang harus diselamatkan dalam situasi terburuk sebuah bangsa? Pendidikan adalah jawabannya. Mendidik anak bangsa seperti menanam pohon yang kelak akan berbunga dan berbuah di kemudian hari, bahkan ketika penanamnya sudah tiada. Nampaknya inilah alasan paling utama, kenapa Kaisar Hirohito menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa setelah berakhirnya perang dunia kedua. Pendidikanlah yang menyelamatkan bangsa Jepang yang berada dalam kehancuran menuju kebangkitan sebagai salah satu raksasa dunia.

Impian dan Prasyarat

Indonesia sekarang sama sekali sedang tidak berada dalam kehancuran. Indonesia sedang menuju keemasan dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 6.6%. Pada tahun 2030, McKinsey memperkirakan Indonesia akan menjadi bagian dari 10 negara dengan perekonomian terbesar. (Kompas/ 9/2012).

Indonesia juga diramalkan akan mengalami apa yang disebut sebagai bonus demografi, yaitu situasi dimana membengkaknya kelompok usia produktif dibandingkan dengan kelompok usia tidak produktif. Bonus demografi akan didapatkan ketika tingkat ketergantungan kelompok usia non produktif terhadap kelompok usia produktif tersebut rendah. Indonesia diprediksikan akan mengalami puncak bonus demografi dalam kurun waktu 2020-2030.

Namun bayangan tentang keindahan masa depan bangsa tersebut tentu saja bukan tanpa syarat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi baru betul-betul menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat ketika gap antara kelas atas dan kelas bawah semakin menyempit.

Bonus demografi tentu saja juga baru bermakna ketika kelompok usia produktif di tahun 2020-2030 yang sekarang berada di bangku pendidikan dasar-menengah mencicipi pendidikan yang berkualitas. Inilah tantangan sebenarnya.

Pendidikan Minus Integritas

Persoalannya adalah wajah pendidikan kita, terutama di berbagai pelosok masih sering menunjukkan wajah muramnya. Peningkatan kualitas guru dengan program sertifikasi guru terkendala dalam pembayaran tunjangan profesi seperti ketidakjelasan formula penyaluran, keterlambatan dan pemotongan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjwab.

Ujian nasional juga masih dibayangi oleh praktek kecurangan yang diakibatkan oleh tekanan politik untuk mencapai target kelulusan. Infrastruktur juga tak kurang bermasalah: sekolah rubuh atau gedung disegel masih sering mewarnai media massa kita.

Padahal konstitusi mengamanatkan bahwa alokasi dana pendidikan tak kurang dari 20% dari APBN. Artinya persoalannya bukanlah ketiadaan anggaran. Persoalannya adalah kurangnya integritas dalam tata kelola pendidikan.

Ketiadaan integritas menjadi ancaman terbesar bagi dunia pendidikan. Pembenahan dunia pendidikan dengan dana besar bisa hanya sekedar menjadi lahan basah bagi kepentingan ekonomi-politik kelompok tertentu saja.

Dunia pendidikan harus mengembalikan marwahnya dengan pengelolaan yang berintegritas. Integritas penting untuk memastikan bahwa pendidikan untuk mencapai tujuan yang baik dikelola dengan cara-cara yang benar.

Karena itulah, perlu ada gerak langkah bersama dalam memajukan pendidikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tak boleh berjalan sendiri-sendiri, tapi harus bergerak bersama sebagai sebuah kesatuan dengan tujuan yang sama. Pembenahan pendidikan harus dilaksanakan dengan basis data dan peta yang sama dengan ruh yang sama, integritas.

Peran Masyarakat

Namun syukurlah, dalam carut-marut pengelolaan pendidikan muncul beberapa gerakan konstruktif yang lahir dari rahim masyarakat. Sebagai contoh kita bisa melihat tiga gerakan: Gerakan Indonesia mengajar, Gerakan literasi Rumah Dunia dan Gerakan Jembatan Persaudaraan Dunia.

Gerakan Indonesia mengajar, dipimpin oleh Anies Baswedan berhasil merekrut anak-anak muda yang bekerja mapan di dalam dan luar negeri untuk sejenak menjadi pendidik di berbagai pelosok Indonesia. Gerakan ini bukan saja memberi kesempatan bagi para pelajar di pelosok Indonesia mendapatkan guru berkualitas, namun juga membangkitkan kesadaran kelas menengah berpendidikan tinggi untuk secara langsung terlibat mencerdaskan anak bangsa. Gerakan ini bahkan juga berhasil menarik peran swasta dalam aspek pembiayaannya.

Rumah Dunia di Coloang, Serang, Banten juga berkontribusi besar bagi upaya membangun budaya literasi. Rumah Dunia yang dibangun Gol A Gong bersama para relawannya menjadi episentrum bagi tumbuhnya kecintaan terhadap buku dan dunia sastra. Dari Ciloang lahir para penulis novel dan scenario, editor dan sastrawan muda di Banten.

Gerakan Jembatan Persaudaraan Dunia, dibidani oleh Arif Kirdiat yang tergerak melihat bagimana anak-anak SD di Dukuh Handap, Banten Selatan bertaruh nyawa untuk pulang dan pergi dari sekolah. Kesadaran ini membuatnya menghimpun kawan dan dana dari berbagai penjuru dunia. Sudah lima jembatan dibangun dan sebentar lagi jembatan ke-enam dan ketujuh.  Jembatan-jembatan ini menyelamatkan impian anak bangsa yang  sempat terputus seiring teputusnya akses mereka ke sekolah.

Berbagai gerakan ini lahir dari keprihatinan memandang dunia pendidikan. Namun memilih untuk tak melulu mencela kegelapan, tapi justru menyalakan lilin yang bisa menerangi. Gerakan-gerakan ini berusaha merawat impian anak-anak bangsa sekaligus bangsa ini sendiri.

Penutup

Impian besar menjadi bagian dari 10 negara dengan perekonomian terbesar  pada tahun 2030 harus diselamatkan. Menyelamatkannya adalah dengan memberikan pendidikan yang baik bagi mereka yang kelak menjadi bagian dari kaum muda produktif. Tanpa itu energi yang dimiliki oleh bonus demografi pada tahun 2020 -2030 bukan menjadi penggerak perekonomian namun malah menjadi beban dalam bentuk pengangguran dan kriminalitas. Sinergi antara pengelolaan pendidikan yang berintegritas dengan peran serta masyarakat adalah kuncinya.  Keduanya bisa bekerja sama atau setidaknya saling menguatkan. Hanya inilah cara kita menyelamatkan impian bangsa. Wallahua’lam bissawab.


[1] Dosen FISIP Untirta, Mahasiswa Doktor Graduate School of Global Studies Doshisha University, Kyoto.

Tinggalkan Balasan