Di negeri sebelah, peradaban tinggi masih ditandai dengan banyaknya kendaraan roda dua dan empat, bangunan pencakar langit dan mal-mal yang penuh dengan anak manusia. Aku teringat pengalaman beberapa tahun lalu di Gorontalo ketika pembukaan sebuah mall yang berbarengan dengan MTQ Nasional, banyak orang-orang berkerumun di sebuah alat bernama eskalator, takut-takut untuk mencoba naik. Mungkin ada juga yang meninggalkan sendalnya di bawah π
Tapi aku kini sedih mendapati bahwa anak-anak Indonesia ups maksudnya negara sebelah, khususnya di perkotaan — semakin sulit menemukan tempat bermain yang layak. Mereka tumbuh dengan sinetron, handphone dan konsol game.

Di Jepun kami tinggal di flat sempit, mungkin seukuran 30-an meter. Kamar cuma satu, hanya karena ruang tegah agak luas, maka disulap jadi tempat ngumpul dan kamar anaks. Alhasil tak mungkin Ayu dan Ilham berlarian kesana-kemari, bisa rusak semua perabot π
Tapi halaman kami luas. Halaman pertama adalah taman bermain dekat rumah, mirip dengan lapangannya Doraemon. Disini ada lapangan luas untuk bermain bola kaki atau lemar-lemparan bola. Ayu menjadikannya tempat melancarkan bersepeda. Di sudut yang lain ada seperangkat permainan seperti perosotan, bak pasir, pipa untuk memanjat dan meayap, ayunan dan bangunan mirip gua. Ayu dan Ilham banyak menghabiskan waktu disana, dan setiap sore memang ramai oleh anak seumuran mereka yang bermain sehabis mengerjakan PR.
Halaman kedua adalah sungai Kamo. Ini sih tempat favoritku dan Ibun menghabiskan waktu, menggelar tikar dan makan-minum. Anaks juga menyukainya, mereka bisa berlarian bebas, bermain air, menyeberang sungai melalui batu-batu yang tersusun rapi atau bertemu dengan hewan-hewan disana seperti ikan mas, berang-berang, gagak, merpati, pipit dan elang. Sungainya bersih sekali walaupun airnya tidak deras, nyaman untuk menghilangkan stress atau sekedar mampir berangkat atau pulang ke kampus.
Hmm sebenernya rumah mertua tempatku tinggal bertahun-tahun dekat sungai ciliwung. Tapi mau bermain disana? ups nanti dulu
Kasihan anak-anakku nanti ketika pulang kampung, jangan-jangan untuk sekedar cari tempat bergelayutan saja musti pergi ke mall terdekat, so sad π
Tentu saja aku tak bermaksud membandingkan negara sebelah dan negara tempatku tinggal sekarang. Hanya saja ada kesadaran baru yang tertanam di otak dan hatiku sekarang bahwa peradaban sesungguhnya tidak ditandai dengan gedung bertingkat, banyaknya kendaraan bermotor atau banyaknya mall, tapi adanya ruang untuk meningkatkan kualitas diri, dan itu salah satunya ditandai dengan taman bermain anak dan sungai yang bersih π
Makanya saya pengen pindah dari Jakarta. Pindah ke Yogya, punya sawah di Temanggung, pensiun dini, menyepi di desa, ga perlu terbius dengan kehidupan metropolis.