Ini serial tulisanku yang ketiga di edisi anak muda hebat. Nah, judulnya diedit, kata “menyambut”-nya dicoret soalnya ada kesan pengistimewaan terhadap anak-anak muda yang hebat bertitel doktor, punya tulisan di jurnal internasional dan cas cis cus berbahasa asing.

Bahwa harus ada ruang bagi mereka di kampus adalah benar, tapi pengistimewaan pastinya ndak bener. Lagipula ada banyak anak-anak muda hebat yang tidak bergelar doktor, tidak punya tulisan di jurnal internasional dan bahasa asingnya so-so.

Tentu saja anak-anak muda hebat ini ada di jalur lain — bukan jalur akademik — tapi jalur bisnis dan profesional.

Kesadaran adanya lapisan anak-anak muda hebat di jalur ini, sudah saya sadari beberapa waktu lalu ketika mulai rajin membaca majalah SWA. Yups, selain tempo, SWA adalah majalah yang menarik dibaca. Edisi yang rutin saya baca adalah survey gaji tahunan. Saya mulai membaca dan mengoleksi edisi survey gaji ini sejak tahun 2008. Lumayan untuk sekedar mengetahui di luar sana, di luar aquarium bernama kampus,  kapasitas dan produktivitas individu dihargai dengan layak.

Sudahlah, saya gak mau ngomongin gaji, nanti sakit hati 🙁

Balik ke anak-anak muda. Jika anda baca majalah SWA silahkan lihat beberapa halaman di bagian belakang. Sekarang rubriknya bernama youngster.inc.

Disana kita bisa menemukan, ada anak-anak muda yang keren, baik di dunia enterpreneur maupun dunia profesional. Sungguh-sungguh rubrik yang gak bikin nyaman, karena setelah membaca rubrik ini saya lantas mikir,

“di usia sekarang, gw udah ngapain aja ya? “

baiklah, kita buka saja SWA edisi 17/2013. Disana ada Arya (kelahiran 1984) yang meneruskan bisnis keluarga bernama Napindo semenjak ayahnya meninggal. Napindo merupakan penyelenggara event-event pameran besar sekelas IndoLivestock, IndoWater atau IndoDefense. Arya di napindo menjadi Vice President.

Hmm, okelah nanti ada yang bilang Arya sebagai bagian bisnis keluarga, jadi wajar di usia muda sudah sampai puncak karir. Mari kita tengok Iwan, sarjana Teknik Industri Universitas  Bandung Raya. Anak muda kelahiran 1980 ini sudah punya jabatan keren: Manajer Bisnis dan Pemasaran Rumah Sakit Pondok Indah.

Mulai sakit perut?

Ini dia satu lagi, Imanastu (kelahiran 1982) yang lulusan FE UGM. Di umur belia dia sekarang menjadi Manajer Audit TI Indosat. Kemudian ada Elizabeth (kelahiran 1987) yang meninggalkan dunia profesional dan memilih menjadi make-up artist selain menjadi blogger yang mengulas soal kecantikan (beauty bloger). Pendapatannya sekitar 15-20 juta, tapi kalau rajin bisa sampai 60 juta.

Hebat-hebat kan?

Satu lagi deh, Diajeng Lestari yang pernah saya ajar di mata kuliah Politik dan Pemerintahan Desa di FISIP UI. Profilnya pernah nongol di rubrik enterpreneur SWA online sebagai pengusaha muda. Ia membesut HijUp, bisnis online jilbab yang penjualannya sampai ke luar negeri.

Nah lo.

Lantas apa kata kuncinya?

Menurut saya, passion adalah kata kucinya.

Di tulisan sebelumnya, anak-anak muda di jalur akademik memang musti menyelesaikan “masalah dengan dirinya” dengan segera memulai dan menyelesaikan studi doktoral. Tentu saja tak kemudian begitu selesai S3 lantas sibuk cari jabatan di kampus. Tapi tentu saja meneliti, mengajar dan publikasi. Dalam beberapa tahun jika produktif dan rajin mendokumentasikan proses dan hasil pekerjaannya, insyaAllah cepat jadi profesor. Di titik itulah keamanan finansial bisa didapatkan dan integritas keilmuan bisa dijaga tegak. Kalau masih ragu, silahkan baca: mari menjadi guru besar. 

Di dunia enterpreneur:  mencoba hal baru, hidup hemat, berinovasi, memuaskan pelanggan, mengambil resiko,  berinvestasi mungkin adalah hal yang musti dijalani. Tentu saja gak butuh sekolah sampai doktor apalagi nulis di jurnal akreditasi. Didapatkannya keuntungan, berkembangnya perusahaan dan kemudian sampai di titik menikmati hasil kerja keras adalah hal yang dicita-citakan untuk diraih.

Begitu juga dengan profesional non akademik. Masuk ke dunia kerja, membuktikan kompetensi, produktivitas melampaui target serta memuaskan user dan clien adalah hal yang utama. Peningkatan kapasitas bisa diraih dengan mengambil kuliah praktis semacam MBA atau MM atau sertifikasi profesional. Kuliah S3, juga bukan keharusan.

Jadi, mari menjadi anak-anak muda hebat di bidang kita. Temukan passion, putuskan kemana kaki akan melangkah dan lakukan yang terbaik. Saya masih berprinsip, sekali kita memutuskan, pelajari aturan main, lakukan peran sebaik-baiknya, insyaAllah akan sampai puncak.

Yang menurut saya ngaco adalah jika kita sibuk menjalankan hal-hal yang nggak relevan dengan peran kita. Semuanya jadi nanggung, setengah-setengah. Contoh nyata-nya adalah ketika saya beberapa tahun lalu mencoba membuka kios brownies kukus amanda di depan sebuah supermarket di Serang. Ngajar (agak) berantakan, bisnis-pun macet dan akhirnya bangkrut. Waktu itu, hancur hati saya menyaksikan brownies-brownies yang lutju-lutju kadaluwarsa 🙁

Akhirnya waktu itu dalam hati mikir: ini hidup sebenernya mau dikenal sebagai abdul hamid si tukang brownies atau abdul hamid si tukang dosen, eh maksudnya dosen politik? saya ternyata tak berbakat menduakan hati (ehem)

Akhirnya saya memutuskan, menjadi dosen seutuhnya saja, menyelesaikan urusan dengan diri sendiri dengan segera sekolah lagi. Tentu saja berkas, dokumen, dan kadang-kadang kuitansi adalah hal yang musti dihadapi, bukan dihindari.

So, selamat menemukan passion, memilih jalan hidup dan bertanggungjawab atas pilihan tersebut dengan berbuat sebaik-baiknya. Caiyoooooo

1 Comment »

  1. tulisan bapak membuat saya semakin galau. saya pns tapi passion saya di fashion. saya punya local brand, tapi karena tidak berani ambil keputusan resign dari pns. malah 22 nya jadi amburadul.

Tinggalkan Balasan