Sungguh saya tak pernah berpikir bahwa PDIP bisa menghela perubahan di negeri ini.
Sejak awal reformasi, PDIP tak pernah masuk ke radar saya sebagai partai yang cukup bisa diharapkan. Kekalahan Mega dalam pemilihan Presiden tahun 1999 misalnya, menunjukkan ketidakpiawaian kader-kader PDIP berpolitik. Mengamuknya kader di beberapa daerah juga membangun citra tak baik. Megawati memang jadi Presiden setelah Gus Dur dijungkalkan bekas sekutunya. Belum lagi konflik yang waktu itu beberapa kali terjadi antar faksi di PDIP.
Yang juga cukup menjengkelkan, citra partai wong cilik yang banyak dipelesetkan menjadi partai wong licik karena banyaknya kader PDIP tersangkut masalah korupsi baik di pusat maupun di daerah.
Dalam beberapa tahun ini PDIP nampaknya berbenah. Saya ingat, ini dimulai sejak Pramono Anung jadi Sekjen. Ia nampaknya menjadi “administrator”partai dengan kesibukannya merapikan barisan. Yups, sebelum era ini PDIP lebih mirip kerumunan, bukan barisan.
Nampaknya pembenahan internal mulai menampakkan hasil. Beberapa kader PDIP di daerah tampil sebagai kepala daerah berprestasi. Ya, jika kita bicara kepala daerah yang sukses pasti tak jauh dari Jokowi atau Risma, keduanya dari PDIP. Sebelumnya juga ada Jarot dari Blitar dan Gde Winase. Sekarang banyak orang juga menaruh harapan terhadap Ganjar Pranowo.
Ya, sulit membayangkan hal ini bisa terjadi. Dulu saya berpikir PKS-lah yang bakal menjadi aternatif di tengah keputus-asaan terhadap buruknya kualitas partai-partai politik. Slogan cerdas dan peduli yang dulu begitu heroik tentu saja memikat banyak pihak, terutama kelas menengah.
Namun ketidaksabaran elite partai dan ketidakmampuan membaca pertanda zaman membuat partai ini justru masuk menjadi satu kelompok dengan partai-partai lain dengan label: tidak berprestasi dan korup. Sulit menunjukkan kepala daerah yang berasal dari PKS yang berprestasi. Kasus sapi yang menusuk langsung ke jantung PKS dan sekarang masuk pengadilan membuat PKS tak bisa lagi membusungkan dada dan mengatakan “PKS bebas korupsi”. Begitu juga pengakuan Ilham bahwa ia menyetor mahar 8M ke PKS dalam pilkada sulses menunjukkan PKS sama dengan partai yang lainnya. PKS gagal memetik keuntungan di 2014.
Bagaimana dengan Golkar. Golkar nampaknya memang memilih nasibnya sendiri. Nekat mengusung Ical sebagai calon presiden membuat Golkar terjebak dalam mengkerdilkan suara-nya sendiri dalam pemilu. Jika dulu diprediksi menjadi pemenang pemilu, nampaknya semakin dekat ke pemilu bisa jadi “penggemar” partai ini bisa jadi terus turun. Memang musti diuji secara statistik bagaimana pengaruh pencalonan Ical sebagai Presiden terhadap pemilih partai Golkar. Positif atau negatif? Yang jelas, Ical pede-nya tidak pernah nampak berkurang. Jika mengamati Ical saya selalu teringat cerita tentang jubah Raja Singa, “The Emperor’s new Clothes” karangan Hans Christian Andersen.
Fenomena Jokowi memang memberi keberuntungan bagi PDIP. Namun dari beberapa diskusi, ini juga menunjukkan PDIP banyak belajar. PDIP memberi kesempatan pada kadernya yang berprestasi untuk “naik kelas”. Hal yang semestinya juga dipelajari oleh partai-partai lain untuk tidak sekedar menjadikan partainya sebagai kendaraan sewaan.