Ada segitiga yang membentuk lingkaran segitiga setan anti perubahan.
Segi pertama adalah penguasa yang tak punya leadership dan tamak, segi kedua aparat yang korup dan inkompeten, dan segi ketiga adalah rakyat yang penakut dan pencemooh. Ketiganya kemudian bersitemali dalam sistem yang bobrok.
Perubahan bisa dimulai dari salah satu segi-nya. Namun kadangkala dua segi yang lain bisa berubah atau mempertahankan situasi yang ada.
Banten selama beberapa waktu ini bisa kita sebut sebagai contoh baik bagaimana tiga segi ini bekerja menghasilkan kemiskinan, keterbelakangan yang berbanding terbalik dengan kemewahan hidup penguasa dan sebagian aparatnya.
Penguasa – formal dan informal- berdasarkan berbagai berita hidup amat mewah yang diduga dari hasil korupsi. Aparat sebagian inkompeten dan juga korup karena mereka menerjemahkan keinginan penguasa dan mengambil sebagian untuk mereka. Rakyatnya sebagian besar hidup miskin dan tak berani bicara walaupun hidup sulit. Media lokal yang diharapkan menjadi penyambung lidah sulit bergerak karena ancaman golok dan iklan. Ulama sulit bergerak karena ketidakmandirian finansial dan kadung menikmati fasilitas umrah berbiaya dinas dari sang penguasa. Akademisi juga takut dan enggan bicara karena terperangkap relasi ekonomi politik dengan penguasa politik.
Hal ini tak berbeda dengan kondisi Banten khususnya di Lebak tahun 1850-an yang diceritakan Multatuli dalam Max Havelaar. Di novel berbasis realita tersebut digambarkan bahwa rakyat hidup miskin dan diambil kerbaunya oleh Bupati. Kerbau bukan sekedar harta, tapi alat untuk mencari nafkah. Kerbau diambil menyebabkan rakyat tak bisa membajak sawahnya. Rakyat ketakutan, tak berani bicara bahkan tak berani menjadi saksi atas perampokan kerbau-nya oleh Demang, mantu sekaligus aparat Bupati Lebak. Sila lihat film Max Havelaar yang sempat dilarang di era orde baru di Youtube,
Bukankah tak jauh berbeda dengan Banten sekarang ketika uang rakyat (baca: APBN atau APBD) dipakai untuk membangun jalan yang beberapa bulan kemudian rusak. Rakyat bayar pajak, dan uang yang seharusnya cukup untuk membangun jalan yang bagus dirampok oleh penguasa dan pengusaha sehingga jalannya cepat rusak. Nah karena jalan rusak ekonomi rakyat terhambat. Nilai ekonomi hasil pertanian menjadi berkurang karena biaya transportasi menjadi tinggi. Tapi kemudian masyarakat tetap bayar pajak yang digunakan untuk bangun jalan yang kemudian rusak lagi dan begitu selanjutnya. Pengusaha untung karena mereka tak pernah di black list dan proyek selalu ada karena jalan cepat rusak sehingga ada proyek lagi. Penguasa untung besar karena dapat rente beberapa puluh persen yang mereka pakai buat bangun hotel atau pom bensin yang wajib dipakai di kegiatan kedinasan — sehingga mereka untung lagi — dan begitu selanjutnya.
Rakyat selalu ketakutan dan tak berani bicara. Kuasa uang, golok dan otoritas membungkam setiap mulut yang bicara.
Tak berbeda jauh kan?
Bedanya dulu pameran kekayaan penguasa dilakukan dengan pesta besar-besaran ketika ada kunjungan Bupati Cianjur yang merupakan kerabatnya, sekarang kemewahan ditunjukkan dengan deretan mobil supermahal di garasi rumah.
Di beberapa daerah segitiga ini banyak yang mulai patah.
Katakanlah di Jakarta di bawah Jokowi. Suka atau tidak, Jokowi cukup konsisten mencari tahu kondisi rakyat di lapangan dan melakukan kontrol terhadap bagaimana aparatnya bekerja. Setiap Jokowi datang rasanya tak ada siswa SD yang diliburkan dan ditugaskan melambaikan tangan, baliho bergambar Jokowi untuk menyambut atau anak pramuka yang musti menunggu berjam-jam dan tidak sarapan.
Namun Jokowi hanya satu segi. Dia masih harus menghadapi sebagian birokrat yang korup dan inkompeten dan juga sebagian masyarakat yang pencemooh walaupun tidak penakut.
Tengok saja persitiwa sidak Jokowi di Kantor Walikota Jakarta Timur dan mencoba pelayanan satu atap. Jokowi mendapat info langsung dari warga soal lama pelayanan yang tak sesuai SOP. Ketika melakukan simulasi, komputer untuk melayani juga tak bisa dibuka karena pemegang passwordnya tak ada di lokasi.
Namun tak semua yang dilakukan Jokowi diapresiasi baik masyarakat. Sebagian mencemooh dan malah menuding Jokowi sidak di jam makan siang sehingga wajar kalau petugas tak berada di tempat. Media memang menuliskan peristiwa ini berbeda, Kompas menuliskan peristiwa ini pukul 12.45, Detik.com menulisnya pukul 12.50, dan Tempo menulisnya pukul 13.00. (Hmm nanti saya tanya Honna Sensei yang kabarnya ikut blusukan deh soal waktu sebenarnya)
Tapi berita semua media memiliki esensi yang sama bahwa ada pelayanan terhadap masyarakat yang mesti diperbaiki dan Jokowi melakukan kontrol agar aparatnya bekerja dengan baik. Bukankah itu baik untuk masyarakat?
Perhatikan pula video diatas, apakah Jokowi marah-marah sampai bilang “bodoh”misalnya atau betul-betul membanting berkas? Rasanya nggak tuh. Apalagi marah-marah karena urusan pribadi atau karena pidatonya nggak didengarkan bawahan yang ketiduran.
Saya pikir kalau saja M. Nuh atau Djoko Santoso melakukan sidak ke bagian pengelolaan beasiswa luar negeri, pasti banyak masalah keterlambatan pencairan berbulan-bulan yang bisa mengakibatkan dicancelnya enrollment karyasiswa tak banyak terjadi dan terus berulang. (ha ha curcol)
Jadi saya bingung kalau Jokowi masih dicemooh padahal itu yang mestinya dilakukan seorang pemimpin. Jangan-jangan masyarakat kita yang memang tak mau nasibnya menjadi lebih baik 😉
Kyoto, 19 Oktober 2013
catatan, korup = abuse of power