Tadi sambil minum kopi di kantin, saya dan Pak Ishaq berbincang tentang “Dinosaurus”.

Tentu bukan makhluk ini secara harafiah, namun merujuk kepada segala sesuatu yang masih ada namun menuju kepunahan. Bisa berupa kebiasaan, institusi, perilaku, dan sebagainya.

Sebagai contoh. Dulu kampus penuh dengan para aktivis yang kuliahnya bisa enam, tujuh atau delapan tahun. Menjadi mahasiswa tua adalah kebanggaan, bisa jadi legend atau senior. Ditakuti mahasiswa baru yang lucu-lucu, jago demonstrasi, mendoktrinasi dalam ospek dan bisa maen kartu di kantin sepuasnya karena tak ada kuliah lagi, cuma tunggu panggilan pembimbing skripsi sebulan sekali.

Dunia mahasiswa sekarang berbeda. Mahasiswa sekarang lulus secepat-cepatnya, tenggelam dalam dunia akademik, fokus ke kegiatan enterpreneur atau belajar dan sibuk berburu lowongan beasiswa atau kerja.

Nah, mahasiswa yang bertipe pertama, kuliah gak lulus-lulus inilah bisa kita sebut dinosaurus. Sebentar lagi punah.

Contoh lain, kampus-kampus besar milik pemerintah di Indonesia, menyandang legenda sebagai kampus perjuangan ini dan anu, memiliki jaket almamater yang legendaris, alumninya biasa jadi menteri, namun dalam beberapa tahun ke depan bisa kalah oleh kampus-kampus baru yang lebih langsing, lincah dan agresif.

Kampus  tipe pertama tadi terjebak dalam dunia administratif sehingga anak-anak muda bergelar doktor dan berjaringan internasional serta peneliti-peneliti top dunia malah tak bisa jadi dosen disana. Guyonannya, kalau Samuel Huntington melamar jadi dosen PTN di Indonesia, apa iya bisa diterima?

Sekarang muncul kampus-kampus baru, berani membayar dosen dengan amat layak, memberi ruang kreativitas, sarana kerja yang memadai, perpustakaan yang baik, laboratorium yang lengkap. Dosen-dosen disana cukup fokus bekerja tak perlu mengiba meminta tunjangan kinerja atau antri serdos karena sudah dibayar dengan baik, berlipat-lipat dari kolega mereka di kampus pemerintah. Peneliti top yang sudah malang melintang di institusi berskala global tak terbebani dengan prosedur administratif yang rumit ketika masuk jadi dosen, cukup memiliki track record baik di dunia akademik, tinggal bekerja dengan baik saja. Salah satu kampus pembunuh dinosaurus ini bisa dibaca di tulisan saya yang ini.

Sementara di kampus-kampus pemerintah, dosen-dosen masih sibuk menuntut tunjangan kinerja karena gaji Doktor dari Harvard bisa kalah oleh Staf administrasi lulusan S1. Bahkan di banyak kampus, dosen-dosen tak punya meja kerja sendiri, apalagi lemari buku. Kalau ada penelitian dari dana pemerintah, lebih sibuk mencari-cari kwitansi daripada memikirkan isi penelitian. Setahun bisa dua kali diteror pemerintah untuk mengisi berbagai formulir online. Mengembangkan ilmu yang multidispliner juga diancam tak bisa dipakai naik jabatan karena dianggap tidak linier. Dosen yang tidak mau pusing,  berhenti meneliti, memilih membuka konsultan palu gada (apa elo mau gue ada), jadi selebritis di tipi atau sibuk jadi konsultan politik.

Jika tak berbenah, dalam beberapa tahun ke depan, saya juga membayangkan kampus-kampus pemerintah, termasuk “the fantastic four” juga akan menjadi “dinosaurus”.

Bagaimana menurut anda?

2 Comments »

  1. Jika untuk berbenah sangatlah susah pak…Kampus Swasta dan Pemerintah saja sistemnya sudah bebreda jauh, swasta mengedepankan mutu bertujuan untuk menarik calon mahasiswa sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan keuntungan material. Sedangkan kampus swasta cuma menjalankan tugas yang sudah ada tanpa ada target pencapaian seperti di kampus swasta…mungkin solusinya ya perbaiki kebiasan masyarakat Indonesia,, kita sudah cukup tertinggal dengan negara tetangga terkait pendidikan…hehe

    • Iya Pak. Tapi swasta yang bagus juga mungkin belum banyak, karena butuh dana yang amat besar. Pemerintah memang mesti berbenah, dunia Pendidikan Tinggi Indonesia ini ibarat dipaksa berlari tapi ekornya dipegangin, he he. Soal mengubah kebiasaan saya setuju banget 🙂

Tinggalkan Balasan