Kemarin saya terlibat diskusi ringan namun berat dengan dua orang senior. Satu dosen di salah satu PT di Indonesia, setiap tahunnya mengajar selama 3 bulan di salah satu PT di Jepang. Alumni salah satu nobel university. Kawan satu lagi, alumni PT yang sama di Indonesia, lulusan terbaik salah satu Universitas di Indonesia ketika S1 dan memilih bekerja sebagai peneliti di luar negeri.

Diskusi kami menyerempet soal pendidikan tinggi di Indonesia. Nampaknya belum ada tanda-tanda perubahan positif.

Paradigma lama bahwa dosen hanyalah guru di perguruan tinggi nampaknya belum berubah. Pasalnya adalah upaya pemerintah mengarahkan dosen untuk juga menjadi peneliti justru terbentur hal-hal mendasar.

Soal ruang kerja yang nyaman untuk bekerja saja misalnya belum tuntas di sebagian besar perguruan tinggi kita. Persepsi dosen sebagai guru membuat penyediaan ruang kerja di kampus seakan-akan menjadi sesuatu yang mewah. Padahal ini adalah fasilitas standar di kampus-kampus negara maju.

Padahal idealnya dosen yang juga peneliti harusnya banyak berdiam di biliknya untuk membaca buku, membimbing, mengoreksi tulisan atau tugas mahasiswa dengan tenang, atau memproduksi buah pikirannya.

Kalau hal semacam ini saja masih jauh dari terpenuhi, lantas bagaimana membuat dosen-dosen untuk memproduksi tulisan berkualitas di jurnal internasional bereputasi?

Jadi jika dulu Dirjen Dikti dengan edarannya membandingkan kuantitas publikasi ilmiah Indonesia dengan Malaysia, maka sebaiknya Dirjen Dikti mengirim tim untuk datang dan berguru ke Malaysia, mempelajari bagaimana dosen di Malaysia bisa demikian produktif menghasilkan karya ilmiah padahal Indonesia punya dosen dengan jumlah lebih banyak.

Nah, nanti mungkin Dirjen Dikti di Malaysia juga bisa mengirim tim ke Indonesia, belajar tentang kewirausahaan. Mereka akan mempelajari bagaimana bisa dosen-dosen Indonesia sukses membangun bisnis kecil sampai besar untuk menutupi kebutuhannya yang tak bisa dipenuhi oleh pendapatan dari kampus 😉

Oh ya, tulisan ini bukan rangkuman diskusi kemarin. Cuma apa yang terpikir detik ini saja. Fiuh.

2 Comments »

  1. jadi ingat jurusa saya, ada 1 ruangan utk 2 dosen, mungkin krn jurusan baru dan gedung masih tahap pembangunan jadi terpaksa seperti itu. moga terbatasnya ‘bilik’ tdk menghentikan dosen utk berkarya.

    • Wah itu keren. Saya pikir di beberapa PTN sekalipun masih banyak dosen yang meja kerjanya bareng2, jadi akhirnya banyak mengerjakan pekerjaan di tempat lain. Jadi ketika diberlakukan kebijakan wajib hadir di kampus setiap hari dan diabsen pake mesin fingerprint, dosen2 bingung mesti duduk di mana.

Tinggalkan Balasan