Sensei dan Pembimbing
Besok Sensei mengajak bertemu. Ia akan transit di Cengkareng sebelum melanjutkan perjalanan ke Jepun. Sensei tetaplah Sensei walaupun saya bukan lagi mahasiswa bimbingannya lagi semenjak lulus tahun lalu. *** Saya […]
Catatan harian seorang Abah
Besok Sensei mengajak bertemu. Ia akan transit di Cengkareng sebelum melanjutkan perjalanan ke Jepun. Sensei tetaplah Sensei walaupun saya bukan lagi mahasiswa bimbingannya lagi semenjak lulus tahun lalu. *** Saya […]
Besok Sensei mengajak bertemu. Ia akan transit di Cengkareng sebelum melanjutkan perjalanan ke Jepun.
Sensei tetaplah Sensei walaupun saya bukan lagi mahasiswa bimbingannya lagi semenjak lulus tahun lalu.
***
Saya menulis topik ini karena mendapatkan beberapa curhat dari beberapa mahasiswa paskasarjana di Indonesia. Ya, entah kenapa persoalan mereka sama: kesulitan bertemu pembimbing sekaligus mendapatkan bimbingan.
Dosen Indonesia yang sulit ditemukan stand by di kampus membuat mahasiswa sulit menemukannya. Seorang kawan sengaja membangun hubungan khusus dengan satpam kampus untuk mendapatkan informasi tercepat dan terakurat kapan sang pembimbing ada di kampus.
Kolega lain kesulitan mengatur jadwal sidang data karena dialah (dan bukan sekretariat) paska yang mengatur jadwal sidang. Bayangkan mengatur lima atau enam orang sibuk untuk berkumpul dalam posisi relasi kuasa yang lemah. Ujungnya bisa keluar dana untuk membelikan tiket si penguji atau pembimbing.
Karena itulah lama-kelamaan saya memahami kenapa mahasiswa paskasarjana yang pejabat (bupati, anggota dpr, walikota, dsb) bisa lulus cepat dari mahasiswa biasa. Mereka lebih mampu memfasilitasi pembimbing dan penguji.
Tentu saja butuh data yang lebih serius mengupas persoalan ini.
Kembali ke Sensei.
Hubungan mahasiswa dan pembimbing (Sensei) di Jepun seperti anak dan orangtua.
Ini bisa positif atau negatif.
Positifnya, Sensei membantu urusan mahasiswanya di aspek akademik maupun non akademik. Bagi saya misalnya, Ia membantu urusan sekolan anak, membantu kesulitan finansial (bukan sebaliknya), dan lain-lain.
Ia mengundang kami para mahasiswanya untuk makan bersama dan kadang memberi otoshidama (angpau) untuk anak-anak saya 🙂
Soal bimbingan, Sensei mengatur ritme sesuai rencana studi kami. Kami mahasiswanya diminta mengajukan daftar buku yang dibutuhkan yang kemudian ia belikan dengan anggarannya sebagai dosen. Saya yang memang ingin lulus tepat waktu mendapat treatmen khusus dan bimbingan intensif. Disertasi dibahas ketat, kalimat perkalimat.
Maka ketika ada pesta zemi (istilah sekelompok yang diimbing Sensei) di rumah Sensei, saya dan Sensei malah diskusi intens di lantai dua.
Ada juga negatifnya, mahasiswa sulit mengatakan tidak kepada Sensei. Ini seperti tabu. Jangan pernah melawan Sensei. Ada beberapa kasus kegagalan akademik yang timbul dari pertentangan antara mahasiswa dan Sensei.
***
Saya sendiri lulus tepat waktu dan mendapat hadiah istimewa setelah wisuda. Sebuah pena made in Japan dan sebutir melon yang enak sekali.