Kemarin pagi saya dan empat belas kolega lainnya dilantik menjadi anggota Dewan Riset Daerah Provinsi Banten.

Pelantikan ini di tengah sorotan publik yang menandai ekspektasi sekaligus sikap skeptis terhadap keberadaan DRD dan anggota DRD.

Saya sendiri mendapatkan kepastian pelantikan beberapa waktu lalu ketika ditelepon seorang staf di balitbangda yang mengecek nama dan gelar dan malam sebelum pelantikan menerima surat undangan.

Bahwa sebelumnya ada rumor ini dan itu, saya cenderung ndak ambil pusing. Saya berada dalam posisi tidak pernah akan kasak-kusuk untuk sebuah posisi. Apalagi setelah sebelumnya lelah ketika nyaris menempati sebuah posisi di kampus namun batal karena satu dan lain hal. Jika Gus Dur menyatakan bahwa tak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian, maka prinsip saya, tak ada posisi yang perlu dikejar mati-matian. Posisi yang harus dikejar ketika mati beneran (bukan mati-matian) adalah khusnul khotimah, bukan khusnul yang lain 🙂

Lagipula saya pernah di DRD tahun 2009-2012. DRD yang menurut sahabat saya Kang Rohman (28/1 Radar Banten) menjadi ajang kongkow-kongkow para pejabat, akademisi, aktivis dan intelektual belaka.

Lantas kenapa saya menerima menjadi anggota DRD?

Sederhana saja, dunia saya adalah dunia riset. Saya pernah tinggal di negara yang kemajuannya karena riset. Saya belakangan ini getol menulis tentang dunia pendidikan tinggi dan rendahnya kualitas dan kuantitas riset-riset kita. Sejujurnya, saya sedang mengalami culture shock ketika jangankan fasilitas riset, bahkan untuk bekerja (baca: membaca, menulis, dll) di tempat kerja sekalipun harus berebut meja. (meja ya, bukan kursi, he he).

Screenshot 2016-02-24 16.10.03

Nah ketika kesempatan berada di posisi mendorong riset menjadi penting sebagai dasar lahirnya kebijakan yang baik di Banten dengan dukungan otoritas dan anggaran yang memadai, saya tak punya kuasa menolak. Ini kesempatan berbuat baik man !.

Contoh kecilnya, bayangkan kalau bisa mempertemukan riset2 canggih soal energi di kampus2 di Tangerang dengan desa-desa di Pandeglang atau Lebak yang butuh energi alternatif ! keren kan!

Screenshot 2016-02-25 10.34.54

Screenshot 2016-02-25 10.33.26

Tapi tentu saja saya tak punya posisi menilai kepantasan diri sendiri di DRD, mangga dilihat profil saya di sini. Kalo gak pantes, punten pisan 😉

Nah saya bersyukur karena kolega-kolega saya di DRD sekarang adalah para senior dan sebaya yang rasanya memiliki kapasitas di berbagai hal: ada antropolog senior, ahli rayap, pakar dan aktivis literasi, ahli pemerintahan, ahli pertanian, ahli penanggulangan bencana, peneliti korupsi sekaligus aktivis anti korupsi, pakar media, pakar pemberdayaan masyarakat dan lain-lain. Saya bisa banyak belajar :).

Saya sendiri mesti menjadi flag carrier Untirta, membawa nama baik setidaknya henteu ngisinkeun.

Sebetulnya posisi di DRD lamun ceuk urang Pandeglang mah siga “katempuhan buntut maung”. Berada dalam sorotan dan menghadapi momentum yang ndak tepat: Pilkada Provinsi Banten, sehingga bisa jadi apapun yang dilakukan diframing secara politis.

Dan ketika tudingan tukcing (ditunjuk cicing), makan gaji buta, pemburu rente atau tuduhan beraroma politis muncul, saya (baca: kami) sepakat menjawabnya dengan bekerja.

 

Beberapa jam setelah dilantik kami langsung bekerja dengan Balitbangda, berdiskusi dengan utusan SKPD dan utusan perguruan tinggi tentang rencana penelitian setahun ke depan. Setidaknya ini awal interaksi dan menyerap berbagai hal dari kawan2 berbagai SKPD dan kampus2 di Banten.

Saya sendiri tiba-tiba ditodong harus menjadi pembicara menggantikan Pak Zaenal Muttaqien dari Bappeda (kayaknya kenal deh) hadeuh.

abah pembicara

***

Dan Ayu di rumah hanya bisa ngomel karena Abahnya tiga hari gak pulang, “Abah pulang dong, aku mau ikut lomba pidato anti korupsi hari sabtu, minta diajarin“, hadeuh….

Bismillah.

 

2 Comments »

Tinggalkan Balasan