Kenapa 60% Riset tentang Indonesia ditulis Orang Asing?
Tulisan ini saya buat dalam perjalanan ke Pattaya. Ya akan menginap semalam di sebuah pulau di sekitar sana sebelum kembali ke tanah air. Sebelumnya sekira dua minggu saya tinggal di […]
Catatan harian seorang Abah
Tulisan ini saya buat dalam perjalanan ke Pattaya. Ya akan menginap semalam di sebuah pulau di sekitar sana sebelum kembali ke tanah air. Sebelumnya sekira dua minggu saya tinggal di […]
Tulisan ini saya buat dalam perjalanan ke Pattaya. Ya akan menginap semalam di sebuah pulau di sekitar sana sebelum kembali ke tanah air.
Sebelumnya sekira dua minggu saya tinggal di kantor Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Bangkok. Kantor yang merangkap apartemen, dua lantai. Ada ratusan buku tentang Asia tenggara, khususnya negara-negara di Mainland Asia. Ya, CSEAS punya dua kantor besar di Asia Tenggara, satu di Jakarta dan satu di Bangkok. Selain menjadi field station bagi para peneliti, tempat ini jadi persinggahan buku-buku tentang Asia tenggara sebelum akhirnya dikirim ke perpustakaan CSEAS di Kyoto.
Pekerjaan kepala kantor CSEAS salah satunya juga adalah mengumpukan buku-buku tentang Asia Tenggara. Di Jakarta misalnya, saya dulu kerapkali menemani Professor Okamoto untuk belanja buku-buku langka dari pedagang entah dari Senen, Blok M atau Taman Mini.
Jangan heran rasanya koleksi buku dan majalah tentang Indonesia amat sangat lengkap, jika dibandingkan dengan perpustakaan di Indonesia. Katakanlah mencari edisi lengkap majalah Sabili atau Tempo bisa dilakukan di perpustakaan CSEAS di Kyoto. Apakah ada di perpustakaan UI atau UGM atau Untirta?
***
Hal-hal semacam ini yang sebetulnya ingin saya sampaikan ketika para pejabat menyampaikan pandangannya yang seringkali jump to conclusion. Katakanlah Dirjen SDM Dikti yang mengatakan bahwa “..60% tulisan tentang Indonesia ditulis orang Asing”. (Republika, 17/3)
Judul tulisan ini mencoba memberi penjelasan yang berangkat dari sudut pandang orang dalam: kamsudnya dosen biasa. Tulisannya ndak bermaksud memberi penjelasan yang menyeluruh, nanti di jurnal itu mah. Judulnya saja yang dibuat bombastis seperti pernyataan Dirjen yang juga bombastis. Kali ini tulisan ya Pak, nggak video dulu 😉
Pak Dirjen mengatakan:
“Padahal menurutnya, dengan banyaknya jumlah dosen dan mahasiswa di Indonesia, seharusnya banyak riset dan inovasi yang dihasilkan. Ia menyebut, banyak potensi riset di Indonesia yang dapat diangkat untuk meningkatkan daya saing bangsa.”
Statemen di atas dipakai sebagai dasar bagi program World Class Professor 2017, mendatangkan Professor kelas dunia untuk bertugas di beberapa kampus Indonesia terpilih. Tugas mereka, sebagaimana dikutip Republika adalah:
“…melaksanakan perbaikan kualitas artikel, joint publication untuk disubmit ke jurnal internasional bereputasi, melaksanakan joint supervision bagi mahasiswa S2 dan S3.
Serta melakukan joint research dengan dosen muda maupun senior, joint study program; membantu analisis data bagi mahasiswa S3, melaksanakan program pemagangan penelitian bagi mahasiswa S3 dan dosen di laboratorium World Class Professor (WCP), membantu PUI-PT, PT dan LPNK membuat proposal untuk memperoleh dana penelitian atau pengembangan proyek pendidikan yang akan diajukan ke pemerintah masing-masing atau ke penyandang dana internasional, membantu set-up global satellite laboratory di PUI-PT dan mencantumkan PUI-PT di situs grup WCP sebagai bagian dari global satellite laboratory.”
Sekilas program ini amat baik. Meningkatkan kualitas para dosen dan laboratorium. Tapi sebentar, bukankah problem pendidikan tinggi kita tidak cukup sederhana sehingga selesai dengan mendatangkan Profesor kelas dunia?
Katakanlah begini, problem pertama kita misalnya pustaka.
Sistem pustaka mereka (baca: kampus asing) amat baik dan pro ilmu pengetahuan. Kita yang pernah belajar di kampus LN tentu sudah paham bahwa pustaka katakanlah bukan sebuah persoalan.Perpustakaan sudah cukup lengkap dan jika ada buku yang kita butuhkan dan tidak tersedia biasanya bisa memesan di perpustakaan lain (yang berjaringan) atau memesan untuk dibelikan. Kalau saya dulu bahkan bisa dibelikan dari anggaran Professor, ditanya: “Hamid Kun, kamu butuh buku apa tahun ini?“.
Kemewahan yang ketika pulang dan menjadi pengajar dengan status Associate professor (Lektor Kepala) di kampus dalam negeri, jelas sulit diulangi. Mengajukan pembelian buku-buku asing ke perpustakaan? He he
Maka biasanya hampir semua dosen memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya, buku-buku yang dibeli dari kocek pribadi yang sebetulnya untuk kepentingan mengajar dan meneliti. Di kampus, kecuali punya jabatan struktural tak ada lemari buku yang cukup menampung.
Pilihan logis ketimbang terus menerus ngedumel tanpa solusi bukan?
Jadi katakanlah Samuel Huntington datang ke Indonesia jadi mitra World Class Professor dan kemudian meminta setumpuk buku berbahasa inggris untuk dibeli apakah bisa dikabulkan? Apakah Profesor lokal juga meminta setumpuk buku untuk mendukung pendidikan dan pengajaran, apakah bisa dikabulkan?
(Mohon tidak dijawab dengan, kan bisa download dari Sci-hub, he he)
Indikator perbaikan yang sederhana bukan? Pembelian buku harus lebih penting daripada pernambahan bangku taman, pemasangan cctv dan videotron atau pengecetan tembok yang belum kusam.
Oh ya, pernyataan Dirjen soal 60% riset Indonesia ditulis ilmuwan asing di atas juga bisa dijelaskan dengan cukup memadainya dana-dana penelitian yang dimiliki dosen asing. Mustahil mereka menulis dengan cukup baik tanpa data yang akurat. Data akurat hanya bisa didapatkan dengan field research atau bagi ilmu tertentu bisa juga membeli data yang harganya cukup mahal. Teman-teman saya jagoan ahli asia tenggara dari Jepang bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan di Jakarta, Bangkok atau Manila. Tentu mereka bisa meneliti dengan tenang, membangun network, menyewa apartemen, membeli buku-buku karena ada dana yang memadai. Nggak mungkin sambil puasa atau irit-iritan menunggu dana gak cair-cair sambil membuat kwitansi dan nota palsu.
Ditambah hak untuk sabbatical setiap beberapa tahun, cuti untuk menulis atau penelitian dengan tetap mendapatkan pendapatan secara penuh, bahkan mendapatkan dana penelitian.
Lha kebijakan kita belum ke arah sana jeh.
Penelitian saya ndak mau komen. Sudah terlalu banyak masalah, utamanya administratif. Kalau ingin tahu lebih banyak terjun saja ke grup dosen Indonesia di Facebook yang ebranggotakan belasan ribu orang, banyak cerita sedih di sana.
Sabbatical sebetulnya sudah menjadi kebijakan dalam PP 37 2009 tentang Dosen. Dosen berhak mengajukan cuti untuk penelitian secara berkala, empat tahun sekali bagi dosen LK dan Gubes, lima tahun sekali bagi dosen AA dan L.
Namun apakah sudah ada pedoman implementasinya? Rasanya belum.
Ada memang program SAME Dikti, tapi tentu alokasinya amat terbatas. Yang saya maksud adalah implementasi di kampus sehingga dosen memang bisa mengajukan hak sabbatical tersebut secara berkala.
Yang sebetulnya juga menyedihkan adalah kebijakan maksimal satu bulan berada di Indonesia untuk penelitian dosen yang kuliah dengan beasiswa luar negeri Dikti. Saat menempuh S3 di luar negeri sesungguhnya adrenalin dosen sedang berada di puncak. Kesempatan untuk mendapatkan data lapangan bagi mereka yang penelitiannya di Indonesia adalah kesempatan untuk mendapatkan data berkualitas untuk menjadi karya bermutu tinggi.Sayangnya pendekatan kementerian bersifat administratif dan terlalu mencurigai karyasiswa.
Padahal membatasi satu bulan untuk field research sangat membatasi. Ancamannya tidak main-main, besaran beasiswa LN diubah menjadi sebesar beasiswa DN.
***
Dengan dua ilustrasi di atas saja, jelas bahwa wajar dan masuk akal jika karya-karya terbaik tentang Indonesia masih dan masih akan ditulis oleh peneliti asing.
Dan mendatangkan Profesor asing membenahi hal-hal di atas hanya mengobati satu kaki dari dua kaki yang pincang. Tetap tertatih-tatih.
Ujian apakah kaki yang pincang keduanya sudah sembuh, sesungguhnya mengundang World Class Professor tadi untuk menjadi Profesor Tenure (Dosen tetap) di Indonesia, dengan standar yang sama dengan Professor (Baca: Dosen) di Indonesia, termasuk menunggu rapelan serdos dan finger print dua kali sehari seperti minum antibiotik. Jika mereka mau berarti sistem kita sudah baik dan pendidikan tinggi kita bisa betul-betul berlari kencang. Jika tidak dan mereka senyum-senyum simpul, maka sistem yang harus dibenahi.
Begitu Bos…
Om H
Setuju wholeheartedly
Beberapa kampus ternama di Australia bahkan khusus punya kajian ‘Indonesian Studies’. Tidak heran jika perpus mereka punya satu block khusus research reports khusus bertajuk Indonesia.
Jangan sampai tajuk dibawah ini, yang sedang jadi salah satu top headline news, juga jadi dominasi peneliti asing.
http://ejurnal.fisip-untirta.ac.id/index.php/JAP/article/download/66/57
Mesti jadi riset AHR soon.
🙂
Cheers
R
Jossss… haha..