Lagi-lagi saya geleng-geleng kepala.

Kemeriting (Kementerian Riset, teknologi dan perguruan tinggi) ini memang sedang demen-demennya bikin aturan instant, tidak berbasis persoalan riil yang ada di dunia pendidikan tinggi, dalam hal ini negeri.

Sebagaimana judul tulisan ini, beberapa media melansir kesepakatan KeMenPAN RB dan Kemeriting tentang rekrutmen diaspora Indonesia menjadi dosen PNS tanpa test.

Baca: JPNN, Okezone, dan Republika.

Screenshot 2018-03-27 19.46.08.png

Ada beberapa komentar saya tentang hal ini.

  1. Rekrutmen dosen PNS memang secara keseluruhan bermasalah, penekanan kepada test dan bukan portofolio di bidang akademik bidang yang spesifik, hanya akan menghasilkan rookie dan bukan ilmuwan yang sudah jadi. Seleksi dosen PNS cenderung menghasilkan birokrat yang kemudian ditempatkan sebagai dosen, bukan mencari ilmuwan.
  2. Pemerintah terutama Kemeriting harusnya mencari tahu, mengapa talenta-talenta terbaik tidak tertarik menjadi dosen, tapi memilih bekerja di sektor swasta atau memilih menjadi dosen di luar negeri. Kenapa pekerjaan dosen di Indonesia less atractive?
  3. Salah satu jawaban untuk nomor (2) adalah rendahnya penghargaan terhadap dosen di Indonesia. Dengan requirement minimal master dan didorong untuk doktor, tingkat penghasilan tidak berbeda, bahkan bisa lebih rendah dibandingkan guru yang requirementnya S1. Untuk daerah seperti DKI Jakarta, di mana guru mendapatkan tunjangan daerah yang amat besar, pendapatan dosen PNS jauh lebih kecil. Sebagai catatan, tunjangan profesi dosen persis sama dengan tunjangan profesi guru, padahal jelas requirement, tugas dan kewajiban berbeda.
  4. Pemerintah dalam hal ini utamanya Kemeriting cenderung memaksakan target-targetnya dipenuhi dosen dan memberikan ancaman, tapi tidak memberikan reward sepadan. Sebagai contoh, dosen berjabatan fungsional lektor kepala (Associate Professor) diharuskan menghasilkan publikasi internasional dan atau di jurnal terakreditasi, dan jika tidak maka tunjangan profesi dosennya dihentikan (baca permenristek dikti 20 2017). Padahal tidak ada reward atau tunjangan khusus bagi lektor kepala.
  5. Tunjangan fungsional lektorkepala (Associate Professor) hanya Rp. 900.000,-. Jadi jika tunjangan profesi dosen dihentikan, pendapatannya jelas lebih kecil dari lektor atau asisten ahli. Diskriminasi dan aneh banget serta gak masuk akal. Gemes deh…
Screenshot 2018-03-27 19.15.23
Tunjangan Fungsional Dosen, Perpres 65 2007

6. Nah tunjangan di point (5) diatur dalam Perpres No. 65 2007, aturan yang sudah berumur 11 tahun. Padahal tunjangan fungsional peneliti terbaru di tahun 2012. Mendesak bagi pemerintah dalam hal ini Kemeriting mengusulkan revisi PP No. 65 2007 jika memang memperhatikan kesejahteraan dosen.

screen-shot-2013-11-27-at-6-42-33-pm
Tunjangan Fungsional Peneliti

7. Jadi sebelum memanggil pulang diaspora untuk menjadi dosen di Indonesia, saran saya perbaiki tingkat kesejahteraan dosen PNS. Paling tidak tunjukkan niat baik dengan menaikkan tunjangan fungsional dosen minimal sebesar peneliti. Atau kalau mau langsung bikin survey ke Malaysia atau Brunei, buat kesejahteraan dosen minimal sebesar di negara-negara itu. Kalau ndak  mereka (baca: diaspora) akan balik lagi ke negara tempat mereka sekarang bekerja. Percayalah.

8. Atau setelah membaca tulisan saya ini, para diaspora gak jadi dan gak mau balik ke Indonesia? he he, jangan marahin saya ya Pak Menteri dan Pak Dirjen, maklum saya hanya nubitol.

catatan: tulisan ini terinspirasi demo ojek online (27/3) yang bisa memaksa presiden menemui mereka. Hal yang belum pernah bisa dilakukan sekelompok “intelektual” yang berprofesi sebagai dosen.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.