Banyak yang tidak mengerti, seakan-akan akan dimasukannya dosen asing dengan gaji sekitar Rp.65 juta/bulan hanya sekedar persoalan keirian dosen pribumi terhadap mereka.

Padahal naiknya isu ini adalah gunung es dari persoalan manajemen SDM pendidikan tinggi kita yang betul-betul buruk.

Dengan isu ini, sebetulnya, semua sepakat bahwa gaji tinggi (baca: pantas) adalah prasyarat mutlak bagi dihasilkannya produktivitas ilmiah yang pantas. Sederhananya, dosen cukup ngurusi ngajar dan riset tanpa mencari penghasilan tambahan di luar sana. Sibuk jadi anggota komisi ini dan itu, bisa menolak tampil di TV untuk jadi komentator segala hal, atau gak mesti jadi calo tanah.

Kalau memang Kemeriting (Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi) memang menganggap gaji dosen kita sudah pantas, berikan saja gaji yang sama untuk dosen asing. Jika menganggap itu tak pantas dikaitkan dengan target yang hendak dicapai, berarti memang selama ini gaji dosen Indonesia tak pantas.

Gak mungkin kalau dosen asing protes soal gaji trus dibilang bahwa pintu rezeki itu banyak, silahkan ngobyek, harus ikhlas dan mari bersyukur kan?

Inilah ketidak adilan, mental inlander dan diskriminasi yang ada di bawah sadar para pengambil kebijakan pendidikan tinggi kita.

Alih-alih menaikkan tunjangan fungsional dosen yang sebelas tahun gak naik (Baca Perpres 65 tahun 2007), kebijakan terakhir terhadap dosen pribumi adalah mengancam menghentikan tunjangan sertifikasi dosen bagi lektor kepala (Baca Permenristekdikti 20 2017) terkait publikasi. Jadi mental inlandernya kentara sekali, menginjak bangsa sendiri dan memuja asing setinggi-tingginya.

Manajemen SDM pendidikan tinggi kita jadi terlihat betul-butul buruk, menggaji dosen pribumi terlalu rendah tapi mengharapkan mereka berproduksi seperti dosen asing yang (akan) dibayar tinggi.

Ada juga tanggapan di beberapa orang yang pernah mengajar di negara asing, bahwa angka segitu sudah pantas, tidak berlebihan. Misalnya orang ini:

Screenshot 2018-04-23 08.17.05

Lha kalau logika Kemeriting diaminin, maka jika gaji HA sebagai dosen asing sebesar 50-60 juta maka gaji dosen pribumi Jepangnya cuma seperlimanya atau  5-10 juta? Nggak kan Bro?

Itulah, butuh berpikir dan bukan hawa nafsu sebelum membuat posting atau berkomentar, jadinya ngawur.

Dosen asing yang masuk ya mestinya ikut sistem di mana dia bekerja. HA digaji segitu ya karena segitulah standard gaji dosen di level dia di Jepang. Kalaupun lebih tinggi karena kualifikasi, reputasi dan portofolio yang lebih baik, bukan karena soal asing dan pribumi.

Lantas bagaimana?

Tentu saja saya ndak menolak dosen asing. Tapi mereka musti terintegrasi dengan sistem yang ada. Bukan diistimewakan dengan kebijakan double standard seperti sekarang. Kalau situasinya masih seperti sekarang ya berikan gaji seperti kepada dosen Indonesia. Kalau sakit ya disuruh berobat pake BPJS 🙂

Saya yakin banyak anak-anak muda Indonesia yang punya potensi besar jadi promising top scientist di masa depan. Tapi mereka mungkin merinding dan melipir duluan melihat dunia pendidikan tinggi kita yang ajaib. Jadilah memilih kerja di perusahaan swasta, ngajar di kampus luar, dan tempat-tempat lain yang memperlakukan secara pantas.

Jadi tantangannya ya  dengan membuat profesi dosen menjadi atraktif, dan digaji pantas. Kalau ndak ya mereka-mereka yang terbaik (Katakanlah alumni lpdp yang lulus dari kampus-kampus terbaik di dunia dan dibiayai negara selama kuliah) pasti akan memilih bekerja di sektor yang memperlakukan mereka dengan lebih pantas.

Begitu, btw gak usah bikin tagar-tagaran kan?

 

 

 

Tinggalkan Balasan