Catatan Perjalanan ke Indonesia (1)
Agak geli sebetulnya catatan perjalanan kali ini. Judulnya perjalanan ke Indonesia, serasa orang luar negeri saja, he he. Tapi memang sekarang sedang jadi warga Kyoto yang punya residence card, mendapat […]
Catatan harian seorang Abah
Agak geli sebetulnya catatan perjalanan kali ini. Judulnya perjalanan ke Indonesia, serasa orang luar negeri saja, he he. Tapi memang sekarang sedang jadi warga Kyoto yang punya residence card, mendapat […]
Agak geli sebetulnya catatan perjalanan kali ini. Judulnya perjalanan ke Indonesia, serasa orang luar negeri saja, he he. Tapi memang sekarang sedang jadi warga Kyoto yang punya residence card, mendapat subsidi dan segala hak sebagai warga disana. Nah semenjak tanggal 25 Februari ini sampai satu April ini aku melancong ke Indonesia untuk memulai penelitian di Sulawesi Utara, Menghadiri kegiatan Doshisha University di Unhas dan menjadi pembicara di International Seminar Socio-Political and Econoomoc Reform in Southeast Asia: Assesment and the Way Forward.
25 February
Tidur jam 2 pagi dan bangun jam 5 pagi. Setelah subuh langsung menuju Mototanaka Eki dilanjut ke Demachiyanagi. Ibun menggunakan sepeda ke Demachi untuk mencari ATM yang udah buka. Maklum kebiasaan gak nyetok uang tunai, pas mau berangkat panic cari cash buat bayar bis, he he.
Kami berpisah di Demachi dibawah guyuran salju tipis yang membasahi Kyoto. Romantis deh, seperti di pelm-pelm luar negeri. Aku naik bis bertarif 2500 yen pk. 06.15 menuju Kansai. Mengantuk berat cuma hati gemetar juga meninggalkan anak-istri di kampung orang sebulan lamanya. Terbayang Ayu dan Ilham yang sedang pulas. Apalagi Ayu sedang sakit gigi dan semalam menjerit-jerit kesakitan. Cuma aku percaya keluargaku berada di tangan masyarakat yang baik dan negara yang bertanggungjawab pada warganya.
Penerbangan berjalan lancar, transit di Korea dan sempat berbincang seru dengan beberapa orang Indonesia di Bandara. Pegawai BPPT yang baru selesai Doktor di Tohoku dan pekerja yang baru pulang dari Vladivostok Rusia.
Sampai di Jakarta sekitar pukul 11, kena delay di korea sekitar satu jam. Jadi batal mengejar makan malam bersama Okamoto Sensei, Pak Suaedy dan Mas Rozaki. Jadilah pulang ke rumah mertua di Kalibata. Tidur.
Setelah paginya mengupdate gossip bersama Dimas dan Mbak Onah, aku menyelesaikan beberapa urusan: mencukur rambut(sepulu ribu, 1/15 dibanding di Kyoto), potong celana empat biji, termasuk punya Ibun, benerin rantai jam Ibun (gagal) dan mengurus ATM yang hilang di bandara semalam. Sempat juga beli sepatu Bata dan tiket ke Manado di Kalibata city. Kegiatan padat hari ini diakhiri dengan minum kopi bersama Pak Suaedy.
27 February Manado
Pukul 3 sudah meluncur bersama Taksi ke Bandara menuju Manado. Sempat bertemu kawan lama yang kini kerja di Istana.
Pukul dua siang sampai manado dan dijemput Nono, kawan yang diperkenalkan Okamoto. Nono, anak muda yang pintar, rajin dan bersemangat. Dia seperti kamus berjalan Sulawesi Utara. Tahu segala hal dan memmiliki jaringan yang amat luas.
Di manado aku sempat tinggal di Hotel Cakalele (170rb) namun kemudian pindah ke Hotel Wijaya (165rb) yang lebih murah dan nyaman. Menarik juga mengetahui bahwa di Sulut Dosen dipanggil Mner, sama pengucapannya dengan Meneer dalam bahasa belanda. Ini menunjukkan betapa tingginya penghargaan terhadap kelompok intelektual.
Nono mengantarku berdiskusi dengan banyak tokoh, aktivis, akademisi dan birokrat di Manado dan Tomohon. Kami juga sempat mengunjungi Wenas Library di Tomohon. Disana aku memfotocopy banyak segala buku dan paper soal Sulut, sekoper penuh.
Tomohon kota pendidikan, sejuk dan nyaman. Kami sempat minum kopi di danau…, nyaman sekali.
Kawan-kawan di Manado amat bersahabat. Kami cepat akrab dan mereka amat terbuka bercerita banyak hal. Satu hal yang juga menarik adalah budaya kedai, menghabiskan waktu bercengkrama di kedai kopi. Salah satu tempat terbaik menikmati budaya kedai di jalan roda. Tempat dimana ratusan orang berbincang dan minum kopi bersama.
Setelah beberapa hari, semakin Nampak bahwa aku gak tahu apa-apa soal Sulut. Diskusi dengan banyak orang terutama Alex Sulaeng amat mencerahkan. Oh ya aku juga sempat ke makam ke Kyai Arsyad Thawil, salah satu tokoh geger cilegon.
Walaupun betah namun aku musti meninggalkan Manado. DIantar Nono yang amat baik, aku menuju Bandara di pagi buta.
5 Maret Makassar
Pukul 8 aku sudah tiba di Makassar. Aku akan menghadiri kegiatan Kick Off Kerjasama pembukaan program Global Resource Management antara Doshisha University, University of Philippines Los Banos and Unhas.
Ishaq dan Ono San menjemputku di Bandara. Kebetulan Sensei juga datang tak berapa lama kemudian, jadilah kami bersama menuju Kota, lucu juga. Sensei dan tiga anak asuhnya, he he.
Kegiatan di Makassar berlangsung di beberapa tempat. Hari pertama diskusi soal kerjasama tadi dan hari kedua seminar soal desentralisasi dan peran perguruan tinggi. Kegiatan dilanjut di DPRD Makassar dan KPID Sulsel. Di Makassar ini mendapat kawan baru beberapa Professor di Filipina, mereka pintar dan humble.Semua yang hadir kebetulan juga alumni dari beberapa kampus di Jepang.
Kegiatan yang tidak kalah penting adalah juga adalah makan-makan. Seafood di Makassar sangat mantap, begitu juga kopi-nya. Jadilah kami banyak menghabiskan waktu juga di tempat yang mantap-mantap.
Namun sayang aku sempat terserang sakit perut yang parah sehingga amat menderita. Mungkin karena terlalu banyak makan enak dan minum kopi lezat 😉
7 Maret Jakarta
Aku sampai di Jakarta malam. Besoknya langsung check in di Kartika Chandra untuk mengikuti kegiatan di LIPI. Aku kebagian presentasi di sesi kedua Senior Scholar Seminar. Kacau juga masuk kategori senior, sementara beberapa kawan senior beneran malah di kategori Young Scholar. Alhamdulillah presentasi paperku berjudul “Jakarta Gubernatorial Election, The Rise of Populism” berlangsung baik-baik saja. Walaupun agak nervous namun presentasi berlangsung lancar dan semua pertanyaan rasanya terjawab. Agak berat juga sebenarnya menyajikan satu analisis yang baru untuk sebuah fenomena yang menjadi pengetahuan umum.