WhatsApp Image 2017-11-22 at 12.07.47 (1)Saya pernah berdiskusi tentang kepemimpinan dengan seorang sahabat.

Kapan dan mengapa kita mesti menjadi pemimpin?

Kira-kira itu topiknya.

Saya sendiri selalu menganggap bahwa pemimpin itu tak selalu harus bermahkota. Ia adalah tindakan, bukan jabatan.

Perhatikan saja. Kadangkala dalam sebuah organisasi, kalaupun ada pemimpin formal di sana, seringkali kita menemukan ada orang yang lebih dihormati, lebih didengar, atau kadang lebih dituakan, dibandingkan sang pemimpin formal.

Inilah yang disebut pemimpin tanpa mahkota.

Nah kadang-kadang efektivitas pemimpin tanpa mahkota ini terhambat karena tidak adanya otoritas (keabsahan). Dan kadangkala otoritas ini berada di tangan yang salah. Katakanlah seperti DPR di tangan Setya Novanto.

Jadi dalam situasi tertentu, kepemimpinan formal terpaksa harus kita yang mengisi. Saya seringkali menyebutnya keterpanggilan.

Ukurannya adalah ketika situasi bisa menjadi lebih baik ketika kita yang memimpin, bukan orang lain. Jika masih ada orang lain yang lebih baik? Serahkan saja atau biarkan saja. Kerjakan hal-hal lain yang bermanfaat. Seperti kata Dilan Parlan, amanah itu berat, lebih berat daripada rindu. Karena kita akan diminta pertanggungjawabannya.

Trus kenapa bisa merasa diri layak? narsis dong?

Hmm sulit sih menjawabnya. Ini gabungan antara thinking sama feeling gitu. Tentu ada proses mengamati rekam jejak, membandingkan, dan juga merasakan. Apalagi jika ada keterikatan dengan organisasinya.

Jika perenungan mendalam, diskusi dengan kawan dan mengadu pada Allah memang membulatkan dirimu harus memimpin, ya bismillah saja.

Nah bagaimana menyiapkan diri jadi pemimpin?

Memantaskan diri dengan selalu belajar, itu kuncinya. Pemimpin organisasi sopir, ya mesti bisa nyopir dengan baik tho? Memimpin organisasi nelayan ya musti bisa nangkep ikan. Kalau bukan pengusaha ya gak usah mimpin organisasi pengusaha. Di dunia akademik? ya sama juga…

itu kuncinya, terus berusaha memantaskan diri. Jika terus belajar, ujungnya akan ada satu titik: keteladanan. Orang lain melihat kita sebagai referensi, kira-kira begitu.

Begitu pemirsah…

 

 

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.